Doyan Borong Senjata, Salah Satu Alasan Arab Saudi Mustahil Dijatuhi Sanksi oleh AS Terkait Jamal Khashoggi

Ade Sulaeman

Penulis

Meski mengecam pembunuhan Jamal Khashoggi, Trump terlihat ragu-ragu, bahkan enggan, ketika ditanya soal sanksi yang akan dijatuhkan kepada AS.

Intisari-Online.com -Seiring pengakuan Arab Saudibahwa jurnalis Jamal Khashoggi telah tewas terbunuh, Presiden Amerika Serikat Donald Trump terlihat enggan untuk memberi sanksi kepada negara yang jadi pembeli senjata buatan negaranya tersebut.

Ya, meski sempat menyatakan bahwa Khashoggi telah keluar dari Konsulat Arab Saudi (di mana sang jurnalis diduga dihabisi), Arab Saudi akhirnya mengaku bahwa Khashoggi "tewas dalam pertikaian" di konsulat.

Terus didesak oleh wartawan terkait dengan skandal yang diduga melibatkan putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Trump akhirnya buka suara.

"Saya pikir ini langkah pertama yang baik, itu langkah besar. Ada banyak orang, banyak orang yang terlibat, dan saya pikir itu langkah pertama yang hebat,” kata Trump kepada wartawan seperti dikutip Reutersdan dilansir Intisari Online dari kontan.co.id.

Baca Juga : Sempat Menyangkal, Arab Saudi Akhirnya Akui Jamal Khashoggi Tewas di Konsulat Turki, Ini Penyebabnya Menurut Mereka

Trump mengakui aksi pembunuhan tersebut bukanlah sesuatu hal yang dapat diterima.

Meski memberi pernyataan seperti itu, Trump terlihat ragu-ragu, bahkan enggan, ketika ditanya soal sanksi yang akan dijatuhkan kepada AS.

"Keengganan" tersebut dianggap oleh beberapa pihak, karena AS dikenal sangat dekat dengan Arab Saudi.

Baca Juga : (FOTO) Isi Rumah Termahal di Dunia Milik Mohammed bin Salman, Terduga Otak Pembunuhan Jamal Khashoggi, Sangat Mewah

Selain merupakan salah satu penguasa cadangan minyak terbesar di dunia, Arab Saudi juga diketahui merupakan pembeli senjata buatan AS terbesar.

Arab Saudi sendiri merupakan importir senjata terbesar di dunia, merujuk pada data tahun 2015.

Impor senjata Arab Saudi tahun lalu melonjak 54 persen menjadi 6,5 miliar dollar AS, diikuti India dengan 5,8 miliar dollar AS, menurut dokumen yang dirilis pada Minggu (8/3/2015) oleh lembaga kajian perdagangan senjata dunia, IHS.

Menurut lembaga tersebut, impor Arab Saudi diperkirakan akan naik lagi menjadi 9,8 miliar dollar AS tahun ini, berdasarkan jadwal pengiriman senjata.

Dilansir dari AP, peraih manfaat terbesar dari meningkatnya pasar senjata di Timur Tengah adalah AS. AS mengekspor senjata senilai 8,4 miliar dollar AS ke Timur Tengah tahun lalu, naik dari 6 miliar dollar AS pada 2013.

Bahkan pada 2017 lalu, Arab Saudi dikabarkan menandatangani kesepakatan pembelian senjata terbesar dalam sejarah AS yaitu senilai 110 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.667 triliun.

Dengan kata lain, AS bakal merugi jika sampai hati menjatuhkan sanksi kepada Arab Saudi terkait kematian Jamal Khashoggi.

Berikut ini lima alasan AS sulit untuk memberikan sanksi kepada Arab Saudi, seperti diulas dalam artikelkompas.com berjudul"Tak Ada Sanksi AS untuk Saudi yang Diduga Hilangkan Jamal Kashoggi".

Baca Juga : Tulisan Terakhir Jamal Khashoggi: Tetap Berisi Kritik Pedas, Bikin Kuping Kerajaan Arab Saudi Panas

1. Kuasai cadangan minyak dunia

Saudi memiliki sekitar 18 persen cadangan minyak dunia dan merupakan eksportir minyak terbesar di dunia. Demikian data organisasi negara-negara produsen minyak OPEC.

Faktor cadangan minyak ini membuat Saudi sangat diperhitungkan di panggung internasional.

Jika AS dan negara-negara lain menerapkan sanksi, Pemerintah Saudi akan dengan mudah memangkas produksi minyak, yang dengan sendirinya akan menaikkan harga minyak secara global.

