Penulis
Intisari-Online.com -Seperti diceritakan sebelumnya,selama 8 hari, 12 - 18 Juli 2007 lalu, beberapa orang turis, salah satunya dari Indonesia, menyaksikan kota yang penuh dengan gedung megah dan kehidupan yang tidak dapat dikatakan susah, saat mengunjungi negara Kim Il Sung ini.
(Baca juga: Di Korea Utara yang Misterius, Bentuk Rumah Harus Seragam dan Tidak Boleh Lebih dari 3 Tingkat)
Acara kami keesokan harinya, 13 Juli, berkunjung ke menara Juche Ideal di Pyongyang yang tingginya 170 m. Sayang, kami tidak diperbolehkan naik ke puncak, karena liftnya sedang diperbaiki.
Kami harus puas dengan hanya melihat-lihat plakat yang ada di Juche. Salah satunya berasal dari orang Indonesia bernama AN Nasution, bertanggal 15 April 1981. "Hidup Juche Ideal," tulisnya. Kabarnya ia pernah bertemu dengan Presiden Kim Il Sung.
Selanjutnya di daerah Masudae kami menyaksikan patung Presiden Kim Il Sung setinggi 20 m. Kami harus berdiri berjajar dan memberi hormat pada patung. Kami diingatkan agar tidak membuat foto dengan sikap seperti patung. Banyak orang yang meletakkan bunga di depan patung, termasuk kepala rombongan kami.
Di dalam kompleks itu juga terdapat banyak patung pahlawan lainnnya. Lucunya ada juga dua pasang pengantin di sana, rupanya mereka ingin minta doa restu. Akhirnya malam itu kami menginap di Hotel Hyangsan, yang cukup megah, dengan sebelumnya sempat jalan-jalan ke pegunungan dan ada yang sampai ke air terjun.
(Baca juga: Pada 2015, Menteri Pertahanan Korea Utara Dihukum Mati karena Tidur Saat Acara Resmi)
Mengunjungi International Exhibition Hall, tempat dipamerkannya berbagai hadiah yang pernah diberikan kepada Presiden Kim Il Sung, menjadi acara kami keesokan paginya, 14 Juli. Ada juga hadiah dari Indonesia, kalau tidak salah dari mantan presiden Megawati. Dalam perjalanan kembali ke Pyongyang, kami mampir di Kuil Pohyon yang dibangun pada 1042, tapi kami tidak melihat ada biksu di sana.
Di Pyongyang kami mengunjungi museum Perang Korea, yang menampilkan guntingan-guntingan koran yang menceritakan bagaimana kapal mata-mata AS "Pueblo" pada tahun 1968 tertangkap. Juga ada tank dan truk-truk yang dipamerkan. Waktu itu kami dijanjikan dalam perjalanan ke lapangan terbang nanti, bisa menyaksikan kapal itu. Polisi lalu lintas nan cantik
Metro Pyongyang memang pantas dibanggakan! Begitu kesan saya ketika kami menyempatkan diri menjajal kendaraan umum yang modern di Korea Utara. Penuh dengan hiasan mozaik dan lukisan dinding. Konon mirip metro di Moskwa.
Metro yang dibangun tahun 1968 dan saat tahun 1975 sudah tersedia 17 pemberhentian itu, terletak 100 m di bawah tanah, merupakan metro terdalam di dunia. Konon, sehari sekitar 400.000 orang menggunakan jasanya, sedangkan hari libur bisa mencapai 700.000 orang. Suhu pun tetap terjaga sebesar 18o C agar tetap hangat saat musim dingin dan sejuk saat musim panas.
(Baca juga: Korea Utara Terus-terusan Uji Cobakan Rudal Balistik, Vladimir Putin pun Langsung Turun Tangan)
Selain metro ada pula trolleybus, yaitu bus yang atasnya terkait dengan kawat listrik, dan tramcar, trem yang menggunakan rel. Harga karcis jauh-dekat hanya 5 won (sekitar Rp 67) untuk semua rute.
Sebagai perbandingan 1 euro = 186 won dan 1 AS $ = 138 won waktu itu. Menukar uang harus di bank dengan kurs resmi. Uang won tidak boleh dibawa keluar negeri, terutama uang koin. Namun di Korea Utara ada kemudahan berbelanja, karena bisa membayar dengan uang dolar. Jika membayar dengan dolar atau euro kembaliannya uang yuan RRC.
Yang menarik, polisi lalu lintas di sana umumnya perempuan cantik berseragam putih yang mengatur kendaraan secara manual. Lalu lintas juga tidak padat, sehingga semua kelihatannya lancar-lancar saja. Namun, bila suhu udara mencapai 30o C atau di bawah 7o C, polwan cantik itu tidak terlihat di jalan. Sebagai gantinya lampu lalu lintas dinyalakan.
Begitu pula di semua gedung yang dikunjungi, kami selalu disambut oleh petugas wanita yang cantik-cantik dengan gaun mewah bak ingin pergi ke pesta besar. Penyapu kebun di hotel juga memakai sepatu hak sedang dan berpakaian rapi. Ternyata kapal sederhana
Dalam dua hari yang tersisa, kami selanjutnya menuju ke kota pelabuhan yang terletak di sebelah timur, Wonsan. Mengunjungi mausoleum Raja Donyong (22 SM - 4 M). Berbeda dengan Korea Selatan yang membiarkan semua seperti aslinya, di sini karena dipindahkan dari tempat lain, makam itu kelihatannya sudah diperindah. Juga ke Gunung Kumgang dengan airnya yang jernih dan batu-batu sungai yang putih.
Kami juga menyempatkan diri mampir di asrama anak-anak internasional. Gedungnya sangat megah. Terdapat auditorium dan banyak barang peragaan, termasuk beberapa burung yang diawetkan.
Kelihatannya semua memang serba bagus, tetapi terkesan "dingin". Kamar tidur, WC yang bersih, tetapi tidak terlihat satu manusia pun. Paling terlihat petugas yang sedang membersihkan taman. Di mana-mana terlihat patung Presiden Kim Il Sung yang selalu disebut "our great leader" oleh pemandu kami.
Di hari terakhir, 18 Juli, sesuai janji sebelum menuju bandara, kami mampir dulu ke kapal mata-mata Pueblo yang berlabuh di tepi sungai. Tenyata kapal itu sangat sederhana dan buatannya masih kasar. Awak kapal dibebaskan setelah ada permintaan maaf dari Amerika Serikat, pada 23 Desember 1968.
Tibalah saatnya kami bertemu kembali dengan telepon genggam yang harus ditinggalkan. Ternyata telepon genggam saya "tidak ada". Namun karena yang tertinggal hanya satu itu, ya mestinya itulah milik saya. Benar juga. Stiker yang sebelumnya saya tempelkan sebagai tanda pengenal ternyata sudah bersih.
Bersamaan dengan bersatunya kembali kami dengan handphone masing-masing, berakhirlah pula perjalanan ke negara yang konon paling tertutup di dunia itu. Yang serbarapi dan bersih, sekaligus dingin dan misterius.
(Irawati/Majalah IntisariMei 2009)