Penulis
Intisari-Online.com – Pada tahun 1985 kedengarannya aneh, tetapi setengah abad yang ialu itu sesuatu yang umum.
Setelah membaca pengalaman P.S. Kusuma, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1985 ini, kita mungkin bisa lebih menghargai kebebasan mendapatkan pendidikan sekarang.
Suatu pagi di bulan Agustus 1934, saya dimandikan oleh lbu, Ialu diberi celana pendek biru yang agak longgar dan hampir selutut yang dipertautkan dengan kancing-kancing pada kemeja putih, sepatu hitam dan kaus kaki panjang yang diikat dengan 'kosban' (kouseband = tali elastik pengikat kaus kaki) yang sedang mode saat itu.
Saya tak suka sama sekali pakaian semacam ini. Di rumah, sehari-harinya saya mengenakan celana monyet saja.
Baca juga: Di Tengah Gencatan Senjata, Belanda Hampir Saja Melakukan Agresi Militer Ketiga
Ayah sudah sejak tadi berpakaian rapi: jas tutup putih, kain panjang berwiron, blangkon, dan sandal kulit. Itulah seragam amtenar (pegawai negeri) rendahan di kantor Binnenlands Bestuur, kantor pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ke mana kita akan pergi? Dalam percakapan, beberapa kali saya mendengar ayah-ibu mengatakan 'sekolah'.
Sampai di sekolah, sudah banyak anak-anak yang datang dengan ayah atau ibunya masing-masing. Anak laki-laki kebanyakan berpakaian seperti saya, yang perempuan memakai blus dan rok. Semua bersepatu.
Satu-persatu calon murid dipanggil maju bersama orang tuanya. Kemudian bapak guru yang menerima murid baru mengajukan beberapa pertanyaan.
Baca juga: Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta
Jawaban orang tua dicocokkan dengan daftar yang sudah ada dan dicatat seperlunya. Murid yang diterima langsung disuruh masuk ke dalam kelas.
Agak lama juga tanya-jawab antara ayah dan bapak guru berlangsung. Rasa-rasanya bapak guru itu ragu menerima saya, mungkin karena perawakan saya yang kecil.
Saya disuruh melingkarkan lengan saya lewat atas kepala untuk meraih daun telinga di sisi kepala yang satunya. Ternyata saya bisa melakukannya. Jadi, saya diterima menjadi murid. Ayah tersenyum tentu saja, padahal saya menyesal.
Sekolah itu namanya HIS atau GHIS (Gouvernements Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar Negeri berbahasa Belanda untuk pribumi. Kelasnya sampai kelas VII. Kepala sekolahnya Belanda totok. Semuanya disebut meneer (= tuan).
Baca juga: Dari Hindia Belanda Hingga Menjadi Indonesia, Ternyata Beginilah Asal-usul Nama Indonesia
Saya tak bisa mengatakan apakah seharusnya merasa bangga bisa diterima di sekolah ini. Untuk bisa bersekolah di situ konon diperlukan persyaratan antara lain: orang tua atau wali si calon murid haruslah pegawai negeri dan gajinya paling sedikit f.60 (f = florijn = gulden). Gaji ayah saya waktu itu f.2-5. Lalu bagaimana saya bisa lolos?
Konon, kakek saya dari pihak ibu menjabat asisten wedana (= camat), kakek dari pihak ayah seorang amtenar, begitu juga adik ayah saya seorang pegawai negeri. Nah, empat pegawai gubernemen cukup menjamin saya untuk masuk di HIS itu.
Bapak guru yang mengajar di kelas I sama dengan yang kemarin menerima murid baru. Beliau masih muda, berpakaian persis seperti ayah. Guru-guru lainnya mengenakan setelan jas dengan dasi seperti Hoofd der School (kepala sekolah) yang totok.
