Penulis
Intisari-Online.com – Satu keluarga ini, Fransiskus Xaverius (Suami/45), Margaret Yentin Liana (Istri/43), dan kedua anaknya Rafael Fransiskus (18), Kathlyn Fransiskus (11), serta dua anjing peliharaan bernama Choky dan Snowy ditemukan tewas di rumah mereka, Rabu (24/10/2018).
Menurut Kepala SPKT Ipda Dofan, dugaan sementara kasus itu adalah kasus pembunuhan dan bunuh diri yang dilakukan oleh sang kepala keluarga.
Asisten rumah tangga keluarga Fransiskus Xaverius (FX) Ong (45) mengungkapkan bahwa majikannya sering terlibat pertengkaran dengan sang istri, Yentin Liana (45) sebelum mereka ditemukan tewas.
Dikutip dari Kompas.com keterangan itu disampaikan oleh Sarah seusai menjalani pemeriksaan di Polda Sumsel, Rabu malam (24/10/2018).
FX Ong enggan melepaskan hak asuh atas anaknya, sehingga sering terjadi pertengkaran dengan Yentin Liana memperebutkan hak asuh anak.
“Koko enggak mau anaknya diasuh Cece, jadi suka ribut begitu (soal hak asuh anak) ”ujarnya.
Isu adanya oran ketiga muncul sebagai pemicu perceraian di anatara keduanya, juga disampaikan oleh asisten rumah tangga korban, Dewi (28) dan Sarah Perdinanti (20).
FX Ong diduga memiliki wanita idaman lain sehingga membuat Margaret hendak menggugat cerai suaminya tersebut.Baca Juga : Penyanyi Sinead O'Connor Masuk Islam dan Ganti Nama, ini Arti Nama Barunya
Perceraian memang tak sedikit menimbulkan permasalahan lain, pembagian harta gono gini hingga hak asuh anak.
Dalam kasus FX Ong, ia menginginkan hak asuh anak mereka.
Sebenarnya, siapa yang lebih berhak atas hak asuh anak setelah suatu perceraian terjadi di mata hukum?
Hak asuh anak bila terjadi perceraian telah diatur di beberapa pasal dalam undang-undang.
Mengutip advokatperceraian.com, di antaranya adalah pasal 45 ayat (2), pasal 98, dan pasal 105.
Baca Juga : FX Ong Lakukan Ini Agar Korban Tak Sempat Melawan, Bukti Aksinya Direncanakan dengan Sangat Matang
Baik ibu atau ayah, semuanya memilik peluang yang sama untuk mengasuh anak.
Keputusan akhir jatuh pada siapa hak asuh atas anak sepenuhnya ada di tangan hakim, didasarkan pada beberapa pertimbangan, mislanya aspek psikologi dan sosial.
Pendekatan psikologi dimaksudkan agar hakim memahami kondisi anak, bukan sekedar dari umurnya melainkan juga kematangan psikologinya.
Jika anak dirasa sudah matang secara psikologi, ia termasuk mumayyiz.
Ikatan emosional antara anak dan orangtua juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menentukan hak asuh anak.
Apabila kondisi orangtu tidak baik, jelas tidak akan mampu untuk merawat anaknya.
Dikhawatirkan kondisi tersebut akan memperburuk kondisi anaknya yang telah lebih dulu terguncang dengan perceraian orangtuanya.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana dalam Pasal 105 menetapkan 3 hal mengenai hak asuh anak jika terjadi perceraian.
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Meski telah secara jelas dalam dalam pasal 105 (a) KHI bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) menjadi hak ibunya, hakim dapat melakukan disreksi.
Disreksi memungkinkan mencabut hak asuh anak atas ibunya bila selama persidangan perceraian ada fakta-fakta buruk tentang si ibu.
Misalnya saja jika ibu tersebut adalah oemabuk, penjudi, ringan tangan, yang berisiko akan berdampak buruk pada anaknya.
Dalam kondisi tersebut, hak asuh anak akan jatuh pada ayahnya.
Baca Juga : Secara Diam-diam, Amerika Pernah Bentuk Pasukan Gerilya di Indonesia yang Tentaranya Buta Huruf, Untuk Apa?