Find Us On Social Media :

Sutan Sjahrir: Tragedi Ideologi Kiri dan Menikah Pakai Surat Kuasa

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 14 Oktober 2018 | 21:00 WIB

Jika terus menjadi sosialis, berarti meniadakan kemungkinan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, satu-satunya negara yang bersedia memberikan bantuan dalam jumlah besar. Itu sebabnya, sejak 1966 semua ideologi kiri menjadi tabu.

Modal asing dan utang menjadi prioritas rezim yang berkuasa. Tidak ada lagi ideologi yang mempertanyakan dan menolak keserakahan kapitalisme.

Setelah era reformasi, barulah peta politik nasional berubah. Sedari dulu disadari bahwa partai nasionalis dan partai berbasis agama tidak akan bisa menang mutlak. Itu sudah terlihat pada Konstituante setelah Pemilu 1955 dan terulang lagi dalam pemilu zaman Orde Baru.

Setelah berkecamuk krisis finansial dunia maka sistem kapitalisme global itu dipertanyakan. Ideologi apa yang diperlukan masyarakat kita dewasa ini? Nasionalisme diperlukan untuk menghadapi globalisasi.

Baca Juga : Tan Malaka, Pendiri Sekaligus ‘Korban’ PKI yang Pernah Memimpikan Bersatunya Kekuatan Islam

Agama dibutuhkan agar ada keseimbangan material-spiritual. Sementara sosialisme adalah ideologi yang membendung keserakahan kapitalisme. Tidakkah sebenarnya, kita memerlukan ketiganya kini?

Kemanusiaan ala Sjahrir

Syahrir punya pemikiran sendiri tentang tujuan bangsa ini.  Gagasan yang "kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, tekanan, dan penghisapan keadilan, pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme, pendewasaan bangsa."

Pemikiran ini rasanya masih relevan sampai sekarang, seperti disampaikannya dalam pidato radio pada peringatan satu tahun kemerdekaan Rl.

Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat

"Perjuangan kita sekarang ini, bagamanapun juga aneh rupanya, kadang-kadang tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.

Oleh karena itu kita sebagai bangsa yang percaya kepada kehidupan, percaya kepada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan.

Kita percaya pada yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menyempitkan kehidupan manusia, tiada lagi perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh- musuhan antara sesama manusia, sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni."

Menikah pakai surat kuasa

Baca Juga : Dalam Dolar Amerika Serikat Ada Senjata Kata-kata Melawan Komunisme

Sepanjang hidupnya, Sjahrir menikah dua kali. Pada 1939 dia menikahi Maria Duchateau. Pernikahan ini unik karena dilaksanakan secara serentak di Belanda (tempat tinggal Duchateau) dan Banda Neira (tempat Syahrir diasingkan).

Di Belanda, ketidakhadiran Sjahrir digantikan oleh surat kuasa, sehingga pernikahan tetap sah. Sayangnya, setelah itu pecah PD II, Duchatau pun tidak dapat menyusul Sjahrir ke Indonesia. Pada 1948, mereka bercerai.

Semenjak 1951 hingga saat menghembuskan napas terakhir, Sjahrir menikah lagi dengan Siti Wahyunah S.H., putri Prof. Dr. dr. Mori. Saleh Mangundiningrat, asal Solo.

Pernikahan yang dilangsungkan di Kairo, Mesir, itu melahirkan Ir. Kriya Arsjah dan Siti Rabyah Parvati, S.S. Sjahrir juga punya beberapa anak angkat yang berasal dari Banda Neira, tempat pembuangannya di Maluku.

 Baca Juga : Ketika Indonesia yang Pro Amerika Membantu Pejuang Afganistan Melawan Uni Soviet yang Komunis Lewat Strategi yang Sangat Rumit