Penulis
Intisari-Online.com – Namanya mungkin tidak dikenal di Indonesia, tetapi pengalamannya mengerikan seperti dalam buku Kepulauan Gulag karya Solzhenitsyn. Bedanya bahwa mimpi buruk itu berakhir dengan happy end seperti dalam dongeng: Mereka menikah dan hidup bahagia selama-lamanya.
Tulisan yang dibuat oleh Lutz Bindernagel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1983 dengan judul asli Berkat Sajak Ia Dibebaskan dari Penjara Castro.
Armando Valladarcs rupanya seperti seseorang yang ditembakkan dari abad ke-16 menuju Champs-Elysees zaman sekarang. Menu yang dibacakan oleh pelayan berjas panjang tak bias ditangkapnya.
Pada waktu hendak menyuap makanan pertama, ia tertegun sejenak, “Saya terbiasa makan makanan dingin. Selama 22 tahun, saya tak pernah mendapat makanan hangat.”
Baca juga: Marita Lorenz, Mata-mata Jerman yang Menjadi Pacar Castro
Setengah dari usia Armando Valladares, penyair Kuba yang berumur 45 tahun, dihabiskannya di Penjara Fidel Castro. Yang menyelamatkan dirinya hingga bisa keluar dari situ adalah sajaknya.
Berkat perhatian internasional dank arena pembelaan presiden Prancis, ia dibebaskan pada akhir bulan Oktober 1982.
Kini, berkat desakan Prancis juga, adik wanita dan iparnya diperbolehkan meninggalkan Negara komunis itu. Kendati penasihat Presiden Franqois Mitterrand untuk urusan Amerika Latin, Reges Debray, keberatan atas dasar pertimbangan diplomatis, Valladares mulai saat ini tak merasa punya alasan untuk tutup mulut.
Dengan berapi-api, tapi tetap bersikap dingin, ia menceritakan, seberapa jauh revolusi Castro telah menginjak-injak idealism yang dipropagandakannya. "Diktator komunis di Kuba bisa bertahan dengan bantuan tank, bayonet dari teror polisi politik.
Tak ada lagi kebebasan bangsa. Kalau mau hidup dari kartu jatah makanan saja, bisa-bisa kelaparan. Regu tembak belum berhenti melakukan pekerjaan berdarahnya. Ribuan tahanan kelaparan di kamp-kamp konsentrasi," katanya.
Menurut Valladares, ketika gerilyawan Castro, berhasil mengusir diktator Batista pada tahun 1959, hampir semua orang Kuba menggantungkan harapan besar kepada revolusi yang baru terjadi itu.
Valladares yang waktu itu berusia 22 tahun, bekerja di kementerian pos. Namun kemudian ia melihat hal yang tak beres. "Makin banyak pos-pos pemerintahan diduduki orang komunis yang membentuk kediktatoran baru. Dalam rapat di kantor, saya melakukan protes," cerita Valladares.
Dijadikan kelinci percobaan
Baca juga: Dicoba Dibunuh 600-an Kali, Fidel Castro Tetap Lolos
Pada malam tanggal 28 Desember 1960, Valladares diciduk dari tempat tidurnya, "Padahal mereka tak menemukan bukti kejahatan sedikit pun pada saya, baik itu berupa senjata maupun bahan-bahan propaganda. Namun petugas polisi politik yakin bahwa saya adalah musuh revolusi," kenangnya.
Tiga minggu kemudian, Valladares dijatuhi hukuman tiga puluh tahun penjara oleh pengadilan revolusi dalam suatu sidang kilat, tanpa adanya bukti-bukti. Itulah awal sebuah penderitaan yang dilaluinya dalam Gulag tropik yang terburuk.
Kini, Valladares menceritakan segala hal yang belum pernah diutarakan sebelum keluarganya dibebaskan. "Bertahun-tahun, saya dipukul dan disiksa secara sistematis," kisahnya. Di kepalanya yang berambut pendek hitam masih bisa diraba bekas luka pukulan tongkat dan gagang besi.
Dengan tendangan, pukulan dan hunusan bayonet, ia disuruh menghancurkan batu atau pergi ke ladang. Peristiwa itu waktu ia berada di penjara yang pertama, yakni di Pulau Pinus, di seberang pantai selatan Kuba.
Baca juga:Fidel Castro: Revolusinya Belum Mati-mati!
