Find Us On Social Media :

Ekspedisi Everest '97 yang Digagas Prabowo: Kisah Prajurit Asmujiono Gapai Puncak Everest Setelah Injak Mayat

By Ade Sulaeman, Jumat, 12 Oktober 2018 | 10:15 WIB

Makan Leci Hangat

Sedianya, Sertu Misirin-lah yang direncanakan mengibarkan bendera. Namun, pada ketinggian 8.823 meter, Misirin sudah setengah sadar. "Pandangan saya gelap, enggak melihat apa-apa. Samar-samar cuma saya dengar suara Muji yang mendahului saya," kisah pria asal Ponorogo (Jatim) ini.

Oleh pelatih pun, Misirin diminta turun. "Tapi saya teringat kata-kata Lettu Iwan, 'Mati pun, kita siap. Ingat kejayaan bangsamu saat naik, dan ingat keluargamu saat turun'," lanjutnya.

Semangat Misirin kembali terpacu. Setelah istirahat sejenak dan makan permen untuk memasok energi, "Saya pelan-pelan maju lagi sambil terus berdoa. Malu rasanya kalau saya pulang gagal."

Setelah Muji, Misirin pun tiba di puncak, disusul Iwan. "Kami semua tak henti menyebut asma Allah. Sayang, kami tak sempat menyanyikan Padamu Negeri karena kabut dan angin kencang mulai datang. Kami hams segera turun," ungkapnya.

Berada di puncak tertinggi dunia tak pernah terbayangkan oleh Misirin sebelumnya. "Cita-cita saya dulu cuma masuk ABRI. Makanya, begitu diterima jadi tamtama tahun 87, saya sudah senang.

Apalagi setelah masuk Kopassus. Di sinilah saya terpilih sebagai tim pendaki gunung karena dinilai mampu. Sebelum ini, saya pernah mencapai puncak Mandala di Irian Jaya," paparnya.

Sekalipun berpengalaman mendaki, banyak kendala baru dialami Misirin dalam ekspedisi Everest ini. Misalnya, di ketinggian 6.000 meter, saat oksigen menipis dan suhu anjlok drastis, ia mendadak kehilangan nafsu makan.

Apa saja yang ditelannya selalu dimuntahkan. Kelainan itu juga dialami Muji dan Iwan. "Selain lemas, kepala rasanya kayak dibor," kata Misirin yang kemudian banyak-banyak minum teh manis hangat agar suplai tenaga tetap terjaga.

Saat mencapai ketinggian 7.000 meter, "Berat badan saya sudah turun dari 70 kilo jadi 63 kilo karena tiga hari enggak makan apa-apa. Akhimya, saya paksakan makan buah leci hangat sampai tiga malam berikutnya." Selain menyantap leci, "Kami juga makan vitamin dalam dosis ringan."

Perjalanan pulang pun tak kalah berbahayanya. "Di ketinggian 8.500 meter, kami terpaksa bermalam karena terhadang badai salju. Sementara persediaan oksigen tinggal dua tabung. Terpaksalah kami sibuk membagi rata oksigen," cerita Misirin.

Di situlah, Misirin nyaris tewas kehabisan oksigen. "Rasanya saya sudah di ambang hidup dan mati," ujarnya. Saat itulah, Misirin mengaku melihat wajah dan mendengar suara istri dan anaknya, Andayati (27) dan Jojo Irwantoro (4).

Semangat hidup Misirin mendadak bangkit. Saat itu, nun jauh di seberang samudera, Andayati tengah memanjatkan doa bagi keselamatan suaminya.

Selain doa, Andayati juga mengirim faks dan surat. Hanya saja, Misirin mengaku tak sempat-sempat membalas surat istrinya. "Sudah saya jelaskan padanya, informasi dari teve dan koran, kan, jalan terus. Dan dia bisa ngerti". ujarnya.

Andayati sendiri mengaku bisa memahami alasan suaminya. Ia juga ikut bangga karena suaminya mencapai prestasi yang tak bisa diraih sembarang orang.

"Sebagai istri prajurit, saya siap jika suami saya ditugaskan kapan pun dan di mana pun. Sebelum menikah risiko ini sudah saya sadari, kok," ungkap Andayati sambil tersenyum bahagia.

Baca Juga : Selain Banyak Sampah, Ini Masalah Lain Saat Daki Gunung Everest