Find Us On Social Media :

Ternyata Merah Putih Sudah Berkibar Sejak Masa Kerajaan Mataram dengan Sebutan Gula Kelapa, Ini Maksudnya

By Ade Sulaeman, Jumat, 17 Agustus 2018 | 09:30 WIB

Intisari-Online.com – Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa warna kebangsaan Merah Putih telah dikibarkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

la timbul-tenggelam bersama zaman dan dalam masa Kerajaan Mataram dikenal sebagai Gula Kelapa.

--

Dalam tahun 1292, Kerajaan Singasari di bawah Kertanagara mencapai puncak kejayaannya, tetapi di samping itu juga menjelang kehancurannya.

Baca juga: Mahasiswa Papua Bentrok dengan Ormas karena Tolak Pasang Bendera: Benarkah Kita Wajib Pasang Bendera?

Raja Jayakatwang dari Kediri, mungkin keturunan Raja Kediri yang dulu pernah ditaklukkan oleh Singasari, melancarkan pemberontakan untuk merebut kembali kekuasaan nenek-moyangnya.

Jayakatwang mengirimkan sepasukan tentaranya dengan panji-panji berkibar dan diiringi gamelan ke arah utara Gunung Penanggungan, ke jurusan keraton Singasari.

Pasukan yang lebih besar dan kuat, diam-diam bergerak di sebelah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang nantinya akan menyerang Singasari yang hampir tak dipertahankan, karena semua tentara terbaik telah dikirimkan ke arah Penanggungan untuk menyambut musuh.

Tentara Singasari yang menghadapi pemberontak itu dipimpin oleh Raden Wijaya, kemenakan dan menantu raja sendiri, dibantu oleh Ardaraja, putra ... Jayakatwang!

Baca juga: Program DP 0% Meluas, Sebentar Lagi Beli Mobil dan Motor Tak Perlu Uang Muka

Sebagai raja besar, agaknya Kertanegara menganggap remeh pemberontakan Raja Kediri itu. Tidak mengherankan jika Ardaraja melarikan diri setelah melihat musuh, yang sebenarnya tentara ayahnya sendiri.

Peristiwa ini tercatat dalam sebuah prasasti di atas lempengan perunggu. Prasasti ini yang disebut Prasasti Kudadu, dibuat oleh Raden Wijaya setelah berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit dan memberikan ganjaran kepada desa Kudadu yang pernah membantunya.

Catatan sejarah itu baru ditemukan kembali pada tahun 1790 di Gunung Butak, sebelah selatan Surabaya, antaranya menyebutkan:  “... demikianlah keadaannya ketika tentara Sri Maharaja (Raden Wijaya, red.) bergerak terus sampai ke Rabut Carat, tak lama setelah itu datanglah musuh dari arah barat.