Penulis
Intisari-Online.com – Agustus bulan sakral bagi bangsa Indonesia. Apa pun yang kita lakukan, biasanya berhubungan atau dihubungkan dengan "perjuangan" dan "kemerdekaan".
Sepanjang bulan Agustus juga, kuping kita bakal dimanjakan alunan musik obade membawakan lagu-lagu patriotik, yang sebagian besar telah akrab di gendang telinga.
Sebut saja lagu "Hari Merdeka" dan "Syukur" ciptaan mendiang H. Mutahar. Orang Indonesia mana tak pernah mendengar atau menyanyikan? Beberapa tahun silam, ssejumlah orkestra bahkan bak punya program tahunan menampilkan musik patriotik, sepertiTwilite Orchestra atau Orkestra Institut Seni Indonesia.
(Baca juga:Reobiono, Sosok Jenius di Balik Pembuatan Sandi Negara pada Awal Kemerdekaan RI)
Selain "Indonesia Pusaka" (Ismail Marzuki) dan "Tanah Airku" (Ibu Soed), pengunjung konser pun bisa mendengar lagu perjuangan lain seperti "Sepasang Mata Bola" (Ismail Marzuki).
Yang menarik, masyarakat – lebih-lebih di Era Reformasi – tampaknya juga ingin menghirup udara lebih bebas dan lebih merdeka. Termasuk dalam memainkan dan mendengarkan lagu-lagu perjuangan.
Belakaangan lagu-lagu populer di luar lagu "langganan Agustusan" ikut dikumandangkan. Pada Konser Hari Kemerdekaan di CSIS tahun 2004, soprano Linda Sitinjak misalnya menyanyikan Summertime dari Opera Porgy and Bess, karya George Gershwin.
Hal di atas seolah melambangkan hakikat kemerdekaan yang paling hakiki, yakni kebebasan.
Termasuk kebebasan merayakan Kemerdekaan dengan musik, sebagaimana anak-anak dan penduduk di kampung-kampung merayakannya dengan lomba balap karung atau panjat pinang.
Pencarian Musik Nasional
Memilih musik yang cocok dalam memperingati Kemerdekaan tak hanya tumbuh seiring penghayatan akan kemerdekaan itu sendiri.
Bagi para pecinta musik yang lebih suka menggunakan momen kemerdekaan untuk berefleksi, mungkin juga akan mengenang bangkitnya musik nasional, yang pada kenyataannya ikut mewarnai lahirnya bangsa-bangsa.
(Baca juga:Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945)
Dari khasanah musik klasik Barat, karya Sibelius "Finlandia", juga karya Smetana "Moldau", jelas bisa masuk dalam kategori ini.
"Finlandia" sering disebut sebagai musik nasional paling menggugah yang pernah ditulis.
Melalui musik ini, Sibelius muncul sebagai duta bangsanya di hadapan dunia. Sementara "Moldau" (nama sungai besar yang melewati Praha) bak puisi musik yang melahirkan Smetana sebagai juru bicara musik nasional Bohemia – yang kemudian menjadi Cekoslowakia Indonesia sendiri, menjelang dan menyusul kelahirannya, melahirkan banyak pencipta lagu yang lirik-liriknya bernuansa perjuangan.
Sebagian mengandung romantisme. Tetapi dari awal, karya musik tersebut memang tidak dirancang untuk menjadi lebih besar dari sekadar lagu. Selain liriknya, masih sulit untuk mengatakan bahwa lagu-lagu tersebut membawa ciri kenasionalan Indonesia yang kuat.
Maklum, Indonesia saat itu masih harus membangun identitas dirinya, apakah akan berdiri di atas identitas-identitas budaya yang membentuknya, ataukah mengembangkan identitas mengikuti perjalanannya kemudian.
Dalam kaitan ini, apa yang dilakukan mendiang pianis-komposer Yazeed Djamin dengan menggubah variasi "Sepasang Mata Bola" (Ismail Marzuki) berhasil menghasilkan karya musik yang berlatar-belakang epik kuat, meski musiknya sendiri masih menggunakan idiom Barat.
(Baca juga:Reobiono, Sosok Jenius di Balik Pembuatan Sandi Negara pada Awal Kemerdekaan RI)
Pendekatannya berbeda saat ia menggubah aransemen baru untuk lagu-lagu daerah seperti "Es Lilin" yang mengadopsi musik Sunda atau "Ondel-ondel" dari musik Betawi.
Pada sisi lain, apa yang pemah disebut sebagai ciri nasional pun kini tengah dipertanyakan oleh pemusik-pemusik baru, yang lahir dan hidup di era globalisasi.
Riwayat musik ditandai dengan dominasi komposer (yang berbahasa) Jerman atas komposisi instrumental di dunia, sehingga - berkat prestasi itu - mereka seperti lepas dari identitas aslinya.
