Disayangkan, Gaya Anak Kos Sekarang Yang Kurang Peduli: Sudah Tiga Hari Mahasiswi ITB Meninggal Di Kamar, Tidak Ada Yang Tahu

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Sudah tiga hari meninggal di kamar kos, Sartika baru ditemukan

Intisari-Online.com - Berita itu tidak terlalu heboh, yakni tentang Sartika Tio Silalahi (21) yang ditemukan meninggal di kamar kos, di Jln. Plesiran, Taman Sari, Bandung, Senin (10/7).

Diperkirakan, mahasiswi ITB Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota angkatan 2013 ini sudah meninggal tiga hari.

Tapi anehnya, seperti tidak ada yang menyadari tentang keadaan Sartika, sampai ia ditemukan sudah jadi mayat.

Kecurigaan tentang kondisi Sartika justru dari orangtuanya di Tarutung, Tapanuli Utara.

Pada Senin sekitar pukul 20.30 WIB, orangtua Sartika menghubungi pengurus rumah kos, karena sudah tiga hari anaknya tidak ada berita dan ponselnya tidak bisa dihubungi.

Mendapat laporan dari orangtua Sartika, pengurus kos kemudian melalui chat grup LINE meminta para penghuni kos untuk melihat ke kamar 206 yang dihuni almarhum.

“Dari hasil pengecekan baru diketahui sekitar jam 23.30 WIB setelah dilihat dari atas jendela kamar, terlihat sesosok mayat tergeletak dan mengeluarkan bau tidak sedap," kata Kepala Polrestabes Bandung, Kombes Pol Hendro Pandowo, kepada Kompas.com.

Berdasarkan pemeriksaan polisi, diperkirakan Sartika sudah meninggal tiga hari.

Kamar dalam keadaan rapi. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.

Penyebab meninggalnya diduga karena sakit, mengingat almarhum memang menderita sakit maag kronis.

Sartika ini berasal dari Tarutung dan merupakan siswa berprestasi alumni dari SMAN 1 Tarutung.

Karena prestasinya itulah, Sartika bisa diterima di ITB.

Warganet menyayangkan peristiwa yang menimpa Sartika, karena baru beberapa hari kemudian kondisinya diketahui. Pertanyaan mereka, bagaimana sebenarnya hubungannya dengan teman-teman atau bahkan penghuni kos yang lain?

Kepergian Sartika ini juga disayangkan oleh pemilik akun Facebook, Nestor Rico Tambun.

Nestor menulis, suasana kehidupan di kos saat ini berbeda dengan gaya hidup kos di tahun 1980 atau 1990-an.

“Dulu, hidup satu kos itu seperti keluarga. Saling memperhatikan, saling berbagi makan, merasa senasib, dan saling tolong. Satu orang sakit, bisa-bisa yang antar berobat 5 atau 6 orang,” tulis wartawan senior ini.

Nestor melanjutkan, sekarang ini, gaya hidup di tempat kos, terutama di tempat-tempat kos bagus di kota-kota besar, orang hidup sendiri-sendiri.

“Masing-masing hidup di kamar, berteman dengan gadget dan internetnya. Merasa tidak enak mencampuri urusan, atau mengganggu teman kos lain,” tutur Nestor.

Padahal, dalam opini Nestor, anak-anak muda yang hidup kos di kota, sebenarnya kehilangan sesuatu.

Kehilangan suasana dan perhatian keluarga. Ada rasa sepi, tidak bisa berbicara, atau curhat kepada keluarga.

Karena itu, ketika berada di rantau, sebenarnya justru sangat butuh teman, sahabat, dan lingkungan yang bisa mengisi kekosongan itu.

“Logisnya, teman-teman koslah yang mengisi kekosongan itu,” tulis Nestor.

Selain itu, para orangtua juga harus memperhatikan rumah kos yang dihuni anaknya.

Suasana rumah kosnya seperti apa. Pemilik rumah kos seperti apa. Kira-kira temannya bisa bergaul dengan siapa. Dan lain-lain.

Nestor menilai, orangtua juga sering sama egois. Dia merasa punya uang, mencari tempat kos mahal, fasilitasnya lengkap, agar orang melihat anaknya itu anak orang mampu, tidak butuh orang lain.

“Tanpa sadar, itu sebenarnya menjerumuskan si anak ke kesepian yang dalam, meski hidupnya tampak enak,” tulis Nestor.

Artikel Terkait