Penulis
Intisari-Online.com - Perang saudara Korea dalam masa modern diawali dengan serbuan Korea Utara menyeberangi garis paralel/lintang ke-38, pada fajar hari Minggu 25 Juni 1950.
Serbuan ini memang mendadak, tetapi sesungguhnya tidaklah secara tiba-tiba terjadinya. Sebab antisipasi perang di semenanjung ini, sebetulnya telah terasa sekali sebelumnya, bahwa suatu saat perang pasti meletus.
Serbuan terjadi di tempat di mana pertempuran perbatasan pernah pecah pada Mei 1949.
Menjelang perang, kedua Korea terus meningkatkan kekuatan militer masing-masing. Tahun 1949 Korsel dengan bantuan penasihat militer AS, telah memiliki sekitar 100.000 pasukan.
Korut baru mampu menyusulnya pada awal 1950, sehingga ketika perang meletus, boleh dikata kekuatan mereka seimbang.
Intelijen militer AS mengindentifikasi kekuatan tentara Korut 74.370 orang, ditambah 20.000 pasukan penjaga perbatasan.
Sedangkan tentara Korsel 87.500 orang, di antaranya 32.500 ditempatkan di daerah perbatasan, dan 35.000 lainnya dalam jarak sekitar 50 km dari garis paralel ke-38. Sedang sisanya tersebar di wilayah lainnya.
Namun tentara Korut lebih diuntungkan oleh pengalaman tempur mereka, mengingat banyak dari mereka yang pernah terlibat dalam perang saudara di China dengan membantu pasukan China Komunis melawan China Nasionalis.
Mereka juga memiliki sekitar 150 tank T-34 dari Soviet, serta 70 pesawat tempur dan 62 pengebom ringan.
Mesin perang ini sebagian adalah eks-tentara Soviet yang ditinggalkan ketika mereka pergi dari Korut Desember 1948.
(Baca juga: Konflik di Semenanjung Korea Bukan Keinginan Warganya, Tapi Gara-gara Ulah Empat Negara Ini)
AS menempatkan sekitar 500 tentaranya yang tergabung dalam Korean Military Advisory Group (KMAG), yang tugasnya membantu melatih dan membentuk tentara Korsel.
Pimpinan grup ini Brigjen William L. Roberts dalam wawancara dengan Time, pernah menyatakan betapa KMAG berhasil membentuk militer Korsel menjadi kekuatan yang mampu mengatasi setiap ancaman dari Korut.
“Korsel memiliki tentara terbaik di luar AS,” katanya. Namun mereka tidak punya tank, senjata anti-tank, dan artileri berat.
Washington disebutkan tidak memberi senjata ini, dengan alasan khawatir para perwira Korsel garis keras, akan menggunakannya untuk menyerang Korut.
Pasukan penyerbu telah siap di tempat sejak Jumat 23 Juni, tinggal menunggu perintah terakhir.
(Baca juga: Kegagalan Masa Lampau Inilah yang Membuat Amerika Serikat Ketar-ketir untuk Menyerang Korea Utara Lagi)
Ketika jam menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 25 Juni, Kapten Joseph Darrigo terbangun oleh gemuruhnya bunyi tembakan meriam.
Pada mulanya dia mengira terjadi lagi bentrokan bersenjata di perbatasan, mengingat hal seperti ini acap timbul dalam beberapa minggu terakhir.
Namun takala bunyinya semakin menghebat dan bumi bergetar, dia sadar sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Darrigo adalah satu-satunya perwira KMAG yang ada di wilayah perbatasan.
Sedang yang lainnya bermalam minggu di Seoul, termasuk menghadiri pesta pembukaan gedung klub perwira AD Korsel.
(Baca juga: Nyatanya, Ancaman Nuklir Korea Utara Punya ‘Manfaat’ Juga Bagi Warga AS)
Dia segera melarikan jipnya ke Kaesong. Namun sampai di sana Darrigo takjub, menyaksikan serangkaian kereta api memasuki stasiun, dan dari gerbongnya berhamburan keluar pasukan Korut.
Dia pun memacu lagi jipnya yang ditembaki musuh, menuju selatan untuk memperingatkan markas Divisi Pertama AD Korsel.
Kapten ini merupakan satu-satunya militer Amerika yang menjadi saksi mata serbuan Korut.
