Find Us On Social Media :

Gerakan 30 September: Hilangnya Catatan Jujur Sarwo Edhi Wibowo dan Surat Pengakuan Aidit

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 15:30 WIB

Sabtu sore, 12 Maret 1966:

Satu kompi pasukan RPKAD menyerbu sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat. Tembak-menembak terjadi ketika para penjaga keamanan berpakaian sipil mencoba melawan.

Sesudah pertempuran, 21 penjaga keamanan dan karyawan gedung tanpa papan nama tersebut dapat diringkus. Sejumlah dokumen dan senjata yang disita menunjukkan bangunan tersebut markas Badan Pusat Intelijen (BPI) yang diketuai Soebandrio.

Baca Juga : Soal Film G30S/PKI Versi Kekinian, Begini Tanggapan Putri Mendiang AH Nasution

Senin pagi, 14 Maret 1966:

Para mahasiswa melakukan pawai berkabung keliling Jakarta, berangkat dari halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jln. Salemba Raya, Jakarta Pusat. Biro penerangan KAMI mengumumkan, tujuh rekan mereka di tiga kota gugur selama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Arief Rahman Hakim mahasiswa di Jakarta, Djubaedah dan Moh. Syafei pelajar di Jakarta, Hassanudin dan Syarief Akadir mahasiswa di Makassar, Margono dan Arief Winangun pelajar di Yogyakarta.

Senin malam, 14 Maret 1966:

Baca Juga : Penumpasan Gerakan 30 September Menjadi Semakin Tak Terkontrol ketika Ormas Anti-PKI Ikut Terlibat

Jakarta dalam suasana mencekam. Tapi kesibukan justru terjadi di markas pasukan empat angkatan. Di Tjidjantung pasukan RPKAD, di Tjilandak pasukan KKO-AL, demikian pula Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AU di Tjililitan. Mereka menerima kabar bahwa pasukan Brimob Kepolisian disiagakan.

Ketegangan baru berakhir Selasa dini hari setelah Jenderal Nasution, yang tak lagi punya jabatan setelah disingkirkan Presiden Sukarno dari jabatan Menteri Keamanan Nasional, memanggil panglima angkatan ke rumahnya.

"Ketegangan dipicu oleh informasi yang menyesatkan dari Waperdam Soebandrio bahwa RPKAD akan menyerbu Halim, seperti kejadian awal Oktober tahun lalu."