Penulis
Intisari-Online.com - Dalam wawancaranya dengan ABC News pada tahun 2017 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa dia percaya teknik waterboarding sangat efektif untuk memaksa seseorang berbicara jujur.
Teknik waterboarding adalah teknik penyiksaan yang biasa dilakukan pada tawanan perang atau penjahat yang dicurigai menyimpan rahasia.
Waterboarding akan memberikan sensasi perasaan seperti saat seseorang tenggelam selama berulang kali.
Caranya dengan menutupkan kain ke wajah tawanan, mengikat tangan dan kakinya, lalu air diguyurkan ke arah wajah (dan mulut) untuk memberi sensasi air memasuki mulut dan tawanan akan kesulitan bernapas.
Banyak yang mengatakakan bahwa hal ini menimbulkan sebuah penyiksaan berulang kali yang sangat mengerikan.
Bahkan, teknik waterboarding semacam ini telah diatur oleh huum perang Konvensi Jenewa.
Konvensi Jenewa telah melarang praktik apa pun yang dianggap terlalu menyiksa bagi manusia.
Di bawah Konvensi Jenewa tahun 1929 dan sekali lagi pada 1949, waterboarding secara resmi disebut sebagai kejahatan perang.
Baca Juga : Asian Para Games 2018: Ini 5 Cabang Olahraga Andalan Indonesia demi Target 16 Medali Emas
Waterboarding muncul dari sebuah praktik yang disebut penyiksaan air.
Sejarah kuno penuh dengan gambaran siksaan yang menggunakan air.
Misalnya saja dengan menekankan kepala seseorang ke dalam air selama beberapa saat hingga dia kesulitan bernapas.
Cara-cara penyiksaan ini umumnya dilakukan agar tawanan perang mau mengatakan suatu hal yang ia ketahui tentang pasukannya sendiri.
Jika si tawanan tetap menolak berbicara, kepalanya akan dimasukkan lagi ke dalam air hingga dia mau mengaku.
Waterboarding dengan teknik menutup kepala dengan kain dan mengucurkan air ke wajah tawanan mulai muncul saat Spanyol menjajah Filipina.
Pasukan militer Amerika Serikat juga pertama kali memulai waterboarding selama perang Filipina-Amerika.
Presiden Theodore Roosevelt pernah menegur komandan Angkatan Darat yang melakukan waterboarding pada lawan.
Menurut Roosevelt, itu siksaan yang kejam dan tidak biasa.
Bayangkan saja, untuk sesaat, tawanan yang menerima siksaan waterboarding seperti terjebak di antara keadaan tenggelam namun tak benar-benar tenggelam.
Sesaat aliran air dihentikan dan korban bisa kembali bernapas sejenak, tapi kemudian air kembali diguyurkan ke wajah dan korban kembali 'tenggelam'.
Dengan kondisi semacam ini, korban akan lemas dan kehilangan daya.
Baca Juga : Melesat, Xiaomi Kini Menjadi Merek Ponsel Terbesar Kedua di Indonesia Saingi Oppo
Namun sekaligus korban akan meronta, laiknya tubuh saat tenggelam tentu panik dan tak sadarkan diri.
Kebanyakan korban diikat dengan tali sehingga sekujur tubuhnya terluka karena gesekan dengan tali.
Waterboarding juga bisa menyebabkan kerusakan otak karena kurangnya asupan oksigen.
Paru-paru juga bisa dipenuhi air dan tak bisa digunakan lagi untuk bernapas.
Hal fatal yang mungkin terjadi adalah kematian tawanan atau korban waterboarding ini.
Meski telah dilarang, nyatanya banyak praktik waterboarding yang masih dilakukan.
Misalnya saja, CIA diduga masih tetap melaksanakan praktik waterboarding ini, terlebih selama George Bush masih menjabat sebagai presiden Amerika Serikat.
Pada bulan Agustus 2018 ada laporan tentang pasukan polisi dan militer yang menggunakan waterboarding di Inggris.
Akankah Trump benar-benar akan 'membangkitkan' praktik penyiksaan kejam ini?
Baca Juga : Muncul 'Sinkhole di Sukabumi, Ini 5 'Sinkhole' Paling Terkenal di Dunia, Ada yang Sedalam 640 Meter!