Ternyata Inilah Tujuan Utama Urusan Senggama yang Dibahas Panjang Lebar dalam Kama Sutra

Ade Sulaeman

Penulis

Kama Sutra menerima seks sebagai anak tangga pertama untuk menemukan jati diri.

Intisari-Online.com - Setelah menemukan jati diri, kita baru bisa menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitar kita, dengan masyarakat, dengan dunia.

Bila belum menemukan "diri", apa pula yang hendak kita selaraskan dengan pihak-pihak di luar diri?

Kama Sutra menerima seks sebagai anak tangga pertama untuk menemukan jati diri.

Seks sebagai bagian dari kama, hasrat, nafsu, keinginan, bukanlah urusan di atas ranjang belaka.

Energi seks pula yang kita gunakan dalam keseharian untuk keperluan apa saja.

Sebab itu, energi ini perlu diolah, diperlembut, disesuaikan dengan profesi, tugas serta kewajiban

kita dalam hidup sehari-hari.

Bila tidak, kita akan bernafsu untuk memperoleh jabatan dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya.

Kita akan bernafsu untuk menjadi nomor satu dengan cara apa pun, termasuk mencelakakan pesaing kita.

Ini yang terjadi selama ini, sebab kita lupa mengolah energi yang ada di dalam diri.

(Baca juga: Penulis Buku Kama Sutra: Urusi Dulu Sesuatu yang Paling Dasar di Dalam Dirimu, yaitu Seks!)

Kita lupa memperlembut energi itu.

Urusan senggama yang dibahas panjang lebar oleh Vatsyayana semata-mata untuk memperhalus energi kita.

Ia tidak memberi pedoman, "Janganlah kau melakukan hal ini, janganlah kau bertindak seperti itu."

Ia memberi teknik-teknik, di antaranya yang dapat kita lakukan bersama pasangan kita di atas ranjang, supaya kehewanian di dalam diri kita mendapatkan penyaluran.

Sehingga energi di dalam diri dapat ditingkatkan.

Nafsu dapat diolah menjadi cinta, dan cinta menjadi kasih.

(Baca juga: Falsafah Kama Sutra adalah Soal Cara Hidup yang Penuh Lembap)

Nafsu hanya menuntut. Cinta tidak sekadar menuntut. Ia juga memberi.

Tetapi yang diberikannya setimpal dengan apa yang diterimanya.

Kasihitu memberi, memberi, dan memberi. la tidak menuntut, tidak peduli dibalas atau tidak.

Itulah falsafah hidup di balik Kama Sutra.

Itulah tujuan Vatsyayana ketika menyusun kembali teks-teks kuno dan memilih apa saja yang masih relevan di zamannya, kemudian disebutnya Kama Sutra.

Sebab itu, Vatsyayana juga tidak berpretensi bahwa apa yang ditulisnya itu berlaku sepanjang masa.

Bahkan untuk masanya sendiri.

Di akhir tulisannya, ia pun mengingatkan para pembaca, "Yang penting adalah praktik, bagaimana kau melakoni semua ini.

Setelah dipelajari, buku ini pun harus kau buang ....

Terjemahkan apa yang telah kau pelajari dalam hidup sehari-hari."

Barangkali, dialah penulis "kitab suci" yang tidak memiliki beban ego.

Ia berasal dari wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, India, Indo, Hindia - wilayah kita semua.

Sayang sekali, hanya sebagian kecil di antara kita yang masih memiliki rasa bangga terhadap budaya asal kita.

Budaya yang melahirkan Vatsyayana, Mpu Tantular, Sukarno, dan Romo Mangun.

Budaya yang melahirkan para pemikir dan negarawan seperti Ki Hajar Dewantara, Syahrir, M. Hatta, Moh. Natsir, dan Kasimo.

Budaya yang sudah ada sebelum lahirnya agama-agama.

Dari budaya asal itu pula yang masih dipahami di zaman La Galigo, Bundo Kanduang, Ronggowarsito, dan Mangkunagoro - kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri.

Vatsyayana menyebutnya samadhi – keseimbangan yang diperoleh lewat dhyana, hidup berkesadaran.

Orang Jawa zaman dahulu menyebutnya sembah rasa.

Para Sufi menyebutnya muraqibah yang diperoleh dengan ber-tafakkur.

Dalam bahasa modern, meditasi.

Meditasi bukan dalam pengertian "duduk diam" atau "mendiam-diamkan diri selama beberapa

lama", "menyepi", dan sebagainya.

Namun, "menjadi diam" setelah hewan di dalam diri kita berhasil dijinakkan.

Meditasi juga bukan doa.

Ketika kita berdoa, kita berbicara dengan Tuhan, Allah, atau apa pun sebutan Anda bagi Kekuatan Tunggal Yang Satu Itu.

Dalam meditasi, kita berhenti berbicara. Kita mendengarkan suara-Nya.

Untuk menuju ke sana Vatsyayana berkata, urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam dirimu, yaitu seks.

Pengolahan energi seks untuk menggapai ketinggian spiritual, itulah intisari Kama Sutra.

Artikel ini ditulis oleh Anand Krishna di buku Healthy Sexual Life dengan judul ‘Neo Kama Sutra: Kebajikan Kuno Bagi Manusia Modern’.

Artikel Terkait