Penulis
Intisari-Online.com - Gempa dan tsunami yang menerjang wilayah Donggala-Palu pada Jumat (28/9/2018)
Ratusan rumah hancur karena goncangan gempa sebesar 7,4 SR dan terjangan ombak tsunami yang mencapai 1,5 meter.
Berdasarkan temuan korban per hari Senin (1/10/2018) oleh BNPB, korban jiwa sudah mencapai 844.
Ribuan lagi korban luka dan beberapa korban jiwa ada yang belum bisa dievakuasi karena terhalang reruntuhan bangunan.
Baca Juga : Nurul, Korban Gempa Palu yang Selamat Setelah Terjebak 2 Hari Dalam Kubangan Air Bersama Jenazah Sang Ibu
Tak jarang pula para korban selamat di tenda pengungsian mengalami trauma yang mendalam.
Ini wajar. Semua bencana alam tentu meninggalkan trauma bagi siapa saja yang mengalaminya.
Tapi kasus trauma dalam hal gempa bumi sedikit berbeda. Tingkatannya biasanya lebih berat dibandingkan dengan bencana alam yang lainnya, apalagi jika diikuti dengan tsunami.
Salah satu penyebabnya adalah karena gempa bumi datang tanpa peringatan dan kebanyakan warga tidak mempersiapkan diri serta mental mereka untuk menghadapi gempa.
Baca Juga : Sesar Palu Koro, Belah Pulau Sulawesi jadi 2 dan Paling Berpotensi Sebabkan Gempa serta Tsunami di Palu
Sebuah penelitian yang dilakukan psikolog di University of Canterbury menunjukkan sebuah efek buruk dari gempa bagi otak manusia.
Proyek penelitian ini dilakukan setelah gempa berkekuatan 7,1 melanda Selandia Baru pada 2010 silam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa rata-rata mengalami penurunan kognitif dalam tugas yang sama setelah mereka menghadapi gempa bumi.
Ini menjadi bukti bahwa setiap bencana dapat menurunkan kompetensi mental para korban.
Baca Juga : Pilih Selesaikan Azan Magrib, Agil Wafat Tertimpa Reruntuhan Masjid Akibat Gempa di Palu
Studi juga menemukan beberapa pengemudi lebih mudah terlibat kecelakaan setelah terkena gempa bumi karena pikiran mereka teralihkan dari jalanan.
Saat itu, warga Selandia Baru mengalami kegelisahan sepanjang waktu karena gempa dan gempa susulan yang terus terjadi.
Rasa trauma ini bisa membekas selama bertahun-tahun dan terus mengalihkan pikiran mereka dari fokus yang seharusnya.
Gempa susulan yang terjadi lebih sering bisa lebih mengganggu bagi kesehatan mental dan kemampuan otak warga,
Ini membuat otak terus terjaga, bersiap jika ada gempa yang akan terjadi dan mungkin saat tidak ada gempa, muncul halusinasi yang membuat otak merasa seolah-olah merasakan goyangan gempa bumi.
Dilansir dari ABCNews, sebagian besar penelitian tentang gangguan kesehatan mental pasca-bencana menunjukkan hasil yang sama.
Gangguan stres pasca-trauma dapat bertahan hingga bertahun-tahun setelah kejadian bencana itu. Depresi juga rentan terjadi, apalagi saat stres tidak ditangani dengan baik.
Orang-orang yang mengalami kecemasan sangat besar cenderung bersifat impulsif (reflek yang dilakukan tanpa berpikir lebih dulu).
Misalnya, ada goncangan kursi karena kendaraan lewat di depan rumah, mereka segera berlari dan menyelamatkan diri karena cemas akan gempa.
Berdasarkan penelitian ini, korban gempa tak hanya perlu diberi bantuan secara materi dan infrastruktur, tapi juga didampingi oleh orang-orang yang mampu menenangkan mereka.
Ini penting, agar siapa pun yang mengalami musibah bisa tetap bertahan dengan kesehatan mental yang baik dan lebih mengurangi tingkat stres serta trauma pasca-bencana.
Baca Juga : Kisah Warga Singapura yang Selamat dari Gempa Palu, Hotelnya Runtuh dan Bantu Warga yang Terjebak