‘Broken Home’ dan Berpindah-pindah, ‘Bekal’ Soeharto untuk Menjadi Pribadi Ulet dan Mandiri

Ade Sulaeman

Penulis

Pak Harto yang payah dalam urusan asmara

Intisari-Online.com – Cerita masa kecil Soeharto dipenuhi gambaran kisah sedih, tentang keluarga yang bisa disebut broken home.

Suami-istri pecah, lantas anak-anak menjadi terlantar. Ibunya, Sukirah, pernah menikah dua kali.

Sedangkan ayahnya yang mempunyai julukan "Panjang", disebut-sebut tiga kali menikah dan tiga kali pula berganti nama, mulai dari Kertorejo, Kertosudiro, dan Notokariyo.

Berdasarkan silsilah versi ketiga ini, tampak Probosutejo merupakan saudara tiri Soeharto, satu ibu tetapi beda ayah.

Sementara Sudwikatmono tercatat sebagai sepupu Soeharto, karena ibu Sudwikatmono dengan ayah Soeharto bersaudara kandung.

Pertengkaran keluarga sudah terjadi sejak Sukirah mengandung.

Barangkali itu sebabnya, begitu melahirkan, Sang Ibu meninggalkan Soeharto dan bersembunyi sambil melakukan tapa "ngebleng", di dalam rumah joglo di desa.

(Baca juga: Anak Hilang yang Tidak Ditemukan Oleh Orang Tuanya, Satu dari Tiga Versi Silsilah Soeharto)

(Baca juga: Soeharto Kecil Trauma pada Alat yang Kelak Menjadi Lambang Partai yang Dibencinya, Kebetulan?)

(Baca juga: Meski Tampan dan Rupawan, Nyatanya Pak Harto Tak Jago-jago Amat dalam Urusan Asmara)

la baru muncul 40 hari kemudian dalam kondisi sangat lemah. Kedua pasangan ini kemudian bercerai.

Sumber lain menyebutkan, Sukirah mengalami gangguan kejiwaan.

Soeharto lalu diasuh mbah Kromodiryo.

Alhasil, sejak kecil Soeharto sudah tidak menikmati air susu ibu (ASI).

Ketika ibunya menikah lagi, Soeharto pun tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya.

Pada usia 8 tahun, ia dijemput kembali oleh ayahnya di Kemusuk dan diserahkan kepada adik perempuan ayahnya, Nyonya Prawirowiharjo (ibu dari Sudwikatmono) di Wuryantoro.

Soeharto diangkat anak oleh bibi dan pamannya ini.

Setahun kemudian, keluarga ibunya menjemput, tepat pada bulan puasa, karena ibunya merasa kangen.

Soeharto tinggal lagi bersama ibunya selama setahun, sebelum akhirnya diajak kembali pulang oleh pamannya di Wuryantoro.

Setelah masuk sekolah, Soeharto kecil punya tugas rutin menggembala kambing dan kerbau sepulang dari sekolah.

Di masa ini ada satu kejadian yang tidak pernah bisa dilupakannya, yakni ketika suatu hari ia disuruh oleh kakeknya, Atmosudiro untuk mengantarkan kerbau ke Kemusuk Lor.

Hewan itu akan digunakan besok paginya.

Namun bukannya melewati jalan yang lebih mudah (tanggul), kerbau itu malah berjalan melalui sungai.

Keruan Soeharto kecil kelabakan, karena sungai itu makin lama makin sempit, dan tentu saja, dalam.

Sampai akhirnya, sang kerbau "mentok", tidak bisa berjalan sama sekali. Maju enggak bisa, mundur pun susah. Menyadari hal ini, Soeharto kecil hanya bisa menangis, dan menangis.

Soeharto juga pernah berpindah tempat tinggal beberapa kali dan diasuh oleh orang-orang yang berbeda.

Tentu kondisi itu tidak nyaman bagi seorang anak kecil, karena sejak usia dini sudah "dipaksa" berpisah dengan orang-orang terdekatnya.

Meski ada juga nilai positifnya, dengan berpindah tempat dari satu keluarga ke keluarga yang lain, ia jadi terbiasa hidup prihatin.

Pengalaman-pengalaman itu membentuk Soeharto menjadi pribadi yang memiliki sifat-sifat keras, ulet, mandiri, serta bersikap hati-hati terhadap ketergantungan pada orang lain.

Soeharto juga punya kelebihan yang tak dipunyai teman-teman sebaya di desanya, lantaran memiliki kesempatan belajar sampai sekolah menengah.

Bekal yang kelak ikut membentuk intelektualitas Sang Smiling General.

(Seperti ditulis oleh Dr. Asvi Warman Adam, Peneliti Utama LIPI Jakarta, dan dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2008 dengan judul asli Soeharto, Silsilahnya ada 3 Versi)

Artikel Terkait