Dia menganggap suatu mukjizar bahwa dirinya selamat dan bisa menceritakan pengalamannya.
Letnan Jin Hak Kim, seorang opsir muda Divisi Pertama Korsel yang tengah tidur di kubunya di lereng bukit dekat Kaesong, terlempar ke udara ketika peluru meriam menghantam perkubuannya.
“Perang dimulai tiba-tiba dengan erupsi tembakan artileri,” kenang Jin. “Semenit kemudian senyap, hanya ada bunyi hujan. Tapi tiba-tiba gemuruh ledakan peluru meriam pecah di mana-mana di sekitar kami.”
Sekalipun Jin, Darrigo, dan banyak perwira lainnya kaget sekali dengan serbuan mendadak Korut, tetapi sebetulnya invasi ini tidaklah tiba-tiba datangnya.
Mereka pun juga merasakannya. Karena awan hitam peperangan sebenarnya telah menggelayut rendah di atas Semenanjung Korea sejak setahun terakhir.
Insiden perbatasan terus terjadi, dipicu oleh sikap provokatif kedua pihak.
Misalnya tentara Korsel pada Mei 1949 menerobos garis paralel hingga tiga km ke wilayah Utara dan menyerang berapa desa.
Ini merupakan insiden perbatasan terburuk sebelum perang pecah. Intelijen AS juga memperkirakan segera pecahnya konflik, namun Washington maupun pimpinan militer AS di Timur Jauh tidak begitu peduli.
Seoul Jatuh
Pertempuran sengit menyusul serbuan Divisi Ke-3 dan Ke-4 Korut yang didukung brigade lapis baja.
Mereka dihadapi oleh pasukan Korsel, yang segera keteter. Panglima Divisi Pertama Korsel, Mayjen Paek Sun-yup sekitar pukul 07.00 menerima telepon bahwa divisinya terpukul di tepi barat S. Imjin.
Dia yang tengah mengikuti kursus di Sesko AD di Seoul, langsung menuju Mabes AD Korsel.
Paek sempat tertegun menyaksikan betapa kalemnya suasana di Seoul dan di Mabes AD, seolah-olah semuanya tidak mengetahui apa yang tengah terjadi di perbatasan.
Bersama Kolonel Rockwell, penasihat senior militer AS dan seorang komandan resimennya yang tengah berakhir pekan di ibukota, Mayjen Paek memacu kendaraannya ke arah utara.
Di selatan Sungai Imjin, mereka menemui kekacauan pasukan Korsel, serta laporan yang menciutkan hati bahwa Divisi Ketujuh Korsel telah terpukul habis-habisan.
Bersamaan dengan itu datang perintah agar Kolonel Rockwell dan para penasihat militer Amerika segera meninggalkan wilayah pertempuran.
Beberapa perwira Amerika berkaca-kaca matanya, tak tega melihat kondisi pasukan Korsel yang mereka bina menjadi berantakan.
Tetapi mereka diharuskan meninggalkan pasukan Korsel, yang sedang bertempur hidup atau mati melawan pasukan Korut yang ternyata lebih superior.
“Padahal saya pikir orang Amerika berada di sini untuk membantu kami,” kata Mayjen Paek, yang kini pun harus sendirian menghadapi serbuan musuh.
Esok harinya, keluar perintah pengunduran diri pasukan Korsel ke seberang Sungai Han di selatan ibukota Seoul.
Divisi Ketiga dan Kelima AD Korsel yang dikerahkan membantu menghadang serbuan Korut, juga tidak berdaya karena penugasan dan pengiriman pasukannya dilakukan secara sepotong-sepotong.
Akibatnya, pertahanan di semua front yang diserang pasukan Utara pun ambruk.
Tanggal 27 Juni, DK PBB menyetujui resolusi bahwa serbuan Korut telah membahayakan perdamaian dunia, serta meminta anggota PBB membantu Korsel mengatasi agresi bersenjata tersebut.
Komitmen mengirim pasukan datang dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Turki, Thailand, Filipina, India, Kanada, Australia, Brasil, Ethiopia, dan lain-lainnya.
Taiwan ingin menyumbangkan 33.000 pasukan, namun dengan halus ditolak Washington khawatir pasukan Taiwan ini justru akan mengundang RRC langsung terlibat perang di Korea.
