Penulis
Intisari-Online.com –Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa warna kebangsaan Merah Putih telah dikibarkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
la timbul-tenggelam bersama zaman dan dalam masa Kerajaan Mataram dikenal sebagai Gula Kelapa.
--
Dalam tahun 1292, Kerajaan Singasari di bawah Kertanagara mencapai puncak kejayaannya, tetapi di samping itu juga menjelang kehancurannya.
Raja Jayakatwang dari Kediri, mungkin keturunan Raja Kediri yang dulu pernah ditaklukkan oleh Singasari, melancarkan pemberontakan untuk merebut kembali kekuasaan nenek-moyangnya.
Jayakatwang mengirimkan sepasukan tentaranya dengan panji-panji berkibar dan diiringi gamelan ke arah utara Gunung Penanggungan, ke jurusan keraton Singasari.
Pasukan yang lebih besar dan kuat, diam-diam bergerak di sebelah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang nantinya akan menyerang Singasari yang hampir tak dipertahankan, karena semua tentara terbaik telah dikirimkan ke arah Penanggungan untuk menyambut musuh.
Tentara Singasari yang menghadapi pemberontak itu dipimpin oleh Raden Wijaya, kemenakan dan menantu raja sendiri, dibantu oleh Ardaraja, putra ... Jayakatwang!
Baca juga:Program DP 0% Meluas, Sebentar Lagi Beli Mobil dan Motor Tak Perlu Uang Muka
Sebagai raja besar, agaknya Kertanegara menganggap remeh pemberontakan Raja Kediri itu. Tidak mengherankan jika Ardaraja melarikan diri setelah melihat musuh, yang sebenarnya tentara ayahnya sendiri.
Peristiwa ini tercatat dalam sebuah prasasti di atas lempengan perunggu. Prasasti ini yang disebut Prasasti Kudadu, dibuat oleh Raden Wijaya setelah berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit dan memberikan ganjaran kepada desa Kudadu yang pernah membantunya.
Catatan sejarah itu baru ditemukan kembali pada tahun 1790 di Gunung Butak, sebelah selatan Surabaya, antaranya menyebutkan: “... demikianlah keadaannya ketika tentara Sri Maharaja (Raden Wijaya, red.) bergerak terus sampai ke Rabut Carat, tak lama setelah itu datanglah musuh dari arah barat.
Ketika itu juga Sri Maharaja bertempur dengan segala balatentaranya dan musuh pun lari tunggang-langgang, setelah mengalami kekalahan besar.
Baca juga:Pangkalan Militer AS di Turki, Dulu Bikin Senang Sekarang Malah Jadi Bumerang
Tetapi dalam keadaan demikian, di sebelah timur Hanyiru nampak panji-panji musuh berkibar-kibar, warnanya merah dan putih. Melihat itu sang Ardaraja meninggalkan pertempuran, berlaku hina dan lari menuju ke Kapundungan …."
Begitulah kisah sejarah tentang dikibarkannya panji-panji berwarna merah putih di medan pertempuran pada akhir zaman Singasari, hampir tujuh ratus tahun yang lalu.
Gula Kelapa
Sekalipun tiada catatan sejarah yang jelas, agaknya warna merah putih itu masih berlangsung penggunaannya dalam abad-abad berikutnya atau mungkin kalau tidak dipakai, setidak-tidaknya terpendam dalam alam sadar bersama, sebab bukankah ia muncul lagi sebagai bendera dalam Kerajaan Mataram sebagai Gula Kelapa?
Konon bendera Gula Kelapa (Gula= merah, Kelapa= putih) ada beberapa versi, tetapi menggunakan warna merah dan putih. Salah satu bentuknya masih tersimpan sebagai pusaka dalam keraton Surakarta, sebagai bendera Kyai Ageng Tarub yang dasarnya putih dengan tulisan Arab-Jawa dan atasnya bergaris merah.
Merah putih kembali berkibar sebagai bendera perjuangan melawan penjajahan waktu berkecamuknya Perang Diponegoro (1825-1830). Ketika Pangeran Diponegoro meninggalkan tempat kediamannya di Tegalrejo, di sebelah barat laut Yogyakarta.
Di tengah perjalanan Pangeran berkata kepada Mangkubumi: "Paman, lihatlah rumah dan mesjid sedang dibakar, api merah menyala-nyala ke atas langit. Kini kita tak berumah lagi di dunia."
Sesudah melihat ke arah Tegalrejo, ia memandang lagi ke arah Selarong, tempat rakyat mengibarkan bendera Merah Putih.
Saat itu Diponegoro mengucapkan kata-kata yang masyhur kepada seorang istrinya yang bernama Ratnaningsih: "Perang telah mulai. Kita akan pindah ke Selarong. Pergilah Adinda ke sana dan berikanlah segala intan permata dan emas-perakmu kepada rakyat yang mengikuti kita."
Perang Diponegoro akhirnya dimenangkan oleh pihak penjajah dalam tahun 1830. Sang Merah Putih tidak berkibar lagi.
Dengan kesadaran sejarah, para mahasiswa Indonesia yang mendirikan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada tahun 1920, memilih panji perkumpulan "Merah Putih Kepala Kerbau". Majalah perhimpunan bernamaIndonesia Merdeka.
Kemudian ketika Ir. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia dalam tahun 1927, bendera organisasi ialah Merah Putih yang dihiasi dengan kepala banteng.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda bernaung di bawah bendera Merah Putih untuk mengukuhkan kelahiran suatu bangsa yang bulat bersatu dengan satu bahasa persatuan dan satu tanah air.
Pada hari itu juga untuk pertama kalinya dipagelarkan lagu Indonesia Raya, yang sekarang menjadi lagu kebangsaan kita.
Merah Putih dihiasi dengan lambang garuda terbang, kemudian lambang garuda itu dipindahkan menjadi lambang tersendiri, sehingga tinggallah bendera berwarna merah putih saja.
Panjangnya 3 m, lebarnya 2 m
Berakhirnya riwayat Pemerintah Hindia Be}anda dan mendaratnya tentara Jepang pada tahun 1942 disambut oleh rakyat dengan kibaran bendera Merah Putih di sana-sini. Tak lama kemudian pemerintah pendudukan Jepang melarangnya.
Yang boleh dikibarkan hanya bendera penguasa, yakni Hinomaru. Baru pada tahun 1944, ketika merasa bahwa perang tidak akan bisa dimenangkan lagi, Jepang melonggarkan larangan itu.
Akhir tahun itu sebuah panitia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara ditugaskan untuk meneliti bendera dan lagu kebangsaan. Panitia itu menghasilkan beberapa keputusan mengenai penetapan arti dan ukuran bendera kebangsaan itu.
Bendera Merah Putih harus berukuran panjang 3m, lebar 2m. Mengenai maknanya: Merah artinya berani, Putih artinya suci.
Akhirnya Merah Putih yang telah berusia berabad-abad itu dikukuhkan menjadi bendera nasional kita dalam UUD 1945 pasal 35: "Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih." (Bahan dari: 6.000 Tahun Sang Merah Putih)
(Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Agustus 1982)
Baca juga:Kisah Haru Anak Penjual Lontong yang Dilantik Jokowi Menjadi Paskibraka 2018