Penulis
Intisari-Online.com - Pernah beredar sebuah fotoyang mengundang senyum simpul atau malah ketawa ngakak.
Pada foto pertama terlihat beberapa crosser (pengendara motor trail) bahu membahu menolong rekannya melewati jalan menanjak berlumpur.
Sementara foto kedua terlihat seorang Ibu bersama anaknya yang duduk di depan dengan santai melewati rombongan crosser tersebut.
(Baca juga:Bayinya Meninggal Karena Tertutup Selimut, Ibu Ini Mengingatkan Orangtua Lain Agar Tak Alami Hal Serupa)
Yang mengundang decak kagum, Ibu itu mengendarai motor bebek lansiran lawas. Kontras dengan motor trail para crosser beserta pakaian kebesaran mereka.
“Lapo seh podo mandek nang kene (Ngapain sih pada berhenti di sini),” tanya Ibu itu.
Kejadian yang terjadi di Lumajang, Jawa Timur pada Sabtu (8/10/2016) dalam event Motor Trail Bledex Semeru itu lantas menjadi viral setelah diunggah Mochamad Andrean Habibie yang menjadi peserta event tersebut di laman Facebooknya.
Pemandangan foto yang tergambar di atas seolah membuyarkan sosok crosser yang tangguh.
Sebaliknya, sosok Ibu yang lemah dan dianggap tak becus pun terbantahkan.
Crosser yang dianggap dapat dengan mudah melalui segala rintangan, mampu menerobos berbagai kondisi jalanan, berbatu, berlumpur, dan jalanan terjal sekalipun.
Mereka tidak hanya dapat melalui jalan-jalan besar, tapi juga jalan kecil setapak yang sempit. Apalagi motor yang digunakan tidaklah sembarangan, melainkan motor khusus dengan cc besar pula.
Ban yang digunakan juga spesial, ban pacul dengan tonjolan kecil karet di bagian luar ban.
Tapi ketika berhadapan dengan jalanan mendaki yang terjal, mereka terlihat kesulitan. Motor mereka terpaksa ditarik oleh rekannya sesama crosser.
Postingan yang berasal dari fan pages Facebook roda2blog.com itu langsung menjadi viral. Pengenalan medan memang menjadi kunci kedua foto kontras tadi.
Si Ibu yang penduduk lokal tentu sudah memiliki jam terbang tinggi melewati wilayah itu.
Bisa jadi awal-awal ia melewati jalanan itu saat baru pertama kali naik motor mengalami kesulitan juga.
Seiring dengan keahliannya memainkan gas dan keseimbangan serta pengenalan medan, ia bisa melewati dengan santai. Bahkan sambil memboncengkan anak kecil.
Saya pernah mengalami kejadian mirip seperti itu di daerah pesisir Tasikmalaya.
Untuk menuju ke sebuah desa pedalaman, hanya ada dua cara. Pertama jalan kaki, kedua naik motor atau ngojek.
Waktu itu saya memilih mengojek dengan alasan pasti nyaman. Cepat sampai juag tentunya.
Awal-awal jalanan masih bagus, sampai suatu ketika pengojeknya berpesan agar posisi duduk saya maju menempel punggungnya.
Saya baru memahami perintah itu ketika jalanan yang saya lalui hanyalah jalan setapak, berlumpur, dan kanan kirinya jurang.
Sesekali kedua kaki pengojek itu turun menjaga keseimbangan motor. Saya diam saja dan berharap perjalanan segera selesai.
Ketika tiba di tujuan dan mengobrol dengan pengojek tersebut, ternyata ia pernah membawa penumpang dan jatuh ke jurang.
"Tapi itu awal-awal Mas. Setelahnya saya jarang mengalami kecelakaan," katanya.
Kita memang sering terpukau oleh hasil akhir tanpa pernah tahu proses di balik menuju hasil akhir tersebut.
Mirip dengan ujaran Victoria Orsingher, "It's not about the destination. It's about the journey to get there."