Penulis
Intisari-Online.com – Banyuwangi punya banyak kesenian tradisional. Tapi seblang satu-satunya yang sakral dan masih tersisa.
Maksudnya untuk mengusir roh jahat dan petaka, tapi kenapa tembang yang mengiringinya berisi syair perjuangan?
Arahkan perhatian Anda ke ujung tenggara Propinsi Jawa Timur, ke Banyuwangi.
Kota dan kawasan pendukung di sekitarnya tak hanya menyumbangkan Emilia Contessa dan Nini Carlina ke blantika musik negeri ini, melainkan juga pelbagai kesenian tradisional.
Selain kesenian gandrung yang dikenal luas, masyarakat Osing - warga asli Banyuwangi - punya janger Damarwulan, angklung caruk, mocoan, dan Iain-lain yang terpelihara sampai sekarang.
Mereka dikenal terampil menjembatani seni tradisional dan sendi kehidupan modern
Kalau kita acap mendengar kisah warga asli yang tergusur oleh modernisasi, orang Osing Banyuwangi menampilkan fenomena sebaliknya: mereka justru dominan di perkotaan.
Hidup seirama dengan kemajuan, namun tak lupa tetap nguri-uri tradisi.
Dari banyak yang sudah dimodifikasi, ada satu yang masih asli, yakni seblang.
Hampir sama dengan gandrung, terutama dari sisi gending, tari, dan pakaian, namun berbeda esensinya.
Kalau gandrung dan semacamnya sudah profan, seblang masih bersifat sakral.
Karenanya seblang tidak tepat disebut kesenian tradisional, mengingat riwayatnya semula adalah upacara sakral - yang kebetulan mengandung unsur seni.
Seblang lebih pas disebut tradisi, sedangkan gandrung murni kesenian.
Gandrung biasa dipertunjukkan di banyak tempat, setiap saat, sedangkan seblang menetap di asalnya dan hanya dihelat pada masa-masa tertentu.
Setahun 2 kali kesurupan
Dalam bahasa Osing, seblang berarti tidak sadar, kesurupan, atau terjemahan Inggris-nya: trance.
Seblang, sebagai sebuah peristiwa, memang mewadahi ketidaksadaran. Pelaku alias penarinya - seorang wanita - bergerak di luar kesadaran diri.
la dirasuki arwah, baik leluhur si penari maupun arwah lain. Dengan mata tertutup ia melenggang, menari, berjalan, kadang bicara dalam bahasa yang tak terpahami.
Begitulah. Tarian berlangsung dalam iringan musik dengan instrumen sederhana: gong, gendang, saron (gamelan kecil), bonang (gong kecil), kadang dilengkapi biola.
Arenanya tercipta secara spontan, dikelilingi gubuk-gubuk berhiaskan makanan, palawija, dan sesaji hasil swadaya masyarakat.
Pengunjung dan penonton terlibat dalam suasana penuh hiburan namun sakral, dan siapa pun yang ketiban sampur (diserahi selendang) si penari, wajib ikut menari.
Sayang, peristiwa yang sudah menjadi bagian tontonan wisata di Propinsi lawa Timur ini tak bisa sering-sering dilangsungkan.
Secara tradisional sudah ada jadwal, hanya 2 kali setahun.
Pun hanya 2 desa di Kabupaten Banyuwangi yang punya tradisi ini, yakni Kelurahan Bakungan dan Desa Olehsari, Kecamatan Glagah.
Keduanya menghelat seblang secara bergantian. Di Bakungan se tiap Idul Adha, dan di Olehsari setiap usai Idul Fitri.
Perbedaan tempat dan waktu juga membedakan pelaksanaannya.
Di Bakungan hanya sekali sepanjang malam, sementara di Olehsari dilangsungkan 7 hari berturut-turut, meski seharinya berlangsung antara pukul 14.00 dan 17.00 WIB saja.
Kalau di Bakungan penarinya tetap – dari remaja sampai tua, sepanjang masih kuat - di Olehsari si penari harus seorang gadis yang masih suci, atau janda ditinggal mati suami, dan batas masa tugasnya 3 kali atau 3 tahun saja.
Di Bakungan pakaian dan atributnya boleh dimodifikasi, di Olehsari masih asli sebagaimana diwariskan nenek moyang masyarakatnya.
