Penulis
Intisari-Online.com – Kami adalah beragam orang yang selalu menggunakan bus setiap hari di musim panas 33 tahun yang lalu.
Setiap pagi dalam perjalanan dari pinggiran kota, kami duduk dengan mengantuk hingga kerah menyentuh telinga kami. Kami sekelompok orang yang tidak peduli dan selalu diam.
(Baca juga:Tepat di Ulang Tahunnya yang ke-59, Prince Diberi 'Kado Ajaib' dari Langit)
Salah satu penumpang bus itu adalah seorang pria tua kecil yang naik bus untuk pergi ke panti jompo setiap pagi.
Ia berjalan dengan wajah sedih, lalu dengan susah payah naik bus dan duduk sendirian di belakang pengemudi. Tidak ada yang memperhatikannya.
Hingga suatu pagi di bulan Juli, ia mengucapkan selamat pagi pada sopir dan tersenyum singkat sebelum ia duduk. Sopir itu mengangguk dengan was-was. Kami semua diam.
Keesokan harinya, pria tua itu naik bus dengan penuh semangat, tersenyum, dan berkata dengan suara nyaring, “Selamat pagi semuanya!”
Beberapa dari kami mendongak, takjub, dan bergumam, “Selamat pagi,” sebagai jawaban.
Beberapa minggu berikutnya kami lebih waspada. Teman kita itu sekarang mengenakan setelan tua yang bagus dan waktu yang jauh berbeda. Rambut tipisnya disisir dengan hati-hati.
Ia mengucapkan selamat pagi kepada kami setiap hari dan kami pun berangsur-angsur mulai mengangguk dan berbicara satu sama lain.
Suatu pagi, ia membawa banyak bunga liar di tangannya. Sudah sedikit layu karena panas.
Sopir itu berbalik sambil tersenyum dan bertanya, “Apakah Anda punya paar, Charlie?”
Kami tidak pernah tahu apakah namanya benar-benar “Charlie”, tapi ia mengangguk malu-malu dan berkata iya.
(Baca juga:Doa yang Menggoyang Langit dan Mengeringkan Samudra)
Penumpang lain bersiul dan bertepuk tangan. Charlie membungkuk dan melambaikan bunga sebelum ia duduk di kursinya.
Setiap pagi setelah itu, Charlie selalu membawa bunga. Beberapa penumpang mulai terbiasa memberi bunga untuk buketnya, dengan lembut menyenggolnya, dan berkata malu-malu, “Ini.”
Semua tersenyum. Orang-orang mulai bercanda tentang hal itu, saling berbicara, dan berbagi koran.
Musim panas berlalu, dan musim gugur pun tiba. Suatu pagi, Charlie tidak menunggu bus seperti biasa. Esok harinya ia tidak ada lagi dan sehari setelah itu.
Kami mulai bertanya-tanya apakah ia sakit atau mudah-mudahan sedang berlibur di suatu tempat.
Ketika kami mendekati panti jompo, salah satu penumpang meminta sopir untuk menunggu. Kami semua menahan napas saat ia pergi ke pintu panti jompo itu.
Staf panti jompo itu mengatakan, bahwa mereka tahu siapa yang dibicarakan. Pria tua itu baik-baik saja, tapi ia belum datang ke panti jompo itu minggu itu.
Salah satu teman dekatnya meninggal di akhir pekan. Mereka mengharapkan pria itu datang kembali pada hari Senin. Mereka merasa sunyi sepanjang pekerjaan.
(Baca juga:(Video) Inspiratif! Bocah Tanpa Lengan Ini Mampu Berenang Bahkan Meloncat di Kolam Renang Olimpiade)
Senin berikutnya, Charlie menunggu di halte, membungkuk dengan sedih, dan pakaiannya tanpa dasi. Sepertinya ia semakin membungkuk.
Di dalam bus ada kesunyian yang mirip dengan suasana gereja.
Meskipun tidak membicarakannya, semua dari kami, yang telah membuat kesan pada musim panas lalu, duduk dengan mata dipenuhi air mata dan seikat bunga liar di tangan kami.