Penulis
Intisari-Online.com – Tulisan berikut ini diambil dari Majalah Intisari edisi September 1984, yang metode perhitungannya sampai sekarang belum berubah.
“Icuk Sugiarto yang gagal di final Turnamen Bulutangkis Indonesia Terbuka (Grand Prix Pro Kennex) lantaran ambruk ketika bertanding melawan Hastomo Arbi di semifinal pekan lalu itu, masih dapat memperbaiki posisinya di urutan kedua, menggeser bekas juara Eropa; Jens Pieter Nierhoff dari Denmark."
Demikian berita Kompas, 26 Juli 1984. Jumlah angka yang berhasil dikumpulkan Icuk 805.
Sementara itu, Liem Swie King dan Hastomo Arbi menduduki ranking keempat dan ketujuh.
Baca juga: Bulutangkis Dikembangkan di Inggris Tapi Mengapa Kejuaraan Dunia Selalu Direbut Asia?
Seminggu sebelumnya, ketika Turnamen Malaysia Terbuka berakhir, mereka menduduki urutan ketujuh dan keenam, sedangkan Icuk menempati ranking ketiga.
Icuk mendapat angka yang lebih tinggi, karena ia tampil sebagai juara dalam turnamen di Bangkok dan Ipoh, Malaysia.
King dan Hastomo absen dalam kedua turnamen tersebut, sehingga tidak mendapat tambahan angka.
Penentuan ranking pemain '12 besar' di dunia pada turnamen Grand Prix baru mulai dilakukan tahun yang lalu oleh IBF berdasarkan turut sertanya pemain dalam turnamen internasional yang bersifat 'open' yang masuk dalam katagori Grand Prix.
Tahun ini ada sepuluh turnamen yang dikategorikan Grand Prix, yakni: Turnamen Jepang, Taiwan, Denmark, Swedia, All England, Kanada, Muangthai, Malaysia, Indonesia dan India.
Setiap tahun, turnamen yang masuk dalam katagori ini bisa berubah dan IBF-lah yang akan menentukannya.
Angka yang diberikan kepada para pemenang dan peserta, tidak sama dalam setiap turnamen Grand Prix.
Pada Turnamen Indonesia Terbuka yang lalu umpamanya, juara pertama mendapat angka 250, juara kedua 200.
Setiap pemain yang ikut ambil bagian dalam turnamen tersebut biarpun kalah, ia akan diberi angka 50.
Jika ternyata ada pemain yang telah mendaftarkan diri, tetapi tidak jadi ikut bertanding, angkanya akan dikurangi 50, dan pemain yang tidak ikut akan mendapat angka nol.
Pada turnamen lain, angkanya bisa berbeda. Makin tinggi kategori dan jumlah hadiah uangnya, makin tinggi juga jumlah angka yang diberikan dalam turnamen tersebut.
Mungkin saja terjadi seorang pemain yang mengikuti seluruh turnamen Grand Prix walaupun selalu kalah, menduduki ranking yang lebih tinggi daripada pemain lain yang menjadi juara satu dalam salah satu turnamen, tetapi absen dalam turnamen yang lain.
Soalnya, ranking pemain akan ditentukan berdasarkan jumlah angka yang berhasil dikumpulkannya dalam turnamen-turnamen Grand Prix.
Dan IBF-lah yang akan mencatat jumlah angkanya.
Setiap suatu turnamen Grand Prix berakhir, kedudukan ranking pemain bisa berubah.
Lius Pongoh, biarpun ia juara dalam Turnamen Indonesia Terbuka pertengahan bulan Juli yang lalu, ia hanya berhasil menduduki ranking kesembilan dalam '10 besar’ Grand Prix putra.
Soalnya, ia tidak ikut dalam turnamen Grand Prix lainnya.
Cara penentuan ranking ini juga berlaku bagi pemain bulutangkis putri. (TLT)