Penulis
Intisari-Online.com – Nasi pecel bertaburserundeng gaya Madiun, disajikan dalam pincuk daun pisang.
Kalau pincuk dibuka, makanan pun bisa berantakan di atas meja. Tapi orang tetap menikmatinya.
Pecel Bu Siti telah menjadi tujuan orang mencari sarapan sejak pukul 06.00 pagi.
(Baca juga:Habis Liburan di Malang? Jangan Lupa Bawa Oleh-oleh Khas Malang Ini)
Warung di terusan jalan menuju Kompleks Perumahan Pertama Jingga, Malang, ini kadang penuh sesak sehingga sebagian konsumen menikmati pecel sambil berdiri atau di dalam mobil.
Kalau sudah begini, jam buka pukul 06.00 – 09.00 WIB tinggal teori belaka. Yang jelas, dagangan habis dan calon konsumen kecewa.
Tapi kalau mujur, jumlah pembeli tidak banyak, orang datang pukul 09.30 pun kadang masih kebagian.
Syukur-syukur masih lengkap dengan tiga macam peyek: ebi, teri, dan kacang. Masih pula lengkap dengan lauk seperti telur dadar maupun mata sapi (ceplok), babat dan usus, paru-paru, empal, daging komoh.
Menikmati Nasi Pecel lengkap beserta lauknya di tempat ini tidak memerlukan dana lebih dari Rp15.000,- per kepala. Kecuali kalau Anda memang ingin pesta pora.
Bu Siti Fatimah, ibu dua anak dan nenek satu cucu, orang Madiun kelahiran 1968, ini mengawali jualannya di atas gerobak pada tahun 1999.
Ia mangkal di tepi jalan di sisi tanah kosong tak jauh dari tempat jualannya sekarang. “Kalau sudah selesai berdagang, gerobak saya titipkan di musala,” kata perempuan ramah ini.
(Baca juga:Pecel Rawon Surabaya, Nylenehnya Kuah Rawon Bumbu Pecel)
Tiga tahun ia berjualan dengan gerobak, lantas mendapat tempat yang lebih representatif, semacam kios di emperan.
Langganan terbina, dan kualitas rasa pecelnya makin dikenal. Ia pun mencari tempat yang lebih luas, sebuah kios terbuka dengan sambungan listrik dan air bersih. Sampai sekarang.
Yang jadi andalan adalah pecel gaya Madiun. Kalau variasi sayuran rebus – kangkung, kacang panjang, bunga pisang, bunga turi, kecipir, dan petai cina tergantung selera dan ketersediaan bahan – serupa dengan pecel lain, ciri utama pecel Madiun adalah taburan serundeng.
Ini berupa parutan kelapa yang digoreng, kadang disertai potongan daging, lantas ditaburkan ke atas adonan nasi pecel. Maka rasa gurih pun tercipta.
Di hari biasa Bu Siti menghabiskan 20 kg beras untuk bahan nasi. Di hari libur, porsi itu naik jadi 35 kg beras. Sedangkan kacang tanah untuk dijadikan bumbu, per minggunya habis 50 kg.
Itu tidak untuk dicampurkan dalam pecel jualan utamanya semua, tapi juga dijual terpisah dalam kemasan plastik. Terdiri atas dua tingkatan rasa, sedang dan pedas, harga setiap kg Rp50.000,-
Dengan tujuh orang yang membantu kerja hariannya, Bu Siti kini mengganti gerobak dorong dengan mobil pikap baru yang dikemudikannya sendiri. “Sampai ke Madiun pun saya rutin ngambil beras di rumah orangtua saya, nyopir sendiri,” katanya.
(Baca juga:Mengunjungi Kampung Warna-warni di Malang)
Lha, Bapak tidak membantu?
“O, suami saya seorang guru. Ia sangat cinta dengan pekerjaannya, mengajar olahraga. Jadi biarlah dia bekerja dan saya jualan,” sambung Bu Siti, tetap dengan tawa yang mengembang. (SL)
Nasi Pecel Madiun Bu Siti:
(Seperti pernah dimuat di Buku Wisata Jajan Malang Raya– Intisari)