Kami diajari menyanyi lagu berbahasa Belanda. Yang masih saya ingat sedikit (hanya kalimat pertamanya) antara lain: drie kleine kleutertjes, die zaten op een hek, dan seterusnya. Atau: zakdoek leggen, niemand zeggen dan seterusnya.
Baca juga: Ketika Jepang Sudah Angkat Kaki, Belanda Ingin Kuasai Indonesia Lagi, Tapi Mereka Salah!
Kami juga diajar bercakap-cakap dalam bahasa daerah dan membaca, berhitung dari 1-10-20 dengan memakai lidi, menulis pada batu tulis, menggambar, dan gerak badan (dalam rapor ditulis lichaamsoefeningen).
Setiap hari ada acara tata tertib duduk dan kebersihan. Begitu duduk di bangku masing-masing, lengan harus disilangkan di atas meja. Telapak dan punggung tangan mulai diperiksa. Bapak guru berkeliling membawa mistar.
Kalau kedapatan tangan kotor atau kuku panjang dan hitam ... tak! Cepat sekali pak guru menjatuhkan mistarnya di tangan itu.
Tak keras, tapi cukup sakit. Baju di bagian kerah, belakang telinga, tak boleh berdaki. Siapa berambut panjang akan ditarik di tengkuknya atau di dekat telinga.
Uang jajan 1 sen
Saya masuk sekolah pukul 07.15 .dan pulang pukul 11.00. Lapar dan haus sering menggoda. Karena itulah setiap hari saya diberi oleh ibu uang saku 1 sen. Di situ tak ada warung sekolah. Penjaja makanan seenaknya nyelonong masuk dan 'mangkal' di halaman belakang sekolah.
Dengan uang 1 sen itu, di saat istirahat, saya bisa makan semangkuk urem-urem, kolak kacang hijau, sepiring tahu campur, minum es sirup atau sepotong kue.
Di kelas II, saya pulang pukul 12.30, tetapi uang saku tetap 1 sen juga. Sesekali saja, misalnya angka rapor baik atau ibu mendapat rezeki berlebihan, saya diberi 2,5 sen atau sebenggol.
Lama-kelamaan saya bisa menyesuaikan diri meskipun belum merasakan nikmatnya bersekolah. Kepandaian saya sedang-sedang saja. Beberapa anak ada yang pandai. Yang teramat bodoh juga ada.
Baca juga: Belum Dianggap Merdeka dan Kunjungan Suharto ke Belanda Diremehkan, Benny Moerdani pun Mengamuk
Kelas II saya lalui tanpa banyak kesulitan. Saya sudah 'biasa' bersekolah, walau kadang-kadang malas dan enggannya kambuh juga. Apalagi setelah liburan panjang.
Waktu naik ke kelas III saya pindah ke ibukota keresidenan yang lebih ramai. Di kota ini selain HIS Negeri, juga ada sekolah angka V Negeri dan tiga buah sekolah dasar swasta.
Satu di antaranya sekolah anak-anak Arab. Ada juga ELS (Europese Lagere School), sekolah dasar untuk anak Belanda dan Eropa, anak pembesar pemerintah pribumi seperti bupati, dan anak dari gelijkgestelden (orang yang status kewarganegaraannya disamakan dengan orang Belanda/Eropa).
Ada lagi HCS (Hollands Chinese School) yang muridnya anak Cina semua. Ada lagi Christelijke Huishoud School, sekolah keterampilan rumah tangga untuk gadis-gadis.
Masih ada sebuah lagi sekolah negeri pertukangan. Muridnya terdiri atas pemuda-pemuda tanggung yang kekar dan kuat. Seragamnya kemeja dan celana panjang biru, yang kalau pulang sekolah tak pernah kelihatan bersih. Wajah, badan, dan seragamnya selalu hitam belepotan minyak pelumas campur debu arang batu.
Pelajaran bahasa Belanda diberikan sejak di kelas II sampai ke tingkat tertinggi. Buku bacaannya Roes en Joes. Mulai kelas III kami diberi pelajaran ilmu bumi (aardrijkskunde). Tentang ilmu bumi ini, negara kita waktu itu dinamakan Nederlandse Indie (Hindia Belanda).
