Mahatma Gandhi: Tak Pernah Punya Tujuan Menaklukkan Tetapi Justru Merangkul Musuh Jadi Sahabat

Aulia Dian Permata

Penulis

Mahatma Gandhi tidak pernah punya tujuan untuk menaklukkan musuhnya, tetapi justru merangkul musuh menjadi sahabat.

Intisari-Online.com – Menelusuri kisah hidup Mahatma Gandhi sama saja seperti menapaki kembali perjuangan India meraih kemerdekaan. Tapi Gandhi sendiri sebuah pribadi unik. Di satu sisi dia orang suci yang hidup bersama rakyat jelata, tapi dia juga politisi ulung. Sebuah kombinasi nan langka.

Bagaimana kehidupan Mahatma Gandhi, kita simak dalam tulisan Mahatma Gandhi Merangkul Musuh Jadi Sahabat, yang ditulis oleh D. Chandramouli, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2009. Tulisannya ini berdasarkan An Autobiography OH The Story of My Experiments with Truth oleh M.K. Gandhi.

---

Ketegarannya dalam mengejar kebenaran spiritual menimbulkan kebingungan tersendiri bagi Kerajaan Inggris Raya. Tak kurang dari PM Winston Churchill sendiri, yang pernah menyebutnya "pengemis telanjang", tak mampu menangkap kedalaman wibawa moralnya.

Baca Juga : Dikenal Anti Kekerasan, Siapa Sangka Ternyata Gandhi Dulunya Sersan Mayor Angkatan Darat Inggris

Tak seperti umumnya sikap orang terhadap musuh, Gandhi tidak pernah punya tujuan menaklukkan. Yang dia inginkan justru merangkul musuh jadi sahabat.

Cara dalam mempertahankan kebenaran memegang posisi kunci dalam memenangkan hati musuh.

Sumpah dulu

Lahir pada 2 Oktober 1869, ia diterima dalam kehangatan keluarga besar. Sebagai keluarga Hindu yang ortodoks, keluarga besar Gandhi tinggal bersama-sama dalam satu rumah.

Peran ibu amat besar dalam masa kecilnya. Ibulah yang mengajari tidak makan daging, melatihnya berpuasa secara teratur, menjalani hidup bersih dan penyucian diri, menghormati sumpah, dan yang terpenting meyakini ahimsa, prinsip tidak mencederai makhluk hidup.

Baca Juga : Namanya Memang Kalah Gaung dari Mahatma Gandhi, tapi Inilah Sosok yang Dianggap sebagai Syahid Terbesar di India

Selain itu, Gandhi juga berlatih sabar, mengasah keluhuran budi, melatih kemampuan diplomasi dan terus meningkatkan kompetensi sebagai manusia.

Integritasnya tampak sejak masih sangat kecil. Suatu hari penilik sekolah datang ke sekolah Gandhi. Untuk mengetes penguasaan ejaan, ia menyuruh anak-anak menuliskan lima kata dalam bahasa Inggris.

Satu kelas sukses mengerjakan tugas itu, kecuali Gandhi. la salah cuma dalam penulisan satu kata, kettle. Merasa "sayang", diam-diam kepala sekolah menyuruh dia menyontek batu tulis teman sebelah, supaya kelas itu bisa memperoleh nilai sempurna.

Tapi Gandhi tidak mau. Belakangan, jelas saja ia diomeli, dianggap tolol. Tapi Gandhi kecil tetap yakin betul dia melakukan yang benar.

Baca Juga : Sisi Lain Mahatma Gandhi, Tidur Seranjang Dengan Keponakan Wanitanya Untuk Menguji Kekuatan Iman

Sesuai adat masa itu, usia tiga belas tahun ia dinikahkan. Tapi Gandhi tidak berhenti sekolah, bahkan akhirnya ia memutuskan ingin kuliah di Inggris. Masalahnya, mana mungkin Ibu setuju?

Mengarungi lautan ke luar negeri itu dilarang oleh agama, terutama oleh penganut Hindu ortodoks. la bakal pergi begitu jauh dan begitu lama. Syukur akhirnya Ibu menyerah pada desakan teman-teman dan sanak keluarga.

Gandhi boleh berangkat asalkan ... ia harus bersumpah akan hidup tanpa makan daging, menjauhi minuman keras dan perempuan.

