Penulis
Intisari-Online.com – Pada tanggal 30 April 2013, Ratu Beatrix (75) dari Belanda dengan sukarela menyerahkan takhta kepada putra sulungnya. Pangeran Willem-Alexander Claus George Ferdinand, hari itu juga dilantik menjadi Raja Willem-Alexander dalam upacara yang sangat sederhana.
Bagi rakyat Indonesia, peristiwa itu dianggap biasa saja. Padahal ketika Beatrix lahir tahun 1938, rakyat Hindia Belanda merayakannya dengan sangat meriah, karena kita masih menjadi jajahan negara kecil itu.
(Baca juga:Ki Hajar Dewantara, Waktu Kecil Kerap Berkelahi dengan Sinyo, eh Pas Besar Dibuang ke Belanda?)
Bahkan ulangtahun nenek Beatrix, Ratu Wilhelmina, setiap tahun dirayakan dengan pasar malam di Gambir, yaitu di tempat yang kini menjadi Monumen Nasional di Jakarta.
Ratu Juliana menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada RI
Ketika Intisari lahir, di Belanda bertakhta Ratu Juliana (1909-2004). Dialah yang pada 27 Desember 1949 di Amsterdam menandatangani penyerahan kedaulatan atas Hindia Belanda (kecuali Irian Barat) kepada pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Wakil Presiden R.I. Drs. Moh. Hatta.
Pada saat itu Juliana belum genap empat bulan menjadi ratu. Ia mewarisi tahta dari ibunya, Ratu Wilhelmina, yang turun takhta dengan sukarela.
Juliana yang belajar hukum internasional di Universitas Leiden itu, menjadi ratu pada saat yang sulit.
(Baca juga: Sejarawan Belanda: Makam di Selopanggung Terbukti Makan Tan Malaka)
Sembilan tahun sebelumnya Belanda diduduki Nazi Jerman di bawah Diktator Adolf Hitler. Ratu Belanda waktu itu, Wilhelmina, memboyong keluarganya mengungsi ke London, Inggris.
Setahun kemudian, Putri Juliana membawa anak-anaknya pindah ke Ottawa, Kanada. Seusai perang, keadaan Belanda morat-marit.
Tujuh belas Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan Juliana harus mengakui kemerdekaan jajahannya itu empat bulan setelah ia menjadi ratu.
Belum sembuh dari bilur-bilur perang, tahun 1953, Belanda yang sebagian negaranya lebih rendah dari permukaan laut itu dihantam gelombang laut hebat yang menjebol banyak tembok pencegah air laut menggenangi daratan.
Lebih dari 2.000 orang tewas terbenam, puluhan ribu orang terjebak banjir. Juliana menunjukkan dirinya sebagai ratu yang prihatin.
(Baca juga: Soal Kapal Perang Belanda yang Hilang di Laut Jawa, Indonesia Tolak Tuduhan)
Dengan mengenakan mantel usang dan sepatu but, ia tidak ragu-ragu mendatangi tempat-tempat penampungan untuk membawakan makanan dan pakaian, walaupun harus bergelimang lumpur.
Lalu tahun 1956 ia melahirkan putri keempat, Marijke (kemudian diubah menjadi Christina) yang kedua belah matanya cacat, karena ketika sedang hamil muda Juliana menderita campak Jerman.
Saking ingin mata anaknya terhindar dari kebutaan, ia percaya pada seorang dukun. Celakanya, dukun itu juga mempengaruhi Juliana untuk hal-hal lain yang dianggap bisa membahayakan negara, sehingga si dukun dijauhkan secara paksa.
Kembalikan sepedaku!
Tahun 1965, Putri Mahkota Beatrix menimbulkan kehebohan. Sarjana hukum lulusan Leiden ini akan menikah dengan seorang ningrat Jerman bernama Claus von Amsberg, seorang diplomat di Departemen Luar Negeri Jerman.
