Penulis
Intisari-Online.com – Pantangan atau wewaler itu sampai kini masih diyakini sebagian besar warga Dusun Kasuran, di Kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta.
Lho, apa hubungannya kasur dengan santet? Tidak ada yang tahu persis apa alasannya.
(Baca juga:Petir Terganas di Dunia Ada di Indonesia Lo! Ini Dia Lokasinya)
Dusun Kasuran sendiri terdiri atas dua wilayah. Kasuran Kulon dan Kasuran Wetan yang masing-masing dihuni sekitar 70-an kepala keluarga, dengan jumlah warga sekitar 1.200 jiwa.
Meski mampu membeli kasur, hampir semua warganya tidur hanya beralas tikar.
Mereka meyakini jika pantangan itu dilanggar akan mendatangkan balak alias masalah yakni sakit, hidup menderita , hingga kematian.
Beragam kisah soal balak akibat melanggar pantangan, beredar turun-temurun. Sekitar 1972 kejadian buruk menimpa pendatang yang awalnya kurang percaya dengan wewaler itu.
“Pendatang itu berprofesi perawat. Mungkin karena tidak tahu, keluarga mereka tidur menggunakan kasur kapuk. Akibatnya kedua anak lakinya hampir tiap hari bertengkar malah nyaris berkelahi secara fisik. Setelah disarankan untuk menyingkirkan kasur tersebut, kedua anaknya tak lagi saling tengkar,” kata Wartilah (59 th) kepala Dusun Kasuran Kulon.
Kisah lainnya, dialami seorang polisi beserta keluarganya yang mengontrak di salah satu rumah penduduk sekitar tahun 1982.
Merasa bukan warga asli, keluarga tersebut nekat menggunakan kasur.
Belum genap sebulan mendiami rumah itu, mereka tak tahan lantaran rumahnya sering didatangi ular.
Sebenarnya, tidak semua jenis kasur dipantang oleh mereka, melainkan hanya yang terbuat dari kapuk atau kapas.
Hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang mempercayainya walaupun sebagian lainnya mulai mengabaikan.
Keluarga Kartiman misalnya. Meski menggunakan kasur kapuk, dia mengaku tak mengalami balak.
“Pantangan itu kan cuma mitos. Kalau memang berani melanggar beranilah secara tegas dan yakin. Toh hidup mati seseorang itu Tuhan-lah yang mengatur. Tapi jangan coba-coba melanggar kalau hati mimir alias setengah-setengah,” ujar Kartiman.
Riwayat pantangan
Versi yang masuk akal dikisahkan Sukarno, guru SMP di Gunungkidul yang pernah menelaah mitos Kasuran untuk tujuan penulisan skripsinya. Menurutnya, pantangan tersebut berkait dengan krisis Kerajaan Mataram era Amangkurat I.
Kisahnya berawal dari meletusnya kerusuhan di Mataram yang berujung pada pembantaian warga tahun 1648, yang menurut catatan De Graaf menelan korban hingga 6000 jiwa.
(Baca juga:Mengerikan! Ketika Tiga Veteran Perang Menceritakan Pengalaman Pertama Menghabisi Nyawa Orang)
Konflik terjadi antara pihak loyalis raja versus para penentang. Pertikaian antar-kedua belah pihak berkembang menjadi perang dan pembunuhan gelap yang dilakukan oleh para telik sandi atau intelijen.
“Perang antar kedua pihak tak hanya melibatkan fisik, namun juga adu ngelmu metafisik, termasuk penggunaan santet atau guna-guna,” papar Sukarno.
Salah seorang loyalis raja – sebagaimana tertulis dalam Wajah Tirani Mataram karya Wrasti Pradipta – adalah Ki Kamijora warga Dusun Joran (sekarang Kasuran), yang juga kawan seperguruan Amangkurat I saat menimba ilmu pada Ki Brayut, guru spiritual kerajaan era Sultan Agung.
Kamijora ditugaskan memimpin pasukan untuk menghabisi lawan-lawan politik raja.
Pihak penentang raja balik membalas dengan menebar beragam kekuatan supranatural ke seluruh penjuru kampung. Namun Ki Kamijora keburu kabur.
Akhirnya pihak lawan mengancam, akan terus menyebarkan santet dan mengincar Ki Kamijora beserta semua warga yang tinggal di kampung itu.
Sebelum melarikan diri, Ki Kamijora berpesan kepada para pengikutnya agar tidak tidur dengan alas yang membuat jarak antara tubuh dengan lantai, untuk menghindari santet yang dikirim oleh pihak kerajaan.
Pesan Ki Kamijora itulah yang kemudian menjadi semacam sugesti berlarut. Secara berantai dan turun-temurun diterjemahkan sebagai pantangan tidur menggunakan kasur.
Bagi masyarakat Dusun Kasuran, pantangan itu tidaklah terlalu menjadi beban. Justru yang sering membuat risih mereka adalah perlakuan berbau promo terhadap budaya mereka.
Pantangan tersebut terkesan dieksploitasi menjadi keunikan ranah wisata sehingga banyak orang penasaran mengunjungi dusun mereka. Ini sering kali justru mengganggu ketenangan hidup warga di situ. (Singgir Kartana, Yogyakarta)
(Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Intisari edisi Mei 2015)