Misalnya, omprok (mahkota) seblang Bakungan kini terbuat dari plastik, sedangkan mahkota penari di Olehsari masih asli, terbuat dari untaian daun pisang dan dihiasi bunga rampai.
Meski begitu, kesakralan keduanya tak jauh beda.
Sama-sama memerlukan jasa janda tua yang juga kesurupan kemudian menunjuk calon penari seblang, juga sama-sama melibatkan dukun- - yang menggunakan keris, kemenyan, jampi-jampi, dan doa-doa untuk mendatangkan arwah yang merasuki si penari, kemudian membebaskannya menjelang hajatan usai.
Bagian dari upacara bersih desa
Sejak kapan seblang ditradisikan di Banyuwangi? Tak seberapa jelas.
Seperti juga tradisi dan kesenian lain yang cukup beragam; sulit untuk dirunut karena memang hampir tak ada bukti tertulisnya.
Sebab utamanya, tak lain, orang Osing lebih terbiasa berbudaya tutur ketimbangi tulis. Praktis hampir mustahil melacak sumber sejarah lewat tulisan.
"Itulah kekurangan sekaligus kesalahan orang Banyuwangi," kata Hasan Ali, budayawan Banyuwangi, ayah kandung Emilia Contessa.
Budayawan lain sekaligus seniman tari, Sumitro Hadi, yang menyangkal sebutan tari pada gerakan-gerakan pelaku seblang, menyangsikan apakah sejak awal syairnya sudah seperti itu.
"Kita tahu, sastra lisan mudah berubah-ubah," alasannya.
Soal sumber sejarah seblang, Hasan Ali, yang tengah getol mengamati sejarah Banyuwangi, menjelaskan, "Dari 18 buah Babad Blambangan, umpamanya, tak satu pun yang menyebut-nyebut tradisi ini. Satu-satunya petunjuk dan selalu dirujuk pengamat atau peneliti tentang masyarakat Osing - adalah risalah tentang kongres kebudayaan di Bandung oleh Joh. Scholte (1927), yang sedikit menyinggung seblang dalam penjelasan umum mengenai gandrung Banyuwangi."
Itu pun, lanjut Hasan Ali, tak juga menjelaskan latar belakangnya.
Begitu pula literatur karya WJ. Stoplar di awal abad XIX, Blambangansche Adatrecht, maupun kepustakaan masa modern semacam Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi karya B. Soelarto dan S. Umi, serta Tari Gandrung Banyuwangi terbitan Kanwil Departemen P & K Jawa Timur, 1989/1990.
Anehnya, ditilik dari syair setiap tembang - yang tak beda dari gandrung -, seblang merupakan cetusan semangat kewaspadaan dan perjuangan.
Ini mengingatkan pada perang besar yang sampai sekarang jadi kenangan masyarakat Banyuwangi, yakni Puputan Bayu (1772).
Mengherankan lagi, muatan yang sama juga terdapat pada kesenian dan sisa tradisi lain semacam basanan dan wangsalan (berbalas pantun) yang termuat dalam bathokan.
Warung bathokan semula adalah ajang informasi rahasia di masa penjajahan. Kemudian berkembang menjadi ajang temu jodoh, namun belakangan bermetamorfosa menjadi prostitusi terselubung.
Hasan Ali menyebutkan contoh lirik tembang pada gending Padha Nonton: "Ring paseban dhung Ki Demang mangan nginum/Seleregan wong ngunus keris gendam gendhis kurang abyur"-, artinya: "Di beranda ketika Ki Demang berpesta pora/Orang ramai-ramai mencabut keris (senjata), lebih merah daripada merahnya gula".
Juga gending Seblang Lukinta, yang sepenuhnya menyiratkan gugahan semangat: "Ketika matahari terbit dari ufuk, hai, bangunlah kakak-kakak".
Hasan Ali menyimpulkan, "Lirik tembang alam seblang tak sedikit pun menyinggung hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ini mengherankan, kalau dilihat tujuannya untuk minta berkat keselamatan dari Yang Mahakuasa."
Kalau muatan syair itu terbawa sampai seblang zaman sekarang, agaknya tak seorang pun tahu sebabnya.
