Find Us On Social Media :

Misteri Bulan Purnama di Bali: Bencana Alam, Mistik, dan Kecurangan

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 10 September 2017 | 11:30 WIB

Warga sekitarnya pun tak ada yang tahu persis ihwal gunung tersebut. Pengetahuan dan mitos mengenai gundukan tanah setinggi 3.142 m ini hanya mereka dapatkan dari tradisi lisan generasi ke generasi.

Legenda yang mereka percayai, gunung ini merupakan bagian dari G. Mahameru di India.

Menurut kisahnya, pada zaman dahulu ketika sebagian Mahameru diangkat oleh para dewa ke sini, tiga potong gumpalan tanahnya jatuh.

Satu jatuh di kawasan Jawa dan berubah menjadi G. Semeru, yang kedua jatuh di Bali membentuk G. Agung, dan yang terakhir jatuh di P. Lombok menjelma menjadi G. Rinjani.

(Baca juga: Merasakan Ketenangan Spiritual ala Pura Gunung Agung)

Oleh karena itu ketiga gunung tersebut bisa dibilang masih bersaudara.  Pada waktu tertentu mereka harus melakukan persembahan ke tiga tempat tersebut.

"Sampai sekarang masyarakat Bali masih menganggap G. Agung sebagai tempat suci seperti halnya orang India menganggap G. Mahameru. Semakin tinggi suatu tempat, semakin suci karena di sana dipercaya bersemayan Sanghyang Widi Wasa," kata Shadeg SVD, rohaniwan yang sejak 1950 sudah menekuni budaya Bali.

Tak mengherankan, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap gunung satu ini. Misalnya zaman itu tak seorang pun berani mendaki ke atas tanpa diiringi pendeta.

Itu pun harus membawa sesaji. Kalau mau naik tidak boleh mengenakan sepatu, arloji. Juga bermacam perhiasan serta uang.

Barang-barang duniawi tersebut  bagi dewa-dewa merupakan penghinaan besar. Di hadapan dewa, manusia harus miskin dan sederhana.

Bagi penduduk sekitar puncak Agung, hubungan emosional khusus dengan gunung ini pun mereka terima seperti halnya "warisan" turun-temurun.

Setiap hari sejak masa kanak-kanak mereka sudah terbiasa melihat G. Agung, demikian pula bapak-ibu dan kakek-neneknya serta moyangnya.