Yang agak banyak diajarkan adalah Pulau Jawa, Sumatra, Borneo (sekarang Kalimantan), Celebes (sekarang Sulawesi), Molukken (sekarang Maluku), Niew Guinie (Irian Jaya) dan kepulauan lainnya hanya diberikan sepintas. Ada bahkan yang tak disinggung sama sekali.
Tentang Negeri Belanda, terutama pada kelas terakhir, diajarkan sangat banyak dan terperinci: bagaimana pengaturan airnya, penanggulangan banjir air laut ke daratan yang 15 m lebih rendah dari permukaan laut, pengeringan 'kubangan air' (polder), kincir angin dan fungsinya, keju, bunga tulip sampai ke urutan perjalanan dari Batavia ke Negeri Belanda dengan kapal laut.
Hasilnya, kami menjadi lebih mengenal negeri orang daripada negeri sendiri ... secara teoritis!
Bila di kelas III dan IV kami mendapat 9 mata pelajaran, maka di kelas V sampai VII lengkap menjadi 11, karena ditambah dengan ilmu pengetahuan alam (natuurkennis) dan sejarah (geschiedenis).
Dalam pelajaran sejarah, yang sangat ditonjolkan waktu itu adalah "kepahlawanan" serdadu kompeni atau VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Sultan Agung dari Banten dikatakan sebagai pemberontak. Tak pernah disebut siapa itu Pattimura, Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, apalagi tentang kerja paksa, kuli kontrak di perkebunan dan Iain-lain.
Pak guru ganti seragam
Semua alat pelajaran kami dapatkan gratis dari sekolah, mulai dari batu tulis sampai buku pelajaran boleh di bawa pulang. Semuanya bercap "Dept. O.&£." (Department van Onderwijs & Eredienst).
Baca juga: Peninggalan Belanda, Rumah Antik Menteri Susi yang Satu Ini Dianggap Angker
Seminggu sekali Pak Bon mengisi tinta pada tempat yang disediakan di tengah-tengah setiap meja murid.
Untuk ke sekolah, ada yang berjalan kaki saja, ada yang naik sepeda (termasuk saya), yang rumahnya di luar kota naik dokar, bus atau kereta api (uap). Ada yang rumahnya 12, 15 sampai 20 km jauhnya dari sekolah. Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan bersekolah di satu-satunya sekolah gubernemen ini.
Kepala sekolah dan guru-guru naik sepeda yang bagus kualitasnya; merknya Fongers, Avies, Raleigh, Gazelle. Sepeda saya merknya Mayam, keluaran Jepang.
Biasanya kalau seorang guru datang, ia akan turun dari sepeda. Dua murid yang akan diajar di jam pertama akan menyambutnya. Yang seorang menuntunkan sepedanya, yang seorang membawakan tasnya ke kelas.
Baca juga: OPM, Pemberontak 'Warisan' Belanda Yang Kerap Serang Freeport untuk 'Cari Perhatian'
Namun, pernah terjadi seorang guru datang tanpa seorang pun berlari menyambutnya. Bapak guru itu berang sekali. Dengan setengah dibanting, sepeda digeletakkan begitu saja di halaman sekolah. Dengan wajah merah padam dan langkah besar-besar beliau menuju kelas dan membanting tasnya di meja!
Wah! Lebih dari sepuluh murid berdiri serentak, berlari dan berebut mengambil sepedanya. Percuma! Pak guru itu marah-marah di setiap kelas yang diajarnya hari itu. Kelas saya juga kena. Waktu usai sekolah ... kedua ban sepedanya kempis.
Keesokan harinya, para murid di beberapa kelas mendapat hukuman menulis lima ratus baris kalimat Ik moet mijn best doen. (Saya harus bekerja baik).
