Penulis
Intisari-Online.com - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang dibentuk DPR semakin gencar bermanuver demi menemukan setiap kesalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Setelah tak berhasil menghadirkan Miryam S Haryani ke Gedung Parlemen, Pansus Hak Angket makin berani unjuk gigi. Terakhir, pada Kamis (6/7/2017), Pansus Hak Angket mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat.
Di rumah bagi narapidana kasus korupsi itu, para anggota Pansus mewawancarai sejumlah koruptor yang dijebloskan KPK ke jeruji besi.
Bicara mengenai musuh-musuh KPK, para penghuni Lapas Sukamiskin bisa jadi adalah beberapa orang yang paling membenci KPK.
Meski demikian, dengan berbagai alasan, Pansus Hak Angket tetap menggunakan menganggap para koruptor layak sebagai narasumber mereka.
(Baca juga: Wakil KPK: Hak Angket Tak Cocok untuk Lembaga Seperti KPK)
Anggota Pansus menanyai beberapa terpidana korupsi terkait proses penyidikan yang mereka lalui di KPK.
Pansus mencari tahu, apakah ada hal-hal yang menyimpang atau melanggar HAM.
Fakta para koruptor
Salah satu penghuni Lapas Sukamiskin adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
(Baca juga: Usulkan Hak Angket Terhadap KPK, 26 Anggota DPR Ini Bisa Dipidanakan)
Pada 9 Maret 2012, Anas pernah bernazar di hadapan umum.
Ia bersikeras membantah melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek Hambalang.
Anas pernah mengatakan bahwa ia bersedia digantung di Monas jika terbukti menerima aliran uang korupsi terkait proyek Hambalang.
Namun, pada kenyataannya kata-kata Anas yang begitu meyakinkan terpatahkan oleh fakta di pengadilan.
Hakim membuktikan bahwa Anas telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam proyek di Hambalang.
(Baca juga: Apa Itu Hak Angket yang Baru Saja Disetujui DPR untuk Digunakan Kepada KPK?)
Begitu yakinnya, sampai-sampai Mahkamah Agung melipatgandakan hukuman yang harus dipikul Anas menjadi 14 tahun pidana penjara.
Para koruptor yang kini mendekam di Lapas Sukamiskin juga dikenal lihai dalam merencanakan suatu praktik korupsi.
Fakta persidangan mengungkap begitu banyak kata sandi dan istilah tertentu yang digunakan para koruptor untuk menyamarkan uang suap dan mengelabui KPK.
Salah satunya adalah mantan anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana.
Ia terbukti meminta orang kepercayaannya, Suhemi, untuk menyamarkan uang suap yang diminta kepada pejabat di Provinsi Sumatera Barat.
Putu terbukti menggunakan istilah "meter" dan "kaleng susu" saat berkomunikasi.
Satuan meter untuk mengganti penyebutan uang miliaran rupiah.
Sementara, kaleng susu memaksudkan uang suap.
Tak hanya itu, para koruptor yang kini berstatus terpidana juga secara terang-terangan melawan balik KPK.
Mereka yang ditangkap justru merasa dizalimi oleh KPK.
Padahal, setelah melalui serangkaian proses hukum, hakim membuktikan tindak pidana korupsi yang disangkakan oleh KPK benar adanya.
Belum lagi, para koruptor yang pintar memainkan ekspresi di muka hakim.
Politisi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, menangis tersedu saat jaksa KPK menuntut agar Dewie dihukum 9 tahun penjara.
Dewie tetap tidak mau mengakui menerima 177.700 dollar Singapura terkait proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
Ia justru merasa sedang memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun, pada akhirnya Dewi divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim.
Setelah permohonan banding diterima, Pengadilan Tinggi justru memperberat hukuman Dewie menjadi 8 tahun penjara.
Hakim juga mencabut hak politik Dewie. Dengan melihat berbagai fakta tersebut, timbul sebuah pertanyaan.
Apakah masih relevan meminta pendapat para koruptor untuk menilai KPK?
Skenario menyudutkan KPK
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengkritik manuver yang dilakukan Pansus tersebut.
Menurut dia, tidak pantas para koruptor dijadikan narasumber untuk menilai KPK.
Menurut Donal, mewancarai koruptor diduga sebagai skenario untuk menciptakan kampanye negatif kepada KPK.
"Sudah bisa ditebak, sebaik apa pun kinerja KPK, jika narasumbernya adalah koruptor, pasti penilaiannya akan buruk kepada KPK," ujar Donal kepada Kompas.com, Kamis.
Mewawancari koruptor untuk menilai KPK, menurut dia, adalah sebuah permufakatan jahat untuk mendeskreditkan KPK.
Apalagi, secara hukum, seluruh terpidana kasus korupsi telah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, para terpidana tersebut sudah terbukti oleh hakim melakukan kejahatan korupsi.
"Vonis bersalah tersebut membuktikan kinerja KPK sudah benar. Jika saja proses hukum yang dilakukan KPK keliru atau menyimpang, tentu putusannya akan bebas atau lepas," kata Donal.
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Mengintip Kelakuan Napi Koruptor yang Jadi Narasumber Pansus”.