Find Us On Social Media :

Rasa Simpatik dan Empati akan Mengubah Bahagia pada Seseorang yang Mengalami Rasa Sakit

By Moh Habib Asyhad, Jumat, 30 Juni 2017 | 20:40 WIB

resep sederhana menjadi bahagia

Intisari-Online.com – Minggu lalu, suami saya dan saya memutuskan untuk mengunjungi salah satu teman lama ayah saya yang tinggal di Delhi.

Ia adalah perwira pensiunan dari tentara India.

(Baca juga: Tak Ada yang Lebih Menyentuh dari Ini, ketika Seekor Gorila Berempati Pada Kesedihan Pengasuhnya)

Ia masih sangat baik, masih bisa berbicara lancar, masih bisa membaca dengan baik, dan sering bepergian.

Mereka memiliki anak laki-laki yang hilang saat perang, tapi mereka tidak pernah menunjukkan sedikit pun rasa sakit di wajah mereka.

Tampak seolah-olah segala sesuatu di taman itu indah, tapi keriput yang ada dalam wajah wanita tua itu menceritakan kisah yang berbeda sama sekali.

Humor selalu menghiasi percakapan dengan pria tua itu. Pekerjaan cemerlang yang dilakukannya menyamarkan rasa sakit mereka dengan anugerah dan keanggunan.

Kami bersenang-senang bersama mereka. Karena mereka adalah teman orangtua kami, kami pun sering mengingat masa lalu kami.

Kedua orang tua itu menceritakan kejadian yang sangat lucu dan kami terus tertawa seperti bocah yang tak kenal takut.

Tak lama kemudian, asisten menyajikan teh panas. Perbincangan kami terus berlanjut, mereka berbicara tanpa henti, bahkan tanpa jeda sedikit punl.

Setelah selesai meminum teh, saya bangun untuk mengumpulkan semua cangkir dan barang-barang lainnya untuk disimpan di nampan agar saya bisa membawanya kembali ke dapur.

Tapi saya dihentikan dengan suara yang sangat berwibawa dan kuat, “Tidak, tolong, jangan pindahkan cangkir itu dari sana.”

Saya tercengang dengan reaksinya, tercengang dan melihat wanita tua itu marah dengan tindakan saya. Tapi kemudian, wanita itu itu menatap pasangannya dan berkata lembut, “Engkau menakuti anak ini, bukankah kau bisa mengatakannya dengan lebih lembut.”

Pria tua itu menyadari karena perubahan suaranya yang tiba-tiba dan dengan manis ia duduk di samping saya, memegang tangan saya dan memegang tangan kanannya di kepala saya.

Dan apa yang dikatakannya setelah itu, membuat saya menangis dalam hati. Sangat sedih. Sederhana namun begitu mendalam.

Dengan lembut pria tua itu berbicara, “Anakku, tolong tinggalkan cangkir itu begitu saja. Jangan diangkat sampai pagi. Kami memiliki perasaan bahwa hidup telah datang ke rumah sini.

Rumah selalu sepi dan tidak ada yang membuatnya berantakan. Kami merindukan seseorang untuk datang ke rumah kami dan membuatnya kotor.

Jadi, biarkan cangkirnya tetap seperti itu. Kami akan menghargai apa yang kami lihat dan berjanji bahwa Anda akan mengunjungi kami lagi dengan anak laki-laki kalian.”

Yang bisa saya lakukan saat itu hanyalah menangis dan meyakinkan mereka bahwa kami akan kembali bersama anak-anak kami.

Saya lebih suka rumah saya rapi dan selalu memastikan anak laki-laki saya pun bertindak demikian. Setiap hari saya mengomelinya agar merapikan kamarnya.

(Baca juga: Ketiduran saat Makan, Pemadam Kebakaran Ini Justru Menarik Simpati Banyak Orang)

Tapi teringat akan episode kisah orang tua itu hari ini, saya akan berhenti mengomelinya. Rupanya rumah yang berantakan dirindukan oleh seseorang yang sangat kehilangan anaknya.

Rasa sakit hanya diketahui oleh seseorang yang memilikinya. Sedikit kebaikan, sikap peduli, sikap simpatik dan empati, hanya akan menambah kebahagiaan, kepuasan, dan rasa bahagia kita sendiri.