Mereka dan penerusnya seperti tak bisa menulis musik yang lalu bisa diasosiasikan sebagai musik Jerman.
Sementara Bela Bartok, kalau pun ia menulis tanpa berpretensi mengusung ciri "nasional", serta-merta dicap sebagai Hungaria, sedang Vaughan Williams dicap sebagai Inggris, dan Aaron Copland sebagai Amerika Serikat.
Tetapi sekali lagi, itu wacana yang juga telah lewat. Kini, seperti ditanyakan Michael Beckerman (dalam "Music and Nationality in the Global Age", International Herald Tribune, 11/8/04), apakah kenasionalan masih penting di era globalisasi?
Apa artinya menjadi komposer Ceko setelah jatuhnya komunisme dan setelah Cekoslowakia pecah?
Seriosa perjuangan
Ketika situasi tak memungkinkan untuk merunut musik nasional, orang pun lalu kembali pada mood, suasana hati.
Muncullah lagu-lagu yang mengiringi perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dengan mengenang musik perjuangan ini, orang bisa mengenang ucapan Verdi, bahwa "Tidak ada (hal) yang dapat membungkam suara bangsa." (Verdi with A Vengeance, William Berger, 2000).
(Baca juga:Yuk Berkenalan dengan Syamsudin, Pengamen asal Bekasi yang Menguasi Semua Genre Musik Termasuk Jazz0
Artinya, kebangsaan memang sesuatu yang eksis dan melahirkan roh serta semangat untuk membelanya.
Dalam kaitan mood ini, musik seriosa bisa bercerita cukup banyak. Seriosa yang menurut pengamat musik Sutardjo A Wiramihardja (dalam folder resital vokal "Ode kepada Kemerdekaan", 1995) digunakan sejak tahun 1953, dimaksudkan untuk membedakan dirinya dari musik hiburan dan keroncong.
Mengikuti apa yang pernah dipergelarkan di Bandung 12 November 2001, dari musik seriosa ini dapat dipisahkan dua tema, "mengenang perjuangan" dan "karya-karya indah".
Dalam tema pertama, ada lagu-lagu "Melati di Tapal Batas", "Gugur Bunga", "Fajar Harapan", dan "Sapu Tangan dari Bandung Selatan", semuanya ciptaan Ismail Marzuki (1914 - 1958), lalu juga ada "Ajakan Suci" (Ibenzani Oesman), "Di Selasela Rumput Hijau" (Maladi), "Semangat" (Soedjasmin), "Kepada Kawan" (A. Alhabsii), serta "Bukit Kemenangan" dan "Lukisan Tanah Air", keduanya karya (R Djuhari).
Sekadar perbandingan, di bagian "karya-karya indah" ada lagu "Cintaku Jauh di Pulau" karya FX Sutopo dan "Kisah Angin Malam" gubahan Sjaiful Bahri.
Mengenang lagu-lagu perjuangan, sedikit-banyak membuat orang terkenang pada penciptanya.
Lalu menyusuri riwayat hidup mereka, sambil mencari tahu mengapa mereka menggubah lagu-lagu itu. Ternyata memang ada semangat nasionalisme dalam diri mereka atau keluarganya.
Riwayat Ismail Marzuki misalnya. Orang hanya mengenal Pahlawan Nasional ini jago mencipta melodi, piawai memainkan alat-alat musik, padahal oleh ayahnya ia juga sering dipesankan agar tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya.
(Baca juga:Natalie Sun, Mengabadikan Diagnosis Kanker Payudaranya Melalui Pesan Teks)
Ini tercermin bahkan pada karya pertamanya - "O Sarinah" - yang ia ciptakan tahun 1931, ketika usianya baru 17 tahun. Judul itu bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, karena ia juga lambang bangsa yang tertindas penjajah.
Era penjajahan, baik Belanda (pra - 1942), Jepang (1942 - 1945) dan Revolusi (1945 - 1950) tampaknya memang kuat memberi inspirasi bagi para komponis Indonesia.
Dalam hal ini, perjuangan dengan romantismenya banyak mewarnai lagu-lagu ciptaan Ismail Marzuki, seperti tertuang dalam "Selendang Sutera", di dalamnya terlukis bagaimana selendang yang diberikan oleh gadis pujaan menjadi suvenir yang menguatkan semangat pejuang yang pergi ke medan tempur.
Lalu ketika lengan pejuang terluka parah, selendang sutera turut berjasa sebagai pembalut luka.
Meski sempat dikritik terlalu mengagungkan perjuangan fisik, tak diragukan lagi lagu-lagu perjuangan Ismail amat populer dan tetap banyak dinyanyikan hingga hari ini.