Demikianlah, pada usia 19 tahun Gandhi berlayar ke London untuk belajar ilmu hukum. Pada tahun 1891, pendidikan tiga tahunnya selesai, ia siap buka praktik hukum di tanah airnya. Juga pulang kepada Ibu.

Baca Juga : Sebagai Pejuang Kemerdekaan, Ini yang Dilakukan Mahatma Gandhi untuk Menjaga Kesehatan Tubuhnya

Tanpa membuang waktu keesokan harinya ia segera berlayar pulang. la belum menyadari bahwa ketika itu ibunya tercinta telah tiada. Gandhi baru diberi tahu ketika ia telah menginjakkan kaki kembali di bumi India.

Didepak dari kereta api

Tahun 1893, Gandhi mendapat penugasan selama setahun di Afrika Selatan, yang waktu itu masih jajahan Inggris juga. Di sana ia mendaftarkan diri sebagai pengacara di Pengadilan Tinggi. Tak butuh waktu lama, praktiknya berkembang pesat.

Tak ada yang menyangka kalau tempat ini bakal menjadi ajang penggemblengan seorang Gandhi. Ibarat Gatotkaca yang diceburkan ke Kawah Candradimuka, di Afrika Selatan Gandhi bersiap diri.

Baca Juga : 70 Tahun Mahatma Gandhi, Ikon Antikekerasan Dunia yang Harus Membayar Prinsipnya dengan Nyawanya Sendiri

Awalnya ia menggerakkan pembangkangan sipil karena melihat penderitaan orang India yang jadi korban diskriminasi ras. Akibatnya ia juga mulai berkenalan dengan penjara, dibui sampai dua kali.

Soal diskriminasi ras, Gandhi bukan cuma penonton. Itu dialaminya saat naik kereta api sebagai penumpang kelas satu di Negara Bagian Natal. Apa mau dikata, sesama penumpang (kebetulan orang Eropa) ada yang keberatan berbagi ruang dengan orang berkulit gelap.

Gandhi diadukan ke polisi dengan akibat ia didepak dari kereta api dan terpaksa menginap di stasiun terpencil yang gelap gulita.

Penghinaan itu membulatkan tekadnya untuk memerangi pembedaan warna kulit, ketidakadilan, dan kebiadaban dengan ahimsa, tanpa kekerasan, tidak hanya untuk dirinya sendiri atau bangsa India, tapi untuk semua bangsa dari segala warna kulit. Itulah saat pencerahan bagi Gandhi!

Baca Juga : Indira Gandhi, PM India yang Ditembak Mati Pengawalnya Sendiri dan Memicu Balas Dendam Sangat Brutal

Masa penggemblengan di Afrika Selatan berlangsung 21 tahun. Di sana ia belajar dan melatih kepemimpinannya di dunia politik. Di sana juga konsep satyagraha ("bertahan pada kebenaran")-nya mengkristal.

Begini dia menulis, "Aliran non-kekerasan yang saya anut adalah aliran yang sangat aktif dan hidup. Tak ada ruang untuk pengecut atau manusia loyo."

Gandhi masih berusia cukup muda, 37 tahun, saat mengucapkan sumpah brahmacharya pada tahun 1906. Ini bukan sumpah sembarang sumpah. Gandhi bersumpah untuk hidup dalam kemiskinan, selibat, dan pantang daging.

Bagi Gandhi, sumpah itu bukan menutup pintu menuju kebebasan; asalkan disertai tekad kuat, akan membuka pintu menuju kebebasan sejati.

Baca Juga : Belajar Dari Mahatma Gandhi: Menyelaraskan Pikiran, Ucapan, Dan Perbuatan

Berakhir di ujung peluru

Sembilan tahun kemudian, 1915, ia pulang. Pada usia 46 tahun reputasi dan sepak-terjangnya yang berani di Afrika Selatan sudah tersiar sampai ke India.

Hanya empat tahun kemudian, Partai Indian National Congress mengundangnya untuk menjadi pemimpin partai yang memperjuangkan kesejahteraan orang India itu.