Sementara itu tentara Korut berhasil menerobos sayap kanan pertahanan Korsel, sehingga mengancam ibukota Seoul.
Bantuan AS mulai muncul dengan datangnya pesawat tempur, yang berusaha ikut menahan serbuan tentara Korut.
Namun karena tak ada kontak dengan pasukan Korsel di darat, banyak bom yang tidak mengenai sasaran.
Bahkan cukup banyak yang menjatuhi posisi pasukan Korsel sendiri. Hari itu pesawat tempur F-82 Twin Mustang USAF berhasil menembak jatuh pesawat tempur Yak Korut.
Kekalahan pasukan Korsel membuat heran militer AS, yang semula merasa berhasil dalam membentuk dan menempa tentara Korsel.
“Orang Korea Utara dan Korea Selatan adalah sama sepenuhnya. Tapi mengapa orang Korut bisa bertempur seperti macan, sedang orang Korsel terbirit-birit seperti domba ?” kata seorang perwira Amerika.
Melihat Seoul terancam, Presiden Syngman Rhee dan pemerintahnya pun mengungsi dengan kereta api khusus ke Taejon, lalu ke kota pelabuhan Mokpo.
Sedangkan militer Korsel, tanpa memberitahu AS, juga merelokasi mabesnya ke selatan Seoul.
Akibatnya, komunikasi dengan pasukan yang masih bertahan di utara Seoul terputus, sehingga memicu kepanikan, bukan hanya di kalangan pasukan, tetapi juga penduduk sipil.
Kepanikan ini disusul dengan bencana akibat diledakkannya jembatan-jembatan Sungai Han secara prematur oleh pasukan Korsel.
Padahal jembatan masih dipakai pasukan maupun penduduk sipil untuk mengungsi ke seberang.
Akibatnya banyak pasukan Korsel yang terjebak di antara pasukan penyerbu dengan sungai besar tadi.
Hari itu juga, 28 Juni, ibukota Seoul jatuh ke tangan sekitar 37.000 pasukan Korut.
Pada akhir bulan, sekitar setengah dari seluruh tentara Korsel tewas, tertawan, atau hilang.
Tinggal dua divisi yang masih memiliki perlengkapan dan senjata, sedangkan sekitar 70 persen persenjataan lainnya ditinggalkan dan hilang di medan perang.
Itulah yang terjadi jika pasukan Korut menyerbu Korsel dan ada kemungkinan peristiwa macan mengejar domba akan terulang lagi jika sampai pecah Perang Korea II.
Inilah yang Membuat Tentara Korea Utara Punya Mental Bertempur yang Agresif, Pantas Saja Amerika Serikat Ketar-ketir
Dalam Perang Korea (1951-1953) pasukan China terang-terangan membantu Korea Utara.
Militer AS sebenarnya sangat khawatir jika militer China kembali membantu Korut dalam konflik terkini karena serbuan pasukan China yang dikenal berani mati sulit dibendung.
Berdasar pengalaman perang yang sudah terjadi, turunnya pasukan China dalam jumlah ratusan ribu pada awal Perang Korea itu langsung membuat pasukan Amerika Serikat-Korea Selatan dan sekutunya kelabakan.
(Baca juga:Ternyata Ancaman Korea Utara untuk Jatuhkan Bom Atom di AS, Hanya ‘Tulah’ dari Sikap AS saat Perang Korea)
Serbuan pasukan China dengan mengerahkan 250 ribu pasukan dilaksanakan seiring datangnya musim semi tahun 1951.
Serangan musim semi RRC-Korut yang dimulai 22 April 1952 ini mengakibatkan pecahnya pertempuran terbesar selama Perang Korea.
Akibatnya Batalyon Gloucester dari Inggris yang jumlahnya hanya ratusan personel dan mencoba menahan gempuran praktis dibuat binasa.
Pasukan PBB mati-matian mempertahankan perimeter di sekitar Seoul, agar ibukota Korsel itu tidak jatuh untuk ketiga kalinya ke tangan musuh.
Divisi Keenam Korea Selatan dihantam hebat dan meninggalkan posisi mereka, sehingga menimbulkan celah sepanjang 15 km antara Divisi Pertama Marinir dan Divisi Infanteri ke-24 milik AS.
