Penulis
Intisari-Online.com – Udang yang diekspor hidup-hidup meski dikemas dalam kantung berisi air beroksigen. Tapi, itu dulu. Sekarang, eksportir Jepang sudah bisa mengkargo udang yang masih bernapas ini tanpa air lagi!
Roni Gunawan, yang saat itu mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian IPB, berhasil membongkar rahasianya. Dan ia menuliskannya di Majalah Intisari edisi September 1992, dengan judul Sebelum Diekspor Udang Jepang Dibuat Pingsan.
Mengkargo udang hidup tanpa memasukkannya ke dalam air? Yang benar aja. Lha, udang itu malah ditimbun dalam serbuk gergajian? Asyamalakata!
Sungguh ini suatu langkah ekonomis baru bagi dunia pengiriman udang hidup. Tentu saja, para eksportir Jepang yang pertama kali melaksanakannya – dan terbukti berhasil – mengklaim ahli merekalah penemunya. Bukan Taiwan seperti yang banyak digunjingkan orang.
Baca Juga : Ekspor Indonesia ke AS Lebih Banyak Dibanding Ekspor AS ke Indonesia, Trump Beri 'Warning' Kepada Indonesia
Tapi, ya biar sajalah. Mau Jepang apa Taiwan, apa urusan kita. Lagi pula, apa perlunya sih kita ikut bersitegang urat leher. Toh Jepang tidak mengepit teknologi ini hanya buat dirinya sendiri.
Nyatanya kita juga bisa mendapatkan rahasianya, 'kan?
Karena prakiis dan ekonomis
Asal-muasal penelitian ini di Jepang, paling tidak, karena dua alasan.
Baca Juga : Hanya Karena Jari yang Tergores Saat Bersihkan Udang, Perempuan Ini Alami Infeksi Hingga Berujung Kematian
Pertama, pengkargoan udang hidup cara lama dinilai sangat kurang ekonomis. Bayangkan, hanya untuk mengirim udang seberat 1 kg saja dibutuhkan kemasan yang beratnya tak kurang dari 10 kg! So pasti, ini lantaran bungkusnya bukan cuma kardus doang.
Udang yang dimasukkan ke dalam kantung plastik berisi air laut itu tidak diletakkan begitu saja dalam kemasan. Tapi, sisi-sisinya mesti diganjal dengan kantung-kantung plastik kecil berisi es. Nah, inilah yang bikin ongkos kirimnya membengkak.
Kedua, mengekspor udang hidup lebih menggairahkan daripada udang segar beku. Biarpun pengkargoan udang beku jauh lebih ringkas daripada udang hidup, tapi selisih harganya di pasaran ekspor sangat mencolok. Udang hidup harganya bisa mencapai tiga kali lipat udang beku.
Kenyataan ini merangsang banyak peneliti Jepang untuk mencari terobosan baru. Supaya untung tinggi bisa diraih dari harga ekspor yang menjulang dan teknik pengkargoan yang hemat – tapi udang tetap selamat.
Baca Juga : Produk-produk Ekspor Ini Dijamin akan Membuat Negara-negara Lain Semakin Bertekuk Lutut di Depan Kim Jong-un
Udang dipingsankan
Secara anatomis, tutup insang udang mampu menyimpan air – yang mengandung oksigen terlarut - cukup banyak. Makanya, biarpun tidak berada dalam air, mereka masih bisa bertahan hidup beberapa lama.
Kelebihan inilah yang dimanfaatkan untuk mengirim udang hidup tanpa air. Tapi, mengingat oksigen yang terlarut dalam insang itu terbatas, maka udang dipaksa agar bisa memanfaatkannya sehemat mungkin. Kalau tidak, umur mereka tak akan sampai ke negara tujuan.
Sebelum diberangkatkan, udang dipingsankan. Supaya mereka tidak kelojotan dan menjadi stres. Dengan begitu, laju pernapasannya bisa dihambat, sehingga pemakaian oksigen terlarut jadi hemat.
Udang bisa dipingsankan dengan senyawa anestetik trisin metasulfonat (MS-222). Tapi, berhubung harganya tidak murah, para pengusaha di Jepang pilih memingsankannya dengan, cara merendam udang dalam air tambak yang suhunya diturunkan secara bertahap.
Baca Juga : Sempat Bikin Putin Terbahak-bahak, Ternyata Rusia Benar-benar Ingin Ekspor Daging Babi ke Indonesia
Hanya udang yang sehat dan tidak sedang ganti kulit yang dipilih untuk diekspor. Mereka lalu dimasukkan ke dalam bak berisi air yang suhunya lebih rendah daripada air tambak. Cuma, perbedaan suhunya itu tidak boleh lebih dari 8°C
. Lantas suhu air diturunkan sampai 12 - 14°C. Ini harus dilakukan perlahan-lahan, supaya udang tidak terpaksa ganti kulit.
Waktu suhu airnya turun menjadi 12 - 14°C, udang sudah benar-benar pingsan. Tubuhnya yang semula kehitaman berubah menjadi kemerahan. Perubahan ini terlihat jelas pada warna kaki jalan dan segmen-segmennya.
Udang lalu diangkat dari dalam bak. Embun yang menempel di tubuhnya dibersihkan.
Ditimbun serbuk gergajian
Baca Juga : Tak Punya Pantai Tapi Negara Ini Bisa Mengekspor Garam
Sementara itu, jauh sebelumnya, disiapkan dulu serbuk gergajian untuk media. Lebih sip kalau pakdi serbuk dari kayu yang ringan dan tidak mengandung damar. Ada baiknya kalau serbuk dijemur dulu di bawah terik matahari, supaya kering benar.
Serbuk lantas dimasukkan ke dalam kantung-kantung plastik. Sudah itu, kantung didinginkan sampai suhu serbuk sekitar 12 - 14°C.
Kalau suhunya sudah stabil, serbuk gergajian itu ditebarratakan di dasar kardus kemasan. Tebalnya cukup 3 cm saja. Sudah itu, udang pingsan tadi ditidurkan dalam posisi telungkup. Berbaris secara selang-seling sampai memenuhi permukaan serbuk.
Taburi atasnya dengan serbuk gergajian setebal 3 cm. Susun lagi udang di atasnya. Taburi lagi, susun lagi, taburi lagi. Begitu terus sampai kardus hampir penuh. Bagian teratas adalah serbuk gergajian.
Baca Juga : Toyota Indonesia Ekspor Ribuan Vios Dari Karawang
Supaya suhu serbuk gergajian tetap stabil selama pengangkutan, permukaan serbuk teratas diberi kantung-kantung plastik kecil berisi es. Barulah kardus direkat dengan plakban selebar 5 cm.
Ke dalam kardus kemasan berukuran 22 x 22 x 30 cm, bisa diisikan 70 - 150 ekor udang (± 2 kg) yang diatur dalam 3 - 4 susun. Bobot total kemasan biasanya cuma sekitar 5 kg.
Dengan cara ini, udang pingsan tadi masih tetap bertahan hidup sesampainya di tujuan. Setelah diangkut selama 24 jam, tingkat kematiannya mencapai 12%. Itu kalau dipesawatudarakan atau dibusantarkotakan pada musim panas.
Kalau pada musim dingin, tingkat kematiannya bisa ditekan sampai 3% saja. Pengangkutan selama 24 jam itu menyusutkan bobot total udang hidup yang dikirim.
Tapi, itu pun paling banyak cuma 8% saja. Kalau seal mutunya, dijamin tidak berubah sedikit jua.
Baca Juga : Lagi Ngetren, Batu Akik Akan Diekspor ke Luar Negeri?