Find Us On Social Media :

Mat Solar Kecil Pernah Dipenjara dan Baca Kitab Suci Agama Lain Demi Membuat Cerita

By Ade Sulaeman, Rabu, 19 September 2018 | 15:21 WIB

Intisari-Online.com - Nama artis komedi, Nasrullah alias Mat Solar sempat lama tak terdengar dari dunia entertainment selepas bermain di sinetron "Tukang Bubur Naik Haji".

Namun, belakangan namanya kembali dibicarakan, sayangnya terkait kabar yang tidak menggembirakan, dirinya terserang stroke sehingga lebih banyak terbaring di tempat tidur.

Sosok yang beken lewat sitkom "Bajaj Bajuri" ini pernah membagikan kisah masa kecilnya yang penuh dengan kenakalan khas anak-anak dalam artikel berjudul "Mat Solar Dipenjara Karena Ikut-ikutan Teman" yang terbit di tabloid Nova No. 882/XVH yang terbit 23 Januari 2005.

---

Baca Juga : Gara-gara Teknologi Canggih Israel, Etiopia yang Sangat Miskin Akhirnya Jadi Surga Pertanian nan Makmur!

Tanggal 4 Desember lalu umurku genap 42 tahun. Aku lahir jam empat subuhdi RS Budi Kemuliaan, Jakarta. Kalaupun ada yang khas dari diriku semenjak bayi, jari telunjukku yang sebelah kiri enggak bisa menunjuk.

Perkembangan jari telunjuk dan kelingking relatif sama. Sampai beberapa tahun orang tuaku tidak tahu keunikan itu.

Aku diberi nama Nasrullah, yang artinya Pertolongan Allah. Tapi orang lebih kenal Mat Solar. hulah peran yang aku mainkan saat bergabung di Teater Mama. Sekarang, gara-gara main di Bajaj Bajuri, orang juga lebih sering menyapaku dengan Bajuri.

Panggilan Mat Solar mulai hilang. Bedanya, kalau Mat Solar diberi seseorang, yaitu Sofyansyah, sutradara di Teater Mama sedangkan nama Bajuri inspirasi dari aku sendiri.

Baca Juga : Gunakan Jenazah Manusia, Perusahaan Swiss Membuat Berlian yang Harganya Sangat Mahal, Bagaimana Bisa?

JADI DALANG CILIK

Bila menengok ke belakang, cukup banyak pelajaran hidup yang sudah aku peroleh. Sewaktu kecil, kehidupanku boleh dibilang sangat prihatin. Bapak, (aim) Muhammad Ali Sidiq, hanya Ketua masjid yang merangkap Ketua RW. Ibu, Rosani, cuma ibu rumah tangga biasa.

Orang tuaku, asli berasal dari tempat tinggal kami, Pejompongan, Jakarta Pusat. Anaknya berjumlah sembilan orang. Aku adalah anak kelima atau di tengah. Beda usia kami relatif dekat. Bisa dibayangkan, berapa kepala yang musti Bapak nafkahi.

Kendati demikian, aku bahagia. Masa kecilku penuh dengan keceriaan. Aku terbilang bandel. Kata orang tua, sering jahilin anak tetangga hingga menangis. Entah dicubit atau dijitak. Mainnya juga sering di selokan.

 Baca Juga : Dokumen Rahasia Mengungkap, Militer Israel Tidak Siap untuk Berperang

Kegiatan lain yang cukup berkesan mencari capung atau memancing di kolam air mancur Bunderan Hotel Indonesia. Dulu banyak ikan mujairnya, lho. Untuk menuju ke sana aku biasa berjalan kaki.

Lantaran jahil, aku pernah membuat anak gadis orang menangis. Saat itu Bulan Puasa, sehabis sahur, usai jalan-jalan bersama teman-teman, aku mendongeng ala cerita Betawi. Cerita sahibul hikayat menirukan Jait (Pendongeng tahun 70-an yang amat populer di radio).