Mulailah ia mengawali gerakan non-kooperatif lewat perlawanan pasif terhadap Inggris. Sepanjang dekade selanjutnya untuk pertama kalinya terjadi kebangkitan jutaan orang India melawan Inggris. Perlawanan pasif itu termasuk boikot terhadap barang-barang buatan Inggris.

Beberapa kali Gandhi masuk bui untuk waktu cukup lama. Kalau sudah di penjara, ia sering berpuasa sampai pemerintah terpaksa harus membebaskannya karena khawatir dipersalahkan kalau ia sampai mati di dalam penjara.

Baca Juga : Ini Dia, Tujuh Rahasia Mahatma Gandhi Menjaga Kesehatan Tubuhnya

Tahun 1930, sebagai protes terhadap pajak atas garam, Gandhi memimpin ribuan orang India berjalan sejauh 320 km ke pantai untuk membuat garam sendiri, meski dilarang pemerintah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai "Dandi March" atau "Salt Satyagraha".

Satyagraha sebagai kekuatan moral ternyata efektif tak hanya untuk melawan penjajah tapi juga untuk pelbagai tujuan lain, termasuk penyatuan antara kelompok Muslim dan Hindu, dan meningkatkan kesejahteraan kaum miskin dan terlantar.

Tiba PD II, Gandhi melihat sudah matang saatnya bagi India untuk menuntut kemerdekaan sebagai balas jasa untuk dukungan India dalam perang itu. Tapi jawaban Inggris sangat tegas dan keras: penjara lagi, dari 1942 - 1945.

Akhirnya ini mendorong Gandhi mencanangkan gerakan "Quit India".

Baca Juga : Kisah Kejujuran Gandhi

Tak lama setelah kemenangan Sekutu, cita-cita rakyat India baru terlaksana. Pemerintah Inggris yang baru saja terpilih memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada India. (Gandhi menolak duduk dalam pemerintahan.)

Hanya saja negeri luas itu harus dipecah dua: India (untuk mayoritas Hindu) dan Pakistan (untuk mayoritas Islam).

Sungguh malang, sementara proses perpindahan penduduk antara kedua negara itu berlangsung, pecah kerusuhan parah di wilayah perbatasan.

Gandhi menyadari benar inilah saatnya konsep ahimsa-nya sungguh-sungguh diuji. Usia 78 tahun tak mengalangi tekadnya untuk puasa sampai mati demi menghentikan pertumpahan darah antara kedua komunitas.

Baca Juga : Kontroversi Penghargaan Nobel: Dari Gandhi hingga Obama

Aksi yang berangkat melulu dari cinta ini berhasil membujuk kedua kelompok untuk menghentikan aksi kekerasan.

Dua belas hari setelah berhenti puasa, 30 Januari 1948, Gandhi benar-benar mati, bukan akibat berpuasa, tapi karena ditembak oleh Nathuram Godse, orang Hindu fanatik yang menentang dipecahnya India menjadi dua.

Saat itu Gandhi sedang menuju pertemuan doa. Orang yang mati-matian memperjuangkan aliran non-kekerasan berakhir hidupnya di ujung peluru.

Dianggap utopis

Baca Juga : Kelemahan Gandhi

Sejauh mana Gandhi masih relevan bagi India modern? Di kalangan generasi tua, nama Sang Bapak Bangsa tetap amat dihormati. Mereka memiliki kedekatan emosional dengan Gandhi, dan masih mengamini gagasannya tentang kesederhanaan, cinta yang bersifat universal, dan persaudaraan.

Namun bagi beberapa kalangan generasi muda, Gandhi tak lebih dari kenangan masa lalu. Wajahnya dikenal lebih karena ia menghiasi mata uang India!

Banyak juga yang beranggapan, untuk zaman sekarang metode-metode Gandhi terlalu utopis. Menurut mereka, di dunia yang sudah begini egois dan korup, menerapkan nilai-nilai Gandhi itu sungguh tak mungkin.

Padahal ada kata-katanya yang patut disimak dan masih relevan bagi siapa pun, "Ketika kucari jiwaku, ia tak tampak. Ketika kucari Tuhanku, Dia pun menghindar. Namun saat kucari saudaraku, kutemukan ketiganya."

Baca Juga : Mesin Pemintal Mahatma Gandhi Dilelang Rp2 Miliar

Artikel Terkait