Musuh berusaha memanfaatkan celah itu, namun dihadang pasukan Australia dan Kanada. Pasukan dua negera ini, karena dianggap berjasa, lalu dianugerahi Presidential Unit Citation oleh AS.
Pasukan musuh menyerang dengan gelombang demi gelombang prajuritnya, yang hanya dapat dibendung dengan hujan peluru meriam.
“Mereka menghabiskan orangnya sebagaimana kami menghabiskan peluru,” kata seorang perwira AS.
(Baca juga:Tidak Hanya di Dunkirk, Pasukan Gabungan Inggris-Perancis Juga Terpukul Mundur di Asia Tenggara)
Pada 30 April serangan ini terhenti. Korea Utara kehilangan sekitar 70 ribu tentara, sementara PBB kehilangan 7.000 orang. Beberapa wilayah di Korea bagian tengah pun luluh lantak.
Tetapi usaha China-Korut menyeberangi Sungai Han dan merebut Seoul digagalkan.
Sementara di front masih terjadi pertempuran serta berbagai serangan udara besar yang dilancarkan AU Timur Jauh AS. Sejak pertengahan 1951 mulai terdengar usulan tentang gencatan senjata dari semua pihak.
Namun prosesnya cukup alot, sementara di lapangan perang terus terjadi.
Dalam momen ini, ada beberapa pertempuran yang layak diingat. Ada perebutan Bloody Ridge oleh mariner pada 31 Agustus-3 September yang memakan 2.700 korban di pihakMarinir AS, ada pula pertempuran saat Divisi Infanteri Kedua merebut Heartbreak Ridge yang memakan 3.700 korban jiwa.
Tahun 1952 perang terus berlangsung. Pyongyang diguyur bom oleh 1.403 pesawat AU Timur Jauh AS.
Ini adalah gempuran udara terbesar dalam Perang Korea. Ketika itu pasukan darat PBB mencapai sekitar 678 ribu orang, meliputi 265.800 pasukan AS, 376.400 pasukan Korsel, dan 35.700 dari negara-negara lainnya.
Pertempuran yang terkenal adalah di Pork Chop Hill, ketika Divisi Infanteri Ketujuh AS terusir dari posisi defensive mereka.
Pasukan China-Korut juga melancarkan serangan dengan kekuatan enam divisi terhadap posisi pasukan Korps IX AS dan Korps II Korsel.
Namun serangan ini berhasil ditahan di garis pertahanan Sungai Kumsong.
Sementara itu perundingan di Panmunjom yang telah dimulai sejak Oktober 1951 terus berlangsung, walau sering diselingi penghentian oleh kedua pihak yang berseteru.
Sebelumnya, perundingan untuk mencapai gencatan senjata, pertukaran tawanan preang, dan lain-lain itu diadakan di kota Kaeosng sejak 10 Juli 1951.
Sewaktu perundingan dilakukan, maka permusuhan tetap berlangsung, dan kedua pihak melakukan konsolidasi serta penambahan kekuatan.
Sehingga jika kekuatan PBB tahun 1952 tercatat sekitar 678 ribu pasukan, pada pertengahan 1953 meningkat menjadi sekitar 932.500 orang, yaitu 302 ribu pasukanAmerika, 590 ribu pasukan Korsel, dan 39 ribu dari negara PBB lainnya.
Pada 26 April 1953 perundingan Panmunjom dimulai lagi, walau pertempuran masih tetap terjadi.
Posisi kedua pihak tidak banyak berubah, masih di sekitar garis paralel ke-38.
Pada 27 Juli, persetujuan gencatan senjata tercapai dan ditandatangani.
Gencatan senjata berlaku mulai malam itu juga.Sedangkan pertukaran tawanan perang dilakukan selama satu bulan, 5 Agustus hingga 6 September.
Karena berakhir dengan gencatan senjata baik pihak Korut maupun sekutunya merasa tidak menang dan kalah demikian pula pihak Korsel dan sekutunya.
Tapi Korut dalam Perang Korea selalu menjadi pihak yang berinisiatif menyerang sedangkan Korsel dan sekutunya hanya bertahan.
Mental Korut yang ingin selalu mennyerang itu ternyata berlangsung hingga saat ini, termasuk ingin menyerang AS menggunakan rudal nuklir.