Suatu hari, sebelum pelajaran dimulai, seorang guru mengumumkan: "Anak-anak, dengarkan! Kira-kira seminggu lagi Meneer Anu akan mengajar kalian dengan memakai celana ..." Murid- murid cengar-cengir saling menengok. Bapak guru mengerti apa yang dibayangkan anak-anak.
la kelihatan menahan senyum, tapi pura-pura marah dan membentak: "He, diam! Yang aku maksud, Meneer Anu itu akan memakai pantalon, jas, dasi, lengkap. Beliau tidak memakai kain panjang lagi. Mengerti?!” Kelas menjadi gaduh. Seperti apa ya wajahnya? Tampan? Tidak?
Pada hari yang ditentukan Meneer Anu datang. Tanpa blangkon, rambut hitam mengombak, memakai kaca mata. Tampan dan menimbulkan kesan pandai. Kami mengaguminya, tapi tak berani bertanya-tanya.
Hanya dalam hati menanyakan mengapa beliau boleh ber"setelan"? Apa ada hubungannya dengan kenaikan pangkat?
Kalau murid pacaran
Kami sering takut pada guru. Takut dimarahi, takut dibentak. Kami kira menjadi guru itu enak. Ternyata dugaan kami salah. Sesekali guru sempat kalang kabut dan ketakutan, yaitu kalau mendadak pengawas sekolah (schoolopziener) datang. Yang tidak takut mungkin hanya kepala sekolah yang Belanda, sebab pak pengawas orang Jawa.
Baca juga: Ketika 70 Pasukan Pertahanan Pangkalan di Yogya Dibantai Oleh Pasukan Belanda yang Telah Menipunya
Suatu waktu pak pengawas datang mendadak. Kalau saja ada kesempatan, para guru akan sibuk mengatur kelas masing-masing: mengatur buku di atas meja, buku persiapan guru, buku hadir murid, dan buku pelajaran.
Almari dirapikan. Murid-murid pandai dipindahkan ke depan dan yang bodoh di belakang. Kalau ditanyai, jangan bodoh, jangan gugup dan banyak jangan lagi.
Dengan wajah angker pak pengawas masuk ke kelas kami. Bapak guru terbungkuk-bungkuk menghormatinya, kemudian menjauh dan berdiri menanti dengan pasrah. Pak pengawas menyapu seluruh kelas dengan pandangan tajam bak mata elang.
Semua benda diperiksa, buku-buku disimak, bagian atas almari diraba barangkali banyak debunya, begitu pula lantai diselidiki, juga gambar dinding, dan bangku-bangku.
Saat yang paling ditakuti bapak guru tiba: pemeriksaan murid. Buku persiapan guru diperiksa, lalu kelas diambil alih. Tanpa basa-basi lagi pengawas langsung menunjuk murid yang duduk di belakang. Wajah bapak guru memucat.
Siasatnya gagal mengelabuhi pak pengawas. Para murid ikut tegang dan takut. Kalau yang dites bisa menjawab, bapak guru untuk sementara bisa bernapas lega. la akan senang sekali.
Kalau sebaliknya, kamilah yang ganti sangat ketakutan. Nantinya, bapak guru akan marah dan membentak-bentak kami, terutama pada murid yang tadi salah menjawab!
Zaman saya bcrsekolah dulu, murid-muridnya relatif berbadan besar. Pernah pecah kabar, seorang murid laki-laki kelas IV berpacaran dengan murid wanita kelas III! Pak guru berhasil merampas sepucuk surat dari tangan murid wanita itu. Wah, ramai!
Keduanya dipanggil kepala sekolah. Keputusannya: mereka diskors. Selesai masa hukuman, pergunjingan belum mereda dan keduanya menjadi sasaran olok-olok. Akhirnya mereka pindah sekolah.
Selang beberapa lama ada dua murid laki-laki kelas VII yang berkelahi di halaman sekolah pada waktu istirahat karena ... berebut pacar! Heboh lagi. Memang saat itu perpacaran di SD sering terjadi.