Kita tahu Belanda pernah sengsara dijajah Jerman dalam Perang Dunia II. Sebenarnya, ayah putri, Pangeran Bernhard, juga orang Jerman seperti halnya kakek putri dan nenek buyutnya.
Namun pernikahan mereka terjadi sebelum Nazi Jerman menyerbu Belanda. Akhirnya setelah dilakukan penelitian yang saksama, nama Claus dibersihkan dari keterlibatan dengan Nazi dan pernikahan dilangsungkan pada 10 Maret 1966.
Kereta kencana yang membawa pasangan pengantin dilempari bom asap oleh penonton. Di antara spanduk-spanduk para pemrotes, ada yang bertuliskan, “Mijn fiets terug!” (Kembalikan sepedaku!)
Soalnya tentara Jerman menyita sepeda-sepeda rakyat saat mereka menjajah Belanda. Kemudian ternyata Pangeran Claus menjadi salah seorang anggota keluarga kerajaan yang paling dicintai di Belanda.
Oma! Oma!
Tahun 1967 keadaan ekonomi Belanda menanjak pesat dan negeri kecil itu menjadi makmur. Hubungan dengan Indonesia setelah perebutan Irian Barat pun membaik.
Lalu Agustus 1971 Ratu Juliana berkunjung ke Indonesia dan mendapat sambutan hangat.
Anak-anak melambai-lambaikan tangan di jalan ketika mobil yang ditumpanginya lewat seraya berseru, ”Oma! Oma!” Orang-orang segenerasinya dan segenerasi lebih muda, melupakan Belanda sebagai penjajah dan cuma mengenang peristiwa yang mengesankan.
Di antara peristiwa itu adalah pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard 7 Januari 1937. Hari itu kantor-kantor dan toko-toko di Batavia dibubarkan beberapa jam lebih awal supaya para karyawan bisa menonton dan ikut arak-arakan kendaraan.
Yang ikut bukan cuma mobil mewah, tetapi juga opelet dan truk penuh penumpang yang bersorak-sorai. Selain itu ada parade kendaraan berhias.
Gedung-gedung dihiasi lampu, gapura-gapura didirikan dan pesta diadakan di mana-mana, termasuk di Kebun Binatang yang sekarang menjadi Taman Ismail Marzuki di Cikini, Jakarta.
Di halaman depan Stasiun Jakarta Kota, diadakan upacara menanam Pohon Juliana dan Pohon Bernhard. Pohon itu nama latinnya Filicium, tapi rakyat menyebutnya “Anak Raja Pake Payung”. Perayaan juga dilakukan di pelbagai kota.
Kelahiran Putri Mahkota Beatrix tidak luput dari keriaan. Putri diperkirakan lahir bulan Januari 1938. Jadi sejak awal Januari di mana-mana didirikan gapura-gapura bambu dihiasi kertas untuk menyambutnya.
Ternyata sampai kertas rontok dan gapura reyot, calon pewaris takhta itu belum juga muncul. Baru pada hari terakhir bulan Januari Beatrix lahir.
Sudah benar-benar asing
Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia bukan jajahan Belanda lagi. Keluarga kerajaan Belanda sudah benar-benar menjadi “orang asing”.
Peristiwa Beatrix naik tahta 30 April 1980, Juliana meninggal 20 Maret 2004, disusul suaminya delapan bulan kemudian, dan percobaan pembunuhan atas Ratu Beatrix dan keluarganya (2009) saat bus yang mereka tumpangi ditabrak dengan sengaja, cuma menjadi berita kecil.
Begitu juga penobatan Willem-Alexander menjadi raja menggantikan ibunya 30 April 2013, hanya menjadi berita biasa. Padahal raja kelahiran 27 April 1967 ini adalah raja Belanda pertama sejak Raja Willem II wafat tahun 1890.
Kalau monarki masih bertahan, tampaknya setelah Willem-Alexander, Belanda akan kembali diperintah oleh seorang ratu karena ketiga anak Raja Belanda ini perempuan.
(Ditulis oleh Helen Ishwara, seperti dimuat dalam Intisari edisi September 2013)