Eric Eugene Murangwa: Menjadi Pesepakbola Telah Menyelamatkanku dari Genosida Rwanda

Moh Habib Asyhad

Penulis

Yang paling mendalam baginya adalah bagaimana beberapa teman setim sepakbolanya mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan nyawanya.

Intisari-Online.com -Eric Eugene Murangwa tertelungkup di rumahnya ketika terdengar teriakan itu.

“Saya adalah penggemar Rayon Sport (RS), bagaimana kau bisa bilang pernah bermain untuk mereka?” teriak seorang tentara.

“Kau berbohong, dan aku tak akan mentolelir itu,” tambahnya.

“Kami (sebenarnya) ingin membunuhmu nanti-nanti, tapi kau sendiri yang membuatnya dipercepat.”

(Baca juga:Soal Genosida di Rohingya, Ternyata Indonesia Masuk Daftar 20 Aksi Genosida dengan Korban Jiwa Terbanyak

Saa itu beberapa tentara telah menggeledah flat Murangwa dan kebetulan melihat sebuah album foto.

Album itu penuh dengan foto-foto Murangwa bersama rekan setimnya di Rayon Sport. Tentara yang penggemar RS itu pun kaget.

“Benarkah kau Toto?” akhirnya ia bertanya pada Murangawa. Toto, berarti “Si Kecil” di Swahili, adalah julukan yang berikan suporter RS kepada Murangwa.

“Ya, ini aku,” jawab esk-pesepakbola yang berposisi sebagai kiper itu.

“Mengapa kau tidak bilang dari tadi?”

“Aku sudah bilang selama setengah jam yang lalu.”

“Wow,” kata tentara itu sambil menggeleng tak percaya. “Jadi bagaimana kabarmu?”

Itulah penggalan peristiwa yang terjadi pada 7 April 1994 lalu, hari di mana segala kekerasan dimulai di Rwanda. Selama seratus hari berikutnya sektiar 800 ribu orang disembelih, kebanyakan dari mereka orang-orang Tutsi—seperti Murangwa.

Bulan ini, di sebuah ruang kerja di London utara di mana ia dan lebih dari 200 rekan senegaranya merayakan perayaan tahunan berakhirnya genosida di Rwanda, Murangwa, mantan kapten tim nasional Rwanda, mengingat kembali bagaimana sepakbola menyelamatkan nyawanya dari genosida.

Pengalamannya dengan tentara bukanlah yang paling melekat dalam dirinya soal genosida. Yang paling mendalam baginya adalah bagaimana beberapa teman setimnya mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan nyawanya.

“Aku mulai bermain olahraga karena hal itu menyenangkan,” ujarnya. “Baru saat terjadi genosida, aku sadar bahwa olahraga telah mengajari Anda bagaimana menjadi manusia.”

(Baca juga:Mantan Penjual Pepsi Itu Kini Jadi Raja Rwanda)

Murangwa ingat betul di mana ia berada ketika mendengar kabar soal pembantaian massal. Ia sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah bar tempat ia menyaksikan pertandingan: semifinal Piala Afrika 1994.

Pertandingan itu mempertemukan Zambia dan Mali—dan Zambia keluar sebagai pemenang. Itu adalah salah pertandingan terpenting dalam sejarah sepakbola; Zambia lolos ke final kurang dari satu tahun setelah sebagian besar skuat mereka terbunuh dalam sebuah kecelakaan pesawat.

Malam itu, saat Murangwa ngobrol dengan teman satu flatnya tentang kemenangan Zambia, ada seorang penjaga yang bilang ada kecelakaan pesawat lain yang baru saja ia saksikan.

“Ia bilang mendengar suara ledakan besar dan melihat api berpendar di langit,” kenang Murangwa.

“Tapi itu tidak berarti banyak bagi kami, kami berada di zona perang, kami biasa mendengar granat dilempar. Yang tidak kami ketahui, bahwa itu adalah pesawat presiden yang ditembak jatuh.”

Presiden Rwanda, Juvenal Habayrimana, meninggal bersama dengan orang lain di jet pribadinya, termasuk Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira. Dalam beberapa jam setelah pembunuhan itu (yang belum diketahui dalang utamanya tapi ekstremis Hutu dianggap sebagai salah satu otaknya), kengerian pun dimulai.

Tentara menjelajahi Kigali mencari musuh rezim; dan Interahamwe—milisi yang dibeking pemerintah—mulai berburu orang-orang Tutsi.

“Aku terbangun oleh suara tembakan dan bom yang luar biasa sekitar pukul tiga pagi,” ujar Murangwa.

“Ini berbeda, jauh lebih banyak dari biasanya. Kami menunggu beberapa saat saat semua tampak begitu jelas. Saat itulah aku mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mendengar telah ada beberapa tetangga yang telah terbunuh. Tidak tahu kenapa tapi kami tahu orang-orang (yang terbunuh) ini tidak berpihak pada pemerintah.”

(Baca juga:Demi Menghapus Jejak Pembantaian, Pihak Militer Myanmar Diduga Bakar Mayat Orang-orang Rohingya)

Tak hanya orang Tutsi, menurut Murangwa, ada beberapa orang Hutu yang juga melawan pemerintah—dan mereka semua telah terbunuh. Sejak itulah Murangwa baru sadar bahwa kondisi negaranya benar-benar menakutkan.

Dan tidak butuh waktu lama bagi tentara untuk sampai di rumah Murangwa. Mereka sampai komplek sekitar pukul satu siang, datang dari satu rumah ke rumah yang lain, dan membunuhi penghuninya.

Dalam beberapa menit kemudian, sekelompok tentara masuk ke flat Murangwa. Mereka mulai memukulinya dan menyuruhnya tengkurap dan mulai menggeledah kamar-kamar dan melemparkan segela benda ke udara.

Yang mereka cari: senjata.

Di situlah Dewi Fortuna berpihak pada Murangwa. Salah satu benda yang berterbangan itu adalah sebuah album foto. Album itu terbuka dan terlihatkan foto Toto di situ.

Sikap tentara pun berubah—tapi hanya kepada Murangwa. Untung Murangwa berhasil meyakinkan tentara bahwa teman seflatnya itu juga bermain untuk Rayon Sport.

“Ketika tentara mengakhiri kekacauan, ia menyuruh yang lain untuk keluar dari rumah. Tapi mereka justru masuk ke flat sebelah, menyeret satu anggota keluarga. Rupanya, mereka hanya ingin melempar granat.”

Begitulah, berkat sepakbola Murangwa—dan temannya itu—akhirnya lolos dari genosida maut itu.

Artikel Terkait