Semua sekolah, baik negeri maupun swasta, masuk pada pukul 07.30 dan usai pukul 13.00. Pada saat-saat itu jalanan penuh oleh murid berbagai sekolah. Tidak jarang terjadi perkelahian antar sekolah.
Meneer Hop (Hoofdagent van Politie) buru-buru turun tangan kalau ada yang melapor. Meneer Hop yang bule itu bersama dua anak buahnya yang Indonesia naik sepeda motor HD (Harley Davidson) yang pakai zijspan (kereta tambahan di samping).
Baca juga: Sudah 'Impor' Narapidana, Penjara Belanda Masih Saja Kosong, 4 Diantaranya Terpaksa Ditutup
Karena suara bising motor HD sudah terdengar dari jauh, dan ada anak yang berteriak "Polisiiii...!", maka mereka yang sedang berkelahi itu bubarlah.
Yang tak ada pengusiknya dan juga tak mau mengusik adalah anak-anak Sekolah Pertukangan. Pulang sekolah, biasanya mereka menggenggam martil, catut, kunci Inggris dan semacamnya. Sebetulnya bukan untuk senjata melainkan dibawa pulang sebagai garapan mereka.
Kalau ratu ulang tahun
Kadang-kadang murid mendapat hiburan murah. Ada tukang sulap atau rombongan akrobat yang mengadakan pertunjukan. Para murid cuma diminta menyumbang beberapa sen saja.
Yang selalu ada setiap tahun adalah perayaan jubileum yaitu, peringatan kelahiran Ratu Belanda (waktu itu Wilhelmina) pada setiap tanggal 31 Agustus, yang dirayakan besar-besaran. Kota dihias, juga rumah penduduk. Semua murid di semua sekolah harus turut merayakannya.
Macam-macam lomba dan aubade murid diadakan, meskipun tanpa upacara resmi. Demikian juga halnya ketika Putri Makota Juliana menikah dengan Pangeran Bernhard von Lippe Bisterfeld.
Ada scdikit cerita tatkala kami nonton di gedung bioskop tentang berbagai peristiwa di berbagai kota di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pada hiasan kota, toko-toko dan kantor terpampang hiasan besar-besar dengan lampu gemerlapan initial "JB" (Juliana - Bernhard).
Setiap kali terlihat huruf-huruf itu kami berteriak "JB". Saking sering dan banyaknya, teriakan berubah bernada mengejek: "Jeeebeee! Jeeebeee!". Gaduh sekali.
Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda
Para guru dan kepala sekolah tak bisa berbuat apa-apa. Namun, setelah kembali ke sekolah, kami dimarahi habis-habisan oleh bapak guru dan kepala sekolah yang Belanda itu.
Yang juga selalu ada adalah yang namanya fakkeloptocht atau flambouwenoptocht (pawai obor). Pawai ini mengelilingi kota dan berakhir di lapangan kota. Di situ sudah tersedia tumpukan kayu bakar yang hampir setinggi pohon kelapa.
Diatur sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai piramida. Tumpukan ini memang sudah dipersiapkan berhari-hari sebelumnya.
Pada setiap pojok piramida dipancangkan satu lonjor bambu. Dari puncaknya sampai ke bawah (hampir mencapai tanah), digantungkan rentengan mercon besar kecil. Kalau pawai obor sudah berakhir di lapangan ini, tumpukan kayu itu dibakar menjadi unggun api raksasa.
Bersamaan itu, disulutlah mercon pada bambu. Ramai sekali, seperti pertempuran saja.
Anak-anak yang mengelilingi api unggun bersorak-sorai gembira. Inilah acara yang paling kami senangi: begitu kayu bakar habis dan tinggal tumpukan bara yang tak berbahaya lagi, kami berlarian ke bawah tiang bambu berebut mencari mercon yang tidak meledak untuk dibawa pulang.