Yang pasti, semua budayawan Banyuwangi membenarkan, seblang pada dasarnya adalah bagian dari upacara bersih desa.
Semacam syarat hidup yang disepakati masygrakatnya, agar terhindar dari segala petaka dan bahaya – yang dalam bahasa setempat disebut pageblug.
Bahwa syair dalam tembang yang mengiringinya adalah seruan perjuangan, tak lagi soal.
Hasan Ali percaya, itu karena kemelesetan pengucapan dari penangkapan makna dari waktu ke waktu, lantaran segala hal melulu dituturkan.
Dilihat dari bentuknya, kata Hasnan Singodimayan, budayawan yang menjabat project officer bidang sastra dan budaya pada Dewan Kesenian Banyuwangi, seblang mirip dengan sanghyang di Ubud, Bali, yang dikenal sebagai akar tari kecak.
Hal ini dibenarkan budayawan lain, Sudibyo Aris, “Pada seblang terdapat unsur agama Syiwa.”
Bahkan Drs. Hadisumarto, kepala Seksi Kebudayaan pada Kandep P & KBanyuwangi, menyoroti lebih tajam. “Unsur Hindu terdapat pada sesaji, unsur Jawa pada bunga rampai dan gamelan, unsur Islam ada pada doa-doa keselamatannya.”
Namun sejak kapan seblang ada, dan kenapa hanya terdapat di Bakungan dan Olehsari, tak seorang pun tahu.
Ini sama kaburnya dengan tradisi sakral lain semisal kebo-keboan yang pernah ada di Singojuruh dan Rogojampi.
Tokoh masyarakat yang mantan kepala Desa Olehsari, D. Boenoto, hanya tahu bahwa seblang adalah hajat desa sekali setahun. "Sejak saya kecil, kata orang tua dan kakek pun sudah ada," jawabnya.
Begitu juga pendapat Asmuni, kepala Dusun Joyosari, - dusun berwarga ± 2.000 orang (700 KK), pusat perhelatan seblang di Olehsari.
la menjelaskan, seblang adalah amanat nenek moyang yang harus dijalankan. "Kalau tidak dilakukan, ada saja peristiwa yang tidak mengenakkan."
Namun ketika ditanya apakah pernah dicoba untuk tidak dijalankan, jawabnya, "Tidak pernah. Kecuali dalam keadaan darurat karena kekacauan politik, tahun 1943 - 1956."
Bisikan roh kepada si tua
Proses penunjukan calon penah seblang, sungguh sulit diterangkan secara awam. Kalaupun sudah dipilih, seperti gadis atau janda Olehsari yang bermasa bakti 3 tahun, saat persis mulainya tak bisa ditentukan.
Kadang pada minggu terakhir bulan Ramadhan (di Olehsari) atau saat purnama di bulan haji, namun acap jadi misteri hingga sehari sebelum jadwal pelaksanaan.
Biasanya akan didahului oleh seorang janda tua warga desa - ini pun siapa-siapanya tak jelas - yang kejiman (kerasukan arwah) pada hari Minggu malam atau Kamis malam.
Dalam ketidaksadaran, konon berdasar bisikan roh halus, ia akan menunjuk seorang calon penari seblang. Bisa dipastikan, calon di Olehsari mestilah janda yang ditinggal mati suami, atau seorang gadis suci.
Si tertunjuk bisa langsung menerima, bisa pula ketakutan karena terbebani pikiran macam-macam. Kalau ini yang terjadi, keluarga atau sesepuh desa membujuk dan menenangkannya.
"Bagi warga kami, ditunjuk sebagai penari seblang adalah kehormatan. Dengan ditunjuk, yang bersangkutan jelas pilihan," kata D. Boenoto.
Kemudian calon penari seblang dipersiapkan. Ketika saatnya tiba, ia didandani dengan kain dan kemben, kepalanya dipasangi omprok, dan mukanya dirias.
Ia diarak keliling desa, dan dibawa ke sebidang lahan yang sudah disiapkan dengan gubuk-gubuk berkeliling.
Seorang dukun yang berfungsi sebagai perantara akan merapal doa, dibantu dengan sesepuh sesaji makanan seperti nasi tumpeng dan daging ayam, serta bakaran kemenyan.
