Intisari-Online.com - Dana haji sedang ramai dibicarakan. Hal ini terkait dengan wacana pemerintah untuk menggunakan dana itu untuk membiayai proyek infrastruktur.
Lepas dari itu, jauh-jauh hari sudah ada ijtima ulama mengenai polemik ini.
“Dana setoran haji yang ditampung dalam rekening Menteri Agama yang pendaftarnya termasuk daftar tunggu (waiting list) secara syar’i adalah milik pendaftar (calon jamaah haji),” menjadi butir pertama dari Hasil Ijtima Ulama IV Komisi B-2 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada 2012 lalu.
Oleh sebab itu, jika calon jemaah haji meninggal atau sebelum berangkat ke Tanah Suci atau berhalangan yang dibenarkan secara syariah untuk berhaji, dana tersebut harus kembali kepada yang bersangkutan atau ahli warisnya.
Hasil ijtima yang sama menjelaskan, dana haji yang mengendap di rekening Menteri Agama memang boleh digunakan.
Namun, penyaluran pemanfaatannya (tasharruf) harus untuk hal-hal produktif yang dikelola dengan mitigasi tinggi atas risiko.
Menurut hasil ijtima ini, pemerintah atas nama pemilik dana dipersilakan mentasharrufkan dana tersebut ke sektor halal.
“(Sektor halal itu) yaitu sektor yang terhindar dari maisir, gharar, riba, dan lain-lain,” bunyi ijtima tersebut.
(Baca juga: Harlah NU: Kecewa terhadap Masyumi, Nahdlatul Ulama pun Sempat Menjadi Partai Politik)
Maisir, terjemahan awamnya adalah perjudian, kegiatan spekulatif, atau perolehan usaha untung-untungan.
Adapun gharar secara awam berarti kegiatan tanpa perhitungan, cenderung tidak pasti dan memiliki risiko tinggi.