Zaman Memang Sudah Serba Online, Namun Bisakah Kita Berobat Secara Online?

Ade Sulaeman

Penulis

Dokter online

Intisari-Online.com – Di zaman yang serba online sekarang ini, rasanya belum afdal bila tidak ada kata online di belakang seluruh sudut kehidupan kita. Termasuk dalam dunia kesehatan, khususnya dunia kedokteran.

Namun, sebelum sebuah diagnosis ditegakkan, tatap muka dokter - pasien masih diperlukan. Mengapa?

“Dok, tangan saya kok rasanya nyeri ya? Seperti kesemutan, kalau digerakkan sakit. Saya pikir cuma kecapekan. Tapi setiap kali dipakai untuk menulis atau memegang mouse rasanya nyeri,” demikian tulis seorang teman di sebuah kanal konsultasi ahli di sebuah situs kesehatan.

Sekitar setengah jam kemudian, sebuah jawaban muncul, “Oh, mungkin Anda menderita asam urat. Coba beli obat ini... bla-bla… minum dengan dosis bla-bla-bla.... Obatnya bisa dibeli bebas kok.”

Di dunia maya, apa pun bisa ditanyakan melalui Mbah Google. Semua pertanyaan seputar dunia kedokteran, nyaris selalu ada jawabannya. Begitu mudahnya kita memasuki sebuah situs, lantas menanyakan apa pun perihal gangguan kesehatan yang kita alami.

Tinggal duduk di depan komputer yang tersambung ke internet, masalah pun terjawab. Situs kesehatan pun banyak yang mempekerjakan dokter atau tenaga kesehatan – dan kadang murah hati membagi informasi.

Efek positifnya, informasi kesehatan makin merata. Wawasan kesehatan konsumen, dalam hal ini pasien, juga meningkat dan meluas. Mereka juga tidak perlu langsung berobat ke dokter.

Bagi para dokter, mereka jadi terbantu dengan adanya pasien-pasien yang pintar ini. Bahasa yang dipakai dokter kini banyak dimengerti pasien. Kalaupun pasien tidak mengerti, mereka bisa berselancar di internet untuk mencarinya.

Perlu tatap muka dengan dokter

Namun, kebebasan informasi di dunia kedokteran itu ternyata juga bisa merugikan. Kok bisa? Akibat makin bebasnya informasi, pasien jadi cenderung malas ke tempat praktik dokter. Mereka merasa sudah sembuh dengan berbekal obat “bocoran” dari internet yang ia beli bebas.

“Dokter itu tugasnya menyembuhkan orang dari sakitnya, dan ada ilmunya untuk itu. Untuk dapat menyembuhkan pasien, dokter perlu memeriksa pasien untuk menentukan diagnosis medis, kemudian memberikan obat atau terapi untuk menyembuhkan penyakit pasien,” kata dr. Erik Tapan, MHA., Konsultan Anti-Aging pada Klinik Anti- Aging & Estetik L’Melia, Jakarta.

Pemeriksaan oleh dokter di tempat praktik harus melewati empat tahapan secara sistematis dari kepala hingga jari kaki untuk menentukan diagnosis kerja, yaitu: inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi.

Tahapan inspeksi adalah tahapan pemeriksaan dengan cara melihat bagian tubuh pasien melalui pengamatan. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi ukuran tubuh, bentuk, posisi, serta simetris tidaknya.

Pemeriksaan ini juga memerlukan perbandingan hasil normal dan abnormal bagian tubuh yang satu dengan bagian tubuh lain.

Tahap auskultasi adalah pemeriksaan fisik oleh dokter dengan cara mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh pasien. Biasanya dengan stetoskop. Hal-hal yang sering didengarkan suaranya untuk memperoleh informasi adalah jantung, suara paru-paru, dan bisingnya usus.

Tahapan selanjutnya adalah palpasi, yaitu metode pemeriksaan dokter dengan menggunakan tangan dan jari-jari untuk mengumpulkan data, seperti temperatur, turgor (elastisitas kulit), bentuk, kelembapan, vibrasi, ukuran, atau letak sesuatu.

Dan tahap terakhir adalah perkusi, yaitu pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri-kanan) dengan tujuan menghasilkan suara. Perkusi ini untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk, dan konsistensi jaringan.

Keempat tahapan tadi dilakukan dokter untuk menentukan diagnosis kerja. Jika dengan diagnosis kerja saja sudah cukup, dokter akan memberikan tata laksana penyakit, apakah akan diberikan obat atau cukup dengan terapi.

Namun, jika diperlukan, pemeriksaan laboratorium pun harus dilakukan untuk penentuandiagnosis, bahkan bisa dibilang untuk melengkapi diagnosis tersebut.

“Nah, kalau secara online, apa yang dilakukan dokter? Dokter tidak melakukan keempat tahap tadi, kan?” sentil Erik, yang di awal kehadiran internet dulu menyebut diri sebagai Dokter Internet.

Pada konsultasi online, dokter hanya sebatas berkomunikasi dengan pasien. Tidak melakukan proses pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Akibatnya, diagnosisnya bisa saja tidak tepat, dan terapi yang dianjurkan pun bisa tidak sesuai.

Konsultasi secara online hanya bersifat ngobrol, komunikasi dua arah antara pasien dengan dokternya melalui dunia maya perihal penyakit yang biasanya diderita oleh pasien. Atau penyakit sederhana, penyakit ringan seperti flu. Dokter yang menjawab melalui online, pasti sebisa mungkin menyarankan pasien untuk bertemu langsung agar bisa ditentukan diagnosis medisnya.