Mata si penari akan terpejam, diam, kemudian bergerak lagi setelah dukun menyemprotkan air kembang ke mukanya. Kali ini, pelaku bergerak di luar kesadarannya.
Arwah leluhur yang sering datang antara lain Mbah Ketut, Sayu Sarinah, Ki Jalil, Mas Broto, kadang juga orang tak dikenal yang berbicara bahasa asing.
Ia akan menari mengikuti tembang dan gending yang dibawakan bertalu-talu. Naik ke atas "panggung" yang terbuat dari meja, sesekali melemparkan selendang kepada salah seorang penonton. Penonton pun naik dan ikut menari.
Di Olehsari, peristiwa yang biasa dimulai pukul 14.00 WB ini akan berlangsung hingga menjelang senja. Itulah akhir perhelatan hari itu.
Dukun akan mengawal lagi si penari sampai setengah sadar, lantas kembali dalam arakan menuju rumahnya, dan dijaga oleh keluarganya.
Esok hari hal yang sama terjadi lagi, hingga hari ke-7. Kemudian hajat desa pun usai. Sawah dan kebun siap ditanami, dan kehidupan normal kembali.
"Kami tak pernah mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, karena sudah rutin. Kalaupun calon belum ditunjuk sampai menjelang saatnya tiba, ya kami sabar saja. Semepet apa waktunya, calonnya pasti ada," tambah D.Boenoto.
Berbeda dari si tua yang kejiman, si dukun tahu persis kapan harus memulai tugasnya. Asenan (59), pemanggil arwah agar menyusup ke dalam raga pelaku seblang di Olehsari, menyatakan, "Saya baru datang setelah segala sesuatunya siap, walaupun sebenarnya saya sudah tahu siapa yang akan jadi seblang dan kapan akan dimulai. Buktinya, 3 hari sebelum pelaksanaan selalu ada roh halus yang berbisik, menyuruh saya puasa."
Menurutnya, dan juga dibenarkan warga Olehsari, fungsi perantara tak bisa dikenakan kepada sembarang orang.
la harus punya kemampuan untuk memanggil dan menyuruh pergi arwah, memimpin upacara, dan bertanggung jawab atas keselamatan pelaku seblang.
Konon, calon dukun pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Asenan menjelaskan, "Saya dipilih tanpa sengaja. Barangkali karena hidup saya bersih, tiba-tiba saja diserahi ilmu oleh Buyut Saridin, leluhur kami. Katanya, saya sudah diincar sejak tahun 1964, untuk suatu saat mengamalkan kemampuan buat desa ini."
Asenan memang menjalankan amanat itu sepenuhnya. Seperti para pendahulu yang entah sudah berapa jumlahnya, ia akan terus mengemban tugas tahunan itu sampai kesanggupannya berakhir.
Jika saat itu tiba, warga tak akan risau karena pasti akan ada penggantinya. Hal yang sama juga terjadi pada penentuan calon penari seblang, yang akan berakhir jika yang bersangkutan telah mengabdi sepanjang 3 tahun.
Sampai apan ini akan berlangsung, tak seorang pun bisa meramalkan. Selama seluruh warga masih mendukung, tak terlalu soal.
Lain halnya kalau orang sudah mengabaikan, karena melihatnya lewat sisi pandang berbeda.
Maka, menarik menimbang pesan sesepuh seperti D. Boenoto, "Jangan lihat ini dengan kacamata agama atau keyakinan. Tempatkan dalam konteks kebudayaan. Bukankah ini semua demi ketahanan budaya kita?"
Sedangkan tokoh masyarakat dan budayawan Banyuwangi seperti Sudibyo Aris, Hasnan Singodimaygn, dan Hasan Ali berpesan, "Lihatlah seblang dalam kerangka tradisi, bukan kepercayaan.”
Namun, tidakkah disadari, di balik pesan dan argumentasi itu tersirat kekhawatiran akan punahnya tradisi lama mereka?
Sebab, kita tahu, terlalu banyak peninggalan tradisi yang lama-kelamaan tertinggalkan karena tak sesuai dengan zaman.
Berarti, seblang akan sama saja, menunggu waktu untuk hilang dari masyarakat Osing. Apakah ini yang kita kehendaki? (Mayong S. Laksono/B. Soelist.)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1994)