Kalau kepala sekolah sedih
Tahun demi tahun berlalu dan akhirnya tercapai juga tingkat terakhir. Wali kelas saya adalah kepala sekolah, orang Belanda, pengganti kepala sekolah sebelumnya.
Orangnya sudah agak tua. Yang jelas beliau hidup melajang di sebuah hotel setempat.
Kepala sekolah mengajar bahasa Belanda dan ilmu bumi di kelas kami. la penyabar dan menyenangkan. Sering ia memberi penganan atau manisan (seorang murid disuruh membelinya). Kadang- kadang ia mengundi uang 1 gulden, yang dibagi menjadi 10 hadiah.
Beliau juga suka berkelakar pada waktu mengajar bahasa Belanda. Yang paling disukainya, bercerita tentang negeri leluhurnya pada saat mengajar ilmu bumi.
Ia juga bisa marah, yaitu kalau kami nakal atau tidak belajar di rumah, atau memang kemarahannya itu dibawanya dari rumah. Kalau sedang senewen begitu, beliau memaki-maki kami, "Kalian goblok, kalian kerbau!" (dalam bahasa Belanda).
Baca juga: Kisah Herlina Kasim: Merangkak di Bawah Hujan Peluru Guna Merebut Irian Barat Dari Belanda
Suatu hari ... tahun 1940 ... kami melihatnya tidak seperti biasanya. Beliau menangis di depan kami, di kelas! Kami tercenung. Kelas yang tadinya gaduh menjadi sepi, hening. Beliau terus menangis sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan.
Satu dua murid perempuan ikut terisak-isak, meskipun tak tahu apa yang disedihkannya.
Setelah agak lama, tangisnya mereda. Kepala sekolah diam sejenak, lalu menjelaskan bahwa baru saja ada berita tentang Negeri Belanda diserang dan diduduki tentara Nazi Jerman. Ia begitu sedih mengingat orang tua dan sanak saudaranya di sana.
Sebaliknya, ia sendiri tak ada harapan bisa balik ke tanah airnya. Menjelang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, saya bersama beberapa teman menyempatkan diri datang ke hotelnya. Ternyata ini merupakan pertemuan yang terakhir kalinya. Pada masa pendudukan Jepang, beliau ditawan dan diinternir. Kami tak pernah tahu lagi nasibnya.
Selama tujuh tahun bersekolah berhasil juga saya menyenanginya. Namun, semakin tinggi kelas saya, semakin meningkat pula kenakalan saya. Nilai rapor saya menukik cukup mengkhawatirkan.
Akhirnya datang juga hari penentuan, apakah kami lulus dari HIS atau tidak. Waktu itu tidak ada ujian akhir, keberhasilan bergantung pada nilai rapor. Yang lulus boleh meninggalkan sekolah dengan membawa Verklaring (= STTB sekarang). Yang tidak lulus harus mengulang.
Satu demi satu nama dipanggil. Yang dipanggil berarti lulus.
Selama ini saya tak pernah tinggal kelas. Bagi mereka yang tak pernah tinggal kelas ada peluang untuk lulus. Biasanya, ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs = SMP). tanpa ujian masuk.
Baca juga: Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia
Ketika rapor di meja tinggal beberapa saja, nama saya dipanggil. Saya lulus dengan angka-angka tidak top. Sebab itu saya hanya boleh masuk di kelas peralihan (voorklas) MULO. Beberapa teman laki-laki dan perempuan terpaksa mengulang.
Saya bersyukur bahwa di alam kemerdekaan ini siapa saja boleh bersekolah dan sudah berpuluh juta anak leluasa bersekolah.
Saya sendiri, selama lebih dari 30 tahun berkecimpung dan mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Saya sangat mengerti apa, siapa dan bagaimana "guru" itu sebenarnya, yang patut mendapat gelar "Pahlawan tanpa tanda jasa".
Saya pun sangat berterima kasih kepada guru-guru saya yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada saya. (Pranyoto)