Konsultasi antara pasien dengan dokter secara online, selain hanya bersifat konsultasi, tidak bisa menetapkan diagnosis. Dokter juga tidak dapat meresepkan obat sebagai terapinya. Kalau pun bisa dikirimkan melalui email, bagaimana mungkin dokter memberikan resep jika diagnosis penyakitnya saja tidak ditemukan?

Layanan kesehatan online “abal-abal”

“Pasien sebenarnya bisa memanfaatkan konsultasi dengan dokter secara online untuk second opinion, misalnya,” jelas Erik. Pendapat kedua dari dokter ini tentu harus dibantu dengan hasil-hasil dari pemeriksaan oleh dokter pertama dan sejumlah pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, USG, EKG, CT Scan, dll.

Akan lebih baik lagi jika pemanfaatan layanan kesehatan atau dokter online ini digunakan oleh dokter ke dokter lain yang lebih mumpuni di bidangnya.

Misalnya, seorang dokter umum di daerah yang memerlukan opini dari dokter spesialis di kota besar untuk penyakit dari salah seorang pasiennya. Nah, berdasarkan hasil diagnosis dan pemeriksaan penunjang itulah, maka dokter di pusat dapat memberikan opininya untuk membantu dokter di daerah tadi.

Layanan kesehatan online pun bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat. Kini, berbagai tulisan tentang kesehatan dapat dibuka hanya dengan sekali klik saja.

Namun, dengan segala keterbukaan dan begitu mudahnya kita mencari informasi bukan berarti penyakit yang kita derita sama dengan penyakit orang lain, meski gejalanya yang sama. Tidak bisa pula dengan gejala yang sama, lantas pasien menebus resep dokter yang tertera di sebuah website.

Seperti kasus pada awal tulisan ini, untunglah si pasien bertanya kepada temannya yang biasa berurusan dengan kesehatan, meski bukan tenaga medis. Temannya menyarankan agar si pasien bertemu langsung dengan dokter, dan tidak membeli obat yang sudah diresepkan dokter lewat konsultasi online tadi.

Benar saja, ternyata si pasien tidak menderita asam urat, tetapi carpal tunnel, biasa terjadi karena salah posisi menggunakan mouse ketika bekerja menggunakan komputer.

Bagaimana pasien anak-anak? Sama saja. Meski gejalanya sama-sama panas, diagnosis medisnya belum tentu serupa. Demikian juga obat yang diresepkan. Kalau orangtua malas ke dokter dan sekadar mempercayai konsultasi dokter secara online, bisa-bisa anaknya overdosis obat.

Kita boleh-boleh saja mencari pengetahuan kesehatan melalui online. Tapi apakah kita tahu bahwa situs yang kita buka itu benar-benar kredibel untuk menjawab pertanyaan kita?

Sebaiknya cari situs yang dapat dipercaya. Misalnya website rumah sakit terpercaya, atau website dokter beneran, bukan dokter abal-abal.

“Saya dokter, tapi siapa yang tahu kalau saya beneran dokter? Bila ternyata dokter menipu, bagaimana? Makanya orang harus bertemu langsung dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis medis, setelah itu ditentukan penatalaksanaan penyakit dari hasil diagnosis tadi,” kata dr. Erik mengakhiri perbincangan.

Harus ada HONcode-nya

Edukasi kesehatan melalui dunia maya memang baik, tetapi sebaiknya memilih hal-hal tertentu saja untuk ditampilkan secara online.

Para dokter yang menjawab konsultasi secara online sebaiknya juga memotivasi pasien untuk memeriksakan diri ke dokter agar memperoleh diagnosis dan terapi yang sesuai.

Dokter sebaiknya tidak mencantumkan resep atau memberikan obat lengkap dengan nama dan dosisnya kepada pasien melalui online, karena itu mudah diakses oleh semua orang.

Sementara tidak semua orang bisa menggunakan obat yang diresepkan meskipun memiliki diagnosis yang sama.

Nah, jika kita ingin mengetahui apakah sebuah website benar-benar menampilkan informasi medis yang bisa dipercaya dan resmi, selain artikel kesehatan dari rumah sakit terpercaya, cobalah mencari situs dengan HONcode.

HONcode adalah kode yang dikeluarkan oleh Health On the Net Foundation untuk membantu menstandarisasi informasi kesehatan dan medis yang bisa dipercaya dan tersedia di World-Wide Web (www).

Misi Health On the Net adalah untuk membimbing para pengguna situs non-medis dan praktisi medis agar informasi kesehatan dan medis online bisa dipercaya dan bermanfaat.

HONcode bukanlah sistem penghargaan, juga tidak bermaksud untuk menilai kualitas informasi yang diberikan oleh sebuah situs.

HONcode mendefinisikan sekumpulan aturan untuk menjaga standar etika para pengembang website dalam penyajian informasi, serta membantu memastikan para pembaca selalu mengetahui sumber dan tujuan dari data yang disediakan.

HONcode ini berlaku untuk seluruh situs kesehatan sedunia. Siapa pun yang merasa website kesehatannya kredibel bisa mendapatkan kode ini, cukup kunjungi di situs www.hon.ch.

Tentu saja ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Sertifikasi HONcode untuk tahun pertama diberikan secara cuma-cuma, untuk selanjutnya biaya keanggotaan tahunan tergantung pada jenis dan ukuran website.

(Artikel ini pernah dimuat di majalahIntisari edisi November 2014)

Artikel Terkait