Kita juga masih ingat, Agustus lima tahun lalu pianis-komposer Jaya Suprana juga menggagas rekaman lagu "Indonesia Pusaka" yang dinyanyikan oleh sejumlah tokoh untuk memperingati 100 Tahun Bung Hatta yang amat menyukai lagu tersebut.
Sebagai bukti pengakuan akan jasa karya-karyanya bagi perjuangan, Pemerintah RI bahkan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi Ismail pada 2005.
Karya-karya komponis musik seriosa yang bernuansa perjuangan mungkin memang hanya bisa didengar di sekitar hari-hari bersejarah, seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, atau Hari Kebangkitan Nasional.
(Baca juga:Jadi Musisi, Waspada Risiko Gangguan Pendengaran)
Itu pun kalau ada pencinta musik seriosa yang mengagas konser. Di luar itu, masih ada seniman musik yang mengambil inisiatif untuk merekamnya.
Tenor Ch. Abimanyu yang beberapa tahun silam meluncurkan album "Sebutir Mutiara", kini sudah punya rekaman ulang album tersebut dengan judul "Seriosa Indonesia" yang berisi 15 lagu.
Sementara awal Agustus ini soprano Binu D. Sukaman juga akan meluncurkan album seriosanya yang berisi 26 lagu.
Bila Abimanyu diiringi oleh pianis Ine Lopulisa, Binu diiringi oleh Ananda Sukarlan mencoba memberi sentuhan baru pada lagu-lagu yang untuk genrenya amat dikenal itu.
Puncak lagu kebangsaan
Di luar seriosa, bangsa kebangsaan Indonesia juga bisa menambahkan dua sisi yang tak dapat dilupakan begitu saja.
Pertama adalah lagu evergreen bernuansa perjuangan yang tak dimasukkan kategori seriosa, namun tidak kalah populer.
Misalnya "Rangkaian Melati", hasil gubahan Maladi (yang menggunakan nama samaran "Arimah").
Meski banyak dinyanyikan oleh penyanyi pop dan keroncong, "Rangkaian Melati" sempat pula dinyanyikan secara seriosa oleh tiga soprano terkemuka: Aning K Asmoro, Linda Sitinjak, selain Binu D Sukaman.
Bersama karya Maladi lainnya, "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", "Rangkaian Melati" yang diciptakan di masa penjajahan Jepang dan mengisahkan seorang gadis yang kekasih-pejuangnya berangkat ke medan laga dan tidak kembali ikut mewamai musik bernuansa perjuangan.
(Baca juga:Bukan W.R. Supratman, Inilah Orang Pertama yang Menyanyikan Lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda II)
Puncak musik nasional di momen Kemerdekaan tentu saja Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya" ciptaan WR Supratman.
Mendengar Lagu Kebangsaan, yang pertama muncul tentu perasaan kebangsaan, yang tumbuh di kalbu mereka yang lahir dan hidup di negeri ini, juga kenangan akan perjuangan para pahlawan yang mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, jiwa dan raga, bagi berdiri dan tegaknya bangsa ini.
Namun selain itu juga bisa dinikmati keelokan melodi lagu tersebut.
Pecinta musik bisa mendengar "Indonesia Raya" dimainkan oleh orkestra yang berbeda-beda, termasuk oleh kelompok brass-band yang menggunakan instrumen tiup logam.
Dengan itu, diharapkan pendengarnya dapat menghidupkan mood kemerdekaan melalui sentuhan emosional, ditambah dengan sentuhan musikal.
Bila ingin menghayati riwayat lagu kebangsaan lebih lanjut, sejak tahun 2003 juga telah ada buku susunan Bondan Winarno yang secara rinci membahasnya.
Mendengar lagu kebangsaan, pendengar juga diajak untuk berefleksi. Setelah kerinduan akan "tanah merdeka" terpenuhi, sudah tunaikah tugas kita menjadi "pandu ibuku"?
Seberapa jauh kita memperjuangkan "Indonesia bersatu"? Apakah kita sekarang sudah menjadi anak bangsa yang sudah "bangun jiwanya, dan bangun badannya"?
Bondan selaku penulis mengingatkan, lirik "Indonesia Raya" bukan sekadar pajangan keramat, tetapi janji penuh makna.
(Baca juga:Kim Cheol Wong, Diinterogasi Aparat Keamanan Korea Utara Gara-Gara Menyanyikan Lagu Barat)
Nah, dengan semua musik yang dapat didengar menyambut momen Kemerdekaan, semestinya masyarakat Indonesia dapat terus dalam pertalian sejarah yang mengembangkan perasaan kebangsaan yang sama, antara mereka yang berjuang di masa lalu dan warga yang hidup di masa kini.
Melalui musik, komitmen untuk erkorban demi cita-cita kebangsaan semestinya bisa terus hidup. (Ninok Leksono, wartawan Kompas)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2007)