Penulis
Intisari-Online.com – Gandrung Banyuwangi menjadi pembicaran setelah rencana Pemkab Banyuwangi menggelas Festival Gandrung Sewu 2018 ditolak sebuah organisasi massa.
Ya,Gandrung Banyuwangi memang merupakan warisan seni dan budaya asli masyarakat Banyuwangi.
Ada cerita panjang di balik tarian yang semula dilakukan oleh pria dan ditujukan sebagai persembahan kepada Dewi Sri sang pelindung pertanian ini.
Kisahnya diuraikan olehBambang Prakuso di majalah Intisari edisi Mei 2009 dalam artikel berjudulGandrung Banyuwangi Coba Mendunia berikut ini.
Baca Juga : Antar Anak Sekolah Pakai Ferarri 488 Seharga Rp10 Miliar, Ayah ini 'Didepak' dari Grup WeChat
Semula tari persembahan kepada Dewi Sri sang pelindung pertanian. Sifatnya sakral, perlu sesajian sebelum mementaskannya.
Sekarang, gandrung adalah tari pergaulan yang biasa dipertunjukkan kepada para turis atau digelar di festival tari antarbangsa. Gandrung lantas memberi kehidupan bagi banyak orang.
--
Seorang perempuan muda, dengan busana mirip penari serimpi bermahkota omprok, menari gemulai. Tangan terayun, berputar, sesekali menyibakkan selendang yang menjuntai di lehernya.
Gerakannya mengepak bagaikan burung, dan tubuhnya meliuk bagai ular. la seperti menggoda pria lawan tarinya (pemaju). Namun ketika sang pemaju mendekatkan muka seolah-olah hendak mencium, si penari mengelak.
Itulah gandrung. Gerakannya bisa sangat sensual, bisa pula mencirikan tubuh yang lentur namun bertenaga. Tariannya disebut gandrung, sang penari pun, karena kebiasaan turun-temurun, juga disebut gandrung.
Baca Juga : Tak Perlu Panik, Lakukan Ini Jika Tersedak Jarum Pentul atau Duri Ikan
Ditanggap untuk Meramaikan Hajat
Gandrung adalah salah satu tarian orang (lare) Osing, suku asli Banyuwangi, daerah di ujung timur Pulau Jawa. Tarian ini dimodifikasi dari tari pemujaan kepada Dewi Sri, disesuaikan dengan zaman, menjadi tari kreasi pergaulan.
Selain menjadi kebanggaan dan identitas budaya, gandrung juga dipentaskan di luar Banyuwangi. Di acara pertukaran budaya di kota lain, bahkan ikut festival di luar negeri.
Pada Festival Tari Tradisional Dunia di Korea Utara (2003) yang diikuti 47 negara, gandrung Banyuwangi menjadi tarian terpopuler kedua setelah tari dari Rusia.
Hampir sama dengan jaipong di pedalaman Jawa Barat, ronggeng di sekitar Cirebon dan Indramayu, atau tayub di sekitar Blora dan Cepu, Jawa Tengah, gandrung juga menghadirkan penari, penyanyi, musik pengiring, dan penari spontan yang berasal dari penonton secara bergantian.
Memang tidak sama dengan seblang, tari ungkapan rasa syukur seusai masa panen yang mensyaratkan si penari untuk trance alias kesurupan yang juga budaya masyarakat Osing. Kalau seblang dilaksanakan dalam situasi khusus dan unsur sakralnya kuat, gandrung bersifat profan dan bisa ditampilkan setiap saat.
Di Banyuwangi, gandrung menjadi acara yang banyak ditanggap bila seseorang memiliki hajatan seperti selamatan, pernikahan, sunatan, atau membayar kaul (nyaur niat). Maka di kota di ujung timur Pulau Jawa itu bermunculan sanggar kesenian, di antaranya gandrung.
"Tahun lalu kami mencetak 33 penari gandrung," kata Kabid Pemasaran dan Penyuluhan Wisata Diparda Banyuwangi, Margono. Itu buah dari upaya pemerintah daerah ikut serta menumbuhkan budaya gandrung.
Tak semua hasil didikan Dinas menjadi penari profesional yang disebut gandrung terob. Banyak peserta yang belajar tari gandrung untuk iseng. Tapi paling tidak, kelangsungan budaya itu tetap terjaga. Sekarang ini cukup banyak penari gandrung profesional di Banyuwangi.
Beberapa merupakan bintang, yang tentu saja berhasil secara ekonomi. Posisi sosial mereka pun cukup tinggi, ibarat artis lokal.
Dewi Lestari (19) asal Sumber Sewu, Muncar, adalah salah satu remaja yang tertarik untuk melestarikan budaya lare Osing itu. Sejak kelas III SMP dia sudah bergabung di sanggar yang dipimpin Sabar Harianto.
la merupakan salah satu penari gandrung yang diutus ke Korea Utara pada 2003. Selain Korea Utara, gandrung juga pernah ditampilkan di Amerika Serikat, Belanda, Australia, Hongkong, dan Beijing, Cina.
