Penulis
Intisari-online.com - Ketika pada 15 Agustus 1945 secara resmi Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, langsung terjadi perubahan besar di Indonesia.
Indonesia yang sudah 3 tahun dijajah Jepang (1942-1945), otomatis menjadi negara yang ‘bebas’ meski belum secara resmi bisa merayakan kemerdekaannya.
Jepang sendiri menjadi bingung dengan keberadaannya di Indonesia tapi cenderung mematuhi Sekutu untuk tetap mengamankan Indonesia sambil menunggu pasukan Sekutu masuk untuk mengambil alih kekuasaan.
Tapi di mata organisasi-organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, menyerahnya Jepang kepada Sekutu itu justru dianggap sebagai kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.
Akan tetapi demi mempersiapkan kemerdekaan untuk Indonesia, Jepang sendiri telah membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pada tanggal 16 Agustus 1945 akan mengadakan rapat yang dipimpin Soekarno untuk mempersiapkan kemerdekaan RI.
Baca juga:Kisah Lusinan Surat Bung Karno yang Punya Peran Vital dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Masih adanya campur tangan Jepang itu membuat para tokoh muda seperti Sutan Syahrir, Sukarni dan Chaerul Saleh berencana menculik Bung karno.
Tujuannya adalah untuk mengamankannya di suatu tempat agar sepak terjang Bung Karno tidak dipengaruhi oleh Jepang.
Selain menculik Bung Karno, para pemuda pimpinan Sukarni ternyata berencana melakukan pemberontakan untuk menguasai Jakarta dari tangan Jepang.
Tapi jika pemberontakan untuk menguasai Jakarta dan melumpuhkan pasukan Jepang itu gagal, para pemuda dari kelompok pemberontak pasti dihukum mati oleh Jepang.
Bahkan Bung Karno yang dijadikan pemimpin oleh para pemuda pemberontak juga ikut dihukum mati jika aksi pemberontakan berakhir dengan kegagalan.
Baca juga:Pernyataan Cinta Lewat Rayuan Maut Bung Karno kepada Fatmawati
Demi mengamankan Bung Karno dari pengaruh Jepang sekaligus menyembunyikan Bung Karno jika pembrontakan gagal, para pemuda di bawah pimpinan Sukarni yang dibantu anggota PETA (Pembela Tanah AIR) kemudian menculik Bung Karno dan Bung Hatta pada 16 Agustus 1945 dini hari.
Aksi penculikan itu sebenarnya bukan membawa Bung Karno di bawah todongan senjata tapi upaya membawa Bung Karno dan istrinya, Fatmawati serta anaknya Guntur yang masih bayi secara diam-diam agar tidak diketahui militer Jepang.
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan, para penculik termasuk Bung Karno mengenakan seragam militer PETA.
Bung Karno sendiri telah disediakan seragam PETA dan dengan dongkol berusaha memakainya karena ukurannya terlalu kekecilan.
Merasa konyol karena mengenakan seragam PETA yang terlalu kekecilan, Bung Karno langsung menilai bahwa tindakan Sukarni dan rekan-rekannya yang diklaim merupakan tindakan revolusioner itu, jelas-jelas tanpa perencanaan yang baik.
Baca juga:Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Bung Karno bersama rombongan yang keluar rumah untuk menuju ke dua mobil yang sudah menunggunya, sempat melihat Bung Hatta di satu mobil lainnya dengan wajah jemu sekaligus kesal.
Bung Karno dan Bung Hatta kemudian dibawa ke Rengasdengklok, Kerawang, karena di daerah itu sudah tidak ada pengawasan dari Jepang.
Dalam perjalanan setelah melewati daerah Bogor, rombongan sempat berhenti karena Fatmawati harus menyusui Guntur yang masih berusia sekitar 9 bulan.
Rombongan penculik yang kemudian mengganti kendaraan dengan truk tua yang biasa digunakan untuk mengangkut prajurit PETA akhirnya tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 09.00 pagi.
Namun tindakan penculikan Bung Karno dan Bung Hatta yang dilakukan para pemuda akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.
Pasalnya, pemberontakan dan aksi revolusi seperti dikatakan oleh Sukarni tidak pernah terjadi.
Tanggal 16 Agustus pagi 1945, Jakarta bahkan geger karena Bung Karno yang seharusnya memimpin rapat PPKI ternyata menghilang.
Berita tentang penculikan Bung Karno pun menyebar dan semua pihak, termasuk tentara Jepang, berusaha melakukan pencarian.
Berkat informasi rahasia dari seorang pemuda yang turut menculik Bung Karno, Bung Karno dan rombongan lalu dijemput ke Jakarta pada pukul 18.00 petang.
Penjempunya adalah Ahmad Subarjo, orang yang sudah dikenal Bung Karno saat berada di tempat pengasingannya di Bengkulu.
Ia datang menggunakan mobil jenis Skoda buatan Chekoslovakia yang reot dan mesinnya berbunyi menciut-ciut.
Malam harinya setiba di Jakarta, Bung Karno kembali bekerja keras.
Karena esoknya harus membacakan teks proklamasi yang juga harus dibuat pada malam itu juga.
Baca juga:Kisah Jatuhnya Air Mata Fatmawati di Atas Bendera Pusaka yang Sedang Dijahitnya
(Sumber : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, Media Pressindo, 2014).