Aku berdiri di tengah, di kelilingi teman-teman. Jadi, aku seperti ditanggap teman-teman. Mereka tertawa mendengar ceritaku sambil diselingi cela-celaan. Kala itu aku baru kelas 5 SD. Rupanya bakat seni peran sudah ada, tapi entah dari mana asalnya. Kalau dari orang tua kayaknya enggak mungkin.

Nah, saat aku ditanggap itu, ada seorang gadis lewat. Aku goda lewat sindiran cerita Jait yang memang kadang jorok. Rupanya dia tersinggung dan mengadu ke orang tuanya. Dateng deh, orang tuanya ke rumah. Aku diomelin.

Aku memang kerap bikin susah orang tua. Dalam kasus lain, aku pernah masuk penjara. Gara-garanya hanya ikut-ikutan saja. Waktu itu masih SMP, dan aku bikin drama untuk Hari Natal.

Aku yang bikin skripnya sendiri dengan judul Raja Herodes dan Yahudi. Walaupun masih belia, aku memang sudah antusias dengan dunia drama. Sampai-sampai aku membaca kitab Injil agar bisa membuat ceritanya. Meski aku muslim yang taat.

Untuk peran yang aku mainkan sebagai seorang prajurit itu, aku meminjam celana yang kembung di paha. Kita menyebutnya celana marsose (korps polisi militer pada masa pemerintahan Hindia Belanda). Alhamdulillah, pertunjukkan pun berlangsung sukses.

SEMINGGU DIPENJARA

Ketika aku ingin mengembalikan celana itu, yang punya sedang berada di sebuah toko koperasi SMEA bersama teman-temannya. Dari hanya nongkrong-nongkrong, malam itu mereka iseng membongkar koperasi.

Aku melihat mereka sebenarnya hanya main-main. Paling yang diambil cuma alat tulis dan mentega. Namanya anakanak, di dalam toko mereka malah menyanyi sambil teriak-teriak. Rupanya ada yang mendengar, jadilah polisi ditelepon dan menangkap mereka.

Untung, saat polisi datang aku sudah enggak ada di lokasi itu. Aku juga cuma ikut-ikutan, tapi enggak mengambil barang apa pun.

Hanya solidaritas saja. Aku pulang duluan, karena menganggap apa yang mereka lakukan tidak benar. Aku sempat bilang ke mereka, kalau kayak begini sudah seperti maling, nih.

Esoknya, aku dijemput di sekolah oleh kakak teman yang ditangkap. Katanya, aku harus datang ke Polsek Tanah Abang, agar yang lain bisa dibebaskan. Padahal polisi tidak mericariku. Tapi aku menurut saja.

Di kantor polisi aku mengaku sempat ada di lempat kejadian. Sudah deh, aku akhirnya ikutan masuk penjara. Kependem juga selama seminggu. Sengsara banget, masuk ke kompleks tahanan saja aku harus jalan setengah jongkok kayak bebek.

Di balik terali besi aku melihat berbagai kisah sedih yang dialami banyak orang. Gara-gara berebut garam saja ada yang dicambuk pakai skipping. Ada yang ditangkap karena kehausan lalu mengambil sebotol minuman. Ada juga yang sudah tidak punya orang tua. Melihat ke diri sendiri aku merasa masih beruntung.

Apa yang menimpaku itu jelas membuat orang tuaku khawatir. Dengan susah payah, mereka akhirnya bisa membebaskanku. Kalau enggak salah aku ditebus Rp120 ribu. Di tahun 1975, uang senilai itu besar sekali.

Padahal kami hidup kesusahan. Entah dari mana orang tuaku mendapatkannya, mungkin patungan dengan saudara yang lain. Setelah itu, kami agak trauma berhubungan dengan aparat.

Kami pun diajarkan untuk tegas, kalau benar, yah benar. Jangan sepertiku yang asal ikut-ikutan.

 Baca Juga : Inilah Biaya per Semester di UGM, ITB, dan UI 5 Tahun ke Depan, Ada yang Rp60 Juta!