Untuk mendukung potensi budaya daerah, stadion mini Gezibu Blambangan di tengah Kota Banyuwangi setiap bulan dimeriahkan oleh pergelaran kesenian tradisional. Selain gandrung ada janger, barong, jaran goyang, dan lagu-lagu khas Banyuwangi.
Penampilnya adalah anggota sanggar yang tersebar di banyak kecamatan. Tarian barong dan janger memang mirip tarian Bali karena kedua daerah itu memiliki akar budaya yang sama.
Bedanya, di Banyuwangi sendratari janger menampilkan cerita khas Banyuwangi, seperti Sidopekso (asal mula nama Banyuwangi), Damarwulan Ngarit, Geger Blambangan, dll.
Baca Juga : Kisah Orang-orang Jawa di Suriname: Sempat Dianggap Bodoh, Pandir, dan Mudah Ditipu
Mulanya Penari Laki-laki
Pada awalnya gandrung adalah tarian sakral. Tari itu diciptakan para petani sejak zaman Hindu, tujuannya untuk menghormati Dewi Sri. Menurut sejarah, pertama kali gandrung ditampilkan sebagai tontonan pada tahun 1890.
Pada waktu itu penarinya adalah laki-laki karena perempuan dilarang tampil. Gandrung Lanang (laki-laki) itu menampilkan laki-laki berpakaian ala perempuan. Marsan adalah penari yang melegenda dan baru pensiun hingga usia senja.
Pada 1895, untuk pertama kalinya ada seorang perempuan, Bu Semi, tampil sebagai penari gandrung. Tenyata, kiprah Bu Semi diterima masyarakat. Sejak itu orang lebih senang melihat gandrung dibawakan oleh penari perempuan. Laki-laki cukup jadi pelengkap.
Di dalam perkembangannya, fungsi gandrung bergeser menjadi tari kreasi untuk pergaulan. Tari diajarkan di rumah-rumah dan sanggar, dan si penari menjadikan gandrung sebagai profesi.
Para gandrung terob yang terkenal antara lain Gandrung Asma (Asmawati), Gandrung Temu, Gandrung Sularsih, Gandrung Pinak, dan Gandrung Mudayah.
Mereka berasal dari pelbagai kecamatan di Banyuwangi seperti Kemiren, Cungking, Olehsari, Rogojampi, Gambiran, dan Muncar. Seorang penari gandrung memiliki manajemen dan grup sendiri yang berasal dari warga setempat.
Satu grup biasanya beranggota delapan orang, terdiri atas satu-dua penari, satu perias, dan para pemain musik alias gamelan pengiring.
Gandrung biasa ditampilkan semalam suntuk, pukul 21.00 - 04.00 WIB. Penari harus tahan tidak buang hajat sepanjang acara karena lilitan kain dan stagen busananya yang ketat sehingga tak leluasa dibuka.
Baca Juga : Khabib Nurmagomedov Niat Gabung WWE: Ini Beda WWE dan UFC, dari Popularitas Hingga Besar Bayaran Petarung
Citra Negatif
Dilaksanakan pada malam hingga dini hari, gandrung biasanya dipadu dengan bentuk keriaan lain misalnya minuman keras. Tak hanya pemaju, semua orang bisa ikut menggoyangkan badan sesuai irama gamelan pengiring. Apalagi dalam kondisi mabuk. Maka tak jarang para pria dibuat lupa diri, lupa punya istri dan keluarga.
Citra negatif sebagai ajang mabok-mabokan, walau diakui, tak sepenuhnya bisa diterima para penari gandrung. Temu, seorang gandrung terob misalnya, tidak mau gandrung asal diidentikkan dengan minuman keras dan orang mabuk.
"Yang namanya mabuk-mabukan itu gak mesti pada acara gandrung. Di acara dangdut atau acara tradisional lain bisa saja terjadi. Yang penting tidak sampai jadi kerusuhan."
Sesuai namanya, gandrung memang berarti "menyukai" atau "tergila-gila". Tak jelas mengapa dikatakan demikian. Yang pasti, penari gandrung memang memiliki daya tarik.
Di tanah Osing yang masih mengakui dunia gaib semacam santet dan teluh, pemanfaatan pelet atau magic sebagai daya tarik diri adalah cerita yang wajar.
Ajian atau daya tarik magis seperti "Jaran Goyang", "Semar Kuning", "Sabuk Mangir", "Jopo- jopo", atau "Sren-sren" secara diam-diam diakui oleh para gandrung terob, meski para penari muda menganggapnya tidak masuk akal.
"Anda yang tidak suka bisa menjadi suka," kata Margono lagi, seperti membenarkan penggunaan cara-cara magis untuk memikat orang lain itu. Sahuni, staf Margono, pun membenarkannya.
"Karena itu saya selalu hati-hati membawa tamu, jangan sampai mereka terpikat oleh penari gandrung," sambung staf marketing Diparda, Aekanu Hariyono.
Baca Juga : Ketika Donald Trump 'Ngamuk' karena India Abaikan Larangan Beli Rudal Rusia dan Minyak Mentah Iran