Langkah ini bisa dicegah hanya jika negara-negara lain bisa menutup pasokan minyak yang diproduksi Saudi.

Dalam tajuk rencana yang diterbitkan Minggu (14/10/2018), Turki Aldakhil, manajer Al Arabiya, stasiun televisi milik Pemerintah Saudi, mengatakan bahwa sanksi terhadap Saudi akan memicu bencana ekonomi yang imbasnya akan terasa di seluruh dunia.

Ia mengatakan, harga minyak pada kisaran 80 dollar AS per barel telah membuat Presiden Trump marah.

Dan di atas kertas, peluang kenaikan harga minyak ke kisaran 100 dollar AS atau bahkan 200 dollar AS per barel terbuka lebar.

Kenaikan harga sudah barang tentu akan memengaruhi konsumen di tingkat bawah yang membeli BBM di berbagai SPBU.

Baca Juga : Jamal Khashoggi Dilenyapkan dengan Zat Asam Setelah Dimutilasi, Ini Dampak Mengerikan Zat Tersebut pada Tubuh Manusia

2. Kontrak militer

Anggaran militer Arab Saudi adalah yang terbesar ketiga di dunia pada 2017, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI).

Tahun lalu, Saudi menandatangani kesepakatan persenjataan dengan AS senilai 110 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.667 triliun, dengan opsi bertambah menjadi lebih dari 350 miliar dollar AS dalam kurun 10 tahun.

Gedung Putih menggambarkan kesepakatan ini sebagai yang terbesar dalam sejarah AS.

Negara-negara Barat lain yang memasok senjata ke Saudi di antaranya Inggris, Perancis, dan Jerman.

Tajuk rencana yang ditulis Aldakhil mengisyaratkan jika Barat menerapkan sanksi, Saudi bisa meminta China dan Rusia untuk memenuhi kebutuhan militernya.

3. Keamanan dan terorisme

Negara-negara Barat sudah menekankan bahwa Saudi berperan penting dalam menjaga stabilitas keamanan di Timur Tengah dan dalam memerangi terorisme.

Perdana Menteri Inggris Theresa May pernah mengatakan pentingnya tetap memiliki hubungan yang erat dengan Saudi meski muncul tuduhan militer Saudi "melakukan kejahatan perang di Yaman".

PM May mengatakan apa yang dilakukan Saudi juga "membantu keamanan di dalam negeri Inggris".

Saudi adalah anggota koalisi internasional yang memerangi kelompok ISIS dan tahun lalu mendirikan koalisi antiterorisme yang beranggotakan 40 negara Islam.

Aldakhil menulis jika Barat menerapkan sanksi terhadap Saudi, maka kerja sama intelijen dan pertukaran informasi antara Saudi, AS, dan negara-negara Barat lain dipastikan akan dihentikan oleh Riyadh.

4. Aliansi regional

Saudi menggalang kerja sama yang erat dengan Washington dalam meredam pengaruh Iran di kawasan.

Saudi (yang merepresentasikan kekuatan Sunni) dan Iran (yang mewakili kekuatan Syiah) sudah sejak lama terlibat dalam konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung, di Timur Tengah selama beberapa dekade.

Di Suriah, Saudi mendukung faksi-faksi pemberontak yang mencoba menggulingkan Presiden Bashar al-Assad sementara Iran, bersama Rusia, membantu pemerintah yang berkuasa.

Aldakhil memperingatkan sanksi dari AS bisa mendorong Saudi "untuk menghangatkan hubungan dengan Iran, bahkan mungkin Saudi melakukan rekonsiliasi dengan negara tersebut".

5. Perdagangan dan investasi

Tajuk rencana Al Arabiya juga menyebutkan akses perusahaan-perusahaan AS ke pasar domestik Saudi akan dibatasi begitu Washington menjatuhkan sanksi.

Nilai perdagangan barang dan jasa antara AS dan Saudi mencapai 46 miliar dollar AS atau hampir Rp 700 triliun.

AS menikmati surplus 5 miliar dollar AS dan Kementerian Perdagangan AS memperkirakan hubungan dagang kedua negara membantu menopang 165.000 lapangan kerja di Amerika pada 2015.

Agustus lalu, Saudi membekukan semua hubungan dagang baru dengan Kanada setelah negara tersebut "mencampuri urusan dalam negeri" setelah negara itu meminta pembebasan aktivis hak-hak perempuan yang ditangkap.

Saudi juga menghentikan impor biji-bijian dari Kanada dan meminta mahasiswa Saudi yang tengah belajar di berbagai universitas di negeri itu untuk pulang.

Baca Juga : 'Death Squad', Utusan Saudi yang Diduga jadi Pembunuh Jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi

Artikel Terkait