Find Us On Social Media :

Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Negeri Dongeng dan Rumah Bahagia bagi Penghuninya

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 15 September 2018 | 20:30 WIB

Intisari-Online.com – Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang.

Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjungpriok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921). Bukunya dicukil oleh Helen Ishwara dan dimuat di  Majalah Intisari edisi Maret 1999.

--

Gaji orang Belanda di Jawa lebih tinggi daripada di negerinya. Soalnya, siapa yang mau dikirim jauh-jauh dan bekerja dalam udara panas yang melelahkan kalau gajinya sama saja?

Baca Juga : Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap

Orang yang gajinya sedang-sedang saja di Jawa bisa memiliki rumah yang besar, punya kereta, makan dengan leluasa, dan pembantu enam tujuh orang. Bahkan tidak jarang sampai 10 orang.

Tak lama setelah kedatangan saya ke Batavia, saya diundang ke pesta dansa di istana. Saat itu saya tinggal di rumdh teman saya di Salemba. Kami pergi dengan kereta yang lewat di kegelapan malam, di bawah naungan pohon-pohon beringin.

Di bawah pohon kadang-kadang terlihat kelap-kelip cahaya pelita tukang buah. Sekali-sekali sebagian wajahnya yang kena cahaya lampu terlihat, begitu pula keranjang buah-buahannya.

Sesekali kami melewati beberapa penduduk pribumi yang sedang berjaga malam sambil mengelilingi api unggun. "Siapa itu?" tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.

Baca Juga : Sepenggal Kisah Gemerlap Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC

Selama sejam kami serasa berkendaraan dalam hutan yang sunyi dan jauh dari mana-mana. Namun, sekonyong-konyong saja tampak cahaya terang benderang di suatu belokan. Istana Gubernur Jenderal. Di sekitar sumber cahaya,itu berserak lentera-lentera, lampu-lampu minyak, dan lampu-lampu kereta.

Saya pun mendaki tangga putih menuju ke serambi yang berpilar-pilar putih dan bermandikan cahaya. Tiba-tiba saya merasa bahwa istana-istana dalam dongeng mestinya seperti ini.

Kemudian musik dimainkan dan polonaise dimulai. Intan dan emas gemerlapan, bersaingan dengan kilatan bahu yang terbuka dan l ambaian rok yang menyapu lantai pualam berwarna terang. "Rasanya, kita mesti pindah ke tempat ini," kata pasangan saya.