Penulis
Intisari-Online.com -Masih ingat dengan sebuah rumah yang berdiri gagah di tengah jalan tol Pejagan-Pemalang Seksi II di Desa Sidakaton, Kabupaten Tegal? Jumat (2/6) kemarin, rumah milik juragan warteg itu terpaksa dibongkar menyusul ditolaknya kasasi oleh Mahkamah Agung yang diajukan si pemilik, Sanawi.
Sanawi sendiri sudah menerima ganti rugi sesuai dengan nilai dari tim apprasial.
(Baca juga:Misteri Lima Gigi yang ‘Terjebak’ dalam Tumor Ovarium para Kerangka Berusia 500 Tahun)
“Keputusan MA sudah incraht, sehingga rumah harus dibongkar,” kata Pejabat Pembuat komitmen (PPKom) Pembebasan Lahan Pejagan-Pemalang, Sularto.
Tak hanya ke Mahkamah Agung, Sanawi sejatinya juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Slawi Kabupaten Tegal.
Seperti yang kita ketahui, satu unit rumah mewah dua lantai kokoh berdiri di tengah Jalan Tol Pejagan-Pemalang di Kabupaten Tegal Jateng.
Rumah itu milik bos warteg, belum ada kesepakatan nilai ganti rugi, Selasa 18 April 2017
Sanawi keberatan atas nilai ganti rugi yang diajukan tim appraisal pembebasan lahan.
(Baca juga:Waduh! Gunung Es Seluas Jakarta Akan Lepas dari Antartika)
Karena pengajuan gugatan terlambat dilayangkan, PN Slawi menolaknya. Dan kemudian mengajukan kasasi. Kemudian MA pun menolak kasasinya tersebut.
Dan kini rumah Sanawi pun sudah rata dengan tanah.
***
Sebelum diratakan dengan tanah, rumah mewah milik juragan warteg ini menjadi satu-satunya rumah yang masih berdiri di tengahproyek jalan tol Pejagan - Pemalang Seksi III di Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal.
Padahal, rumah di sekelilingnya sudah rata dengan tanah. Waktu itu, pemilik rumah, Sanawi enggan melepaskan rumah bercat merah muda itu lantaran besaran ganti rugi yang ditawarkan tim appraisal pembebasan lahan dinilai terlalu rendah.
Pengacara Sanawi, Rokhmantono, mengatakan nilai yang diajukan panitia pembebasan lahan sebesar Rp1,5 miliar, terlalu rendah. Sehingga Sanawi tidak sepakat.
"Secara fisik memang nilainya segitu. Tapi, panitia pembebasan lahan juga harus mempertimbangkan kerugian nonfisik," kata Rokhmantono, Selasa (18/4/2017).
Waktu itu ia menyebutkan kerugian nonfisik di antaranya, nilai sejarah bangunan, lama tinggal, dan usia bangunan. Perhitungan nilai nonfisik sekian persen dari nilai fisik.
Setelah dihitung, kata dia, total nilai nonfisik hampir Rp1 miliar. Dari hasil hitung-hitungan tersebut, pemilik meminta ganti rugi sebesar Rp2,8 miliar meliputi kerugian fisik dan nonfisik.
"Kerugian nonfisik atau solatium sebesar satu miliar. Itu bangunan sudah ada sejak 1965," ujarnya.
Sebelumnya, pemilik rumah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Slawi. Namun karena pengajuan gugatan terlambat akhirnya ditolak PN.
Tak melalui proses banding, pihaknya langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)--akhirnya ditolak juga.
Karena rumah berada di tengah- tengah proyek jalan tol, rencananya pelaksana jalan tol akan membuat jalan darurat di sisi rumah. Nantinya, rumah berada di tengah- tengah jalan tol.
Menanggapi hal tersebut, Rokhmantono mewanti-wanti agar pembangunan jalan darurat itu jangan sampai menyentuh tanah milik Sanawi.
"Kalau sampai (tanah) Sanawi ada yang kena, berarti pemerintah telah melakukan penyerobotan tanah. Bisa kami pidanakan," tegasnya sekitar April lalu.
Sementara, Pimpinan Proyek Tol Pejagan-Pemalang, Mulya Setiawan mengatakan belum sepakatnya ganti rugi tersebut menghambat pembangunan jalan tol.
"Soal harga ganti rugi yang belum disepakati, kami menyerahkan sepenuhnya ke pengadilan," ucapnya.
Meskipun, letak rumah itu berada di tengah-tengah badan jalan, rencana pengoperasian jalan tol tersebut pada masa mudik Lebaran tahun ini tetap jalan.
"Nanti kami bangun jalan darurat di samping kanan kiri rumah, tanpa membongkarnya," terang Mulya.