Kebrutalan yang paling hebat adalah saat para petugas penjara memukul para tahanan dengan gagang senapan supaya masuk ke sebuah lubang penampungan air yang hitam, karena di situ penuh kotoran manusia. Dengan lemparan batu, mereka memaksa korban mereka untuk menyelam di air seperti itu.
Keadaan yang lebih buruk lagi terjadi di Penjara Boniato, di sebelah timur Kuba. Di situ, Valladares dimasukkan ke sel yang gelap selama satu setengah tahun. "Lempengan logam menutupi jendela dan pintu rapat-rapat. Sel itu kecil, berukuran tiga kali satu setengah meter.
Udara hanya masuk lewat sebuah lubang sebesar gagang pensil. Kalau matahari menyinari lempengan logam pada jendela, udara dalam sel panas seperti tungku," cerita Valladares, "Saya cuma bisa meringkuk di pojokan, dekat sebuah lubang yang berfungsi sebagai WC. Tempat itu banyak cacingnya."
Kalau sekali waktu pintu sel dibuka, masuklah empat atau lima prang sambil meninju, memukul dengan tongkat atau rantai secara membabi buta terhadap para tahanan.
Baca juga:Dianggap Terlalu Berani Menentang AS, Kuba di Bawah Castro Justru Ukir Banyak Prestasi Mengagumkan
Para dokter berkebangsaan Rusia, Jerman Timur, Cekoslowakia dan Kuba; sama sekali tidak memperhatikan kesehatan para tahanan. "Mereka malahan melakukan percobaan untuk mengetahui reaksi kekurangan hidrat arang akibat pemberian makanan yang minim dan murah, seperti makaroni, mi kuah dan roti. Percobaan baru dihentikan kalau salah satu dari tiga tahanan meninggal," katanya.
Nasib Valladares tidak juga membaik, meskipun ia dipindahkan ke Havana, di sebuah penjara yang tadinya merupakan benteng Spanyol, La Cabana, yang berusia dua ratus tahun. Paling sedikit bersama-sama 150 tahanan lainnya, ia ditaruh di ruang bawah tanah yang gelap. Dengan bertelanjang dada, mereka dipaksa tidur di ruangan becek.
"Kami adalah kaum pemberontak," kata Valladares, "Karena kami dengan keras kepala menolak untuk dididik kembali." Menurut perkiraan Valladares, ada kira-kira 330 tahanan lagi di penjara Kuba dari masa awal pemerintahan Castro.
"Siang malam, teror dan pukulan menghantam kami untuk melumerkan ide politik kami," kisahnya.
Baca juga: Dianggap Terlalu Berani Menentang AS, Kuba di Bawah Castro Justru Ukir Banyak Prestasi Mengagumkan
Ketemu "Penelope" yang setia
"Pada tahun 1974, saya tinggal mengatakan, bahwa kritik saya terhadap rezim Castro tidak benar, kalau saya hendak dibebaskan. Namun pengakuan semacam itu betul-betul merusak jiwa manusia.
Bagi mental saya, lebih baik kalau saya bisa terus terang mengatakan kejahatan para penjaga. Apa lagi yang akan terjadi pada diri saya? Sejauh ini, saya bahkan merasa lebih bebas daripada orang-orang Kuba yang berada di luar penjara, yang harus berputar-putar,'" ceritanya.
Dinas keamanan Kuba menghukum para pembangkang secara brutal. Mulai bulan Juni 1974, Valladares dan teman-teman seperjuangannya selama 46 hari tidak diberi makanan apa pun kecuali air.
Baca juga: Saat Fidel Castro Terperangah Melihat Tongkat Bung Karno
Kejadian itu berlangsung di Penjara Cabana. Akibat perlakuan itu, timbangan Valladares tinggal 45 kilogram dan ia tak bisa berjalan. Kekurangan makanan menyebabkan sarafnya meradang, hingga melumpuhkan kakinya. Namun ia tak menyerah, meski harus duduk di kursi roda.
"Saya jadi penyair di penjara," kata Valladares. Dalam bentuk sajak, ia menceritakan tentang mimpi buruk terali besi, darah dan bayonet.
Namun ia juga mengungkapkan keyakinannya akan tibanya masa depan yang cerah, "Suatu hari nanti, di kursi roda saya akan tumbuh sayap dan saya akan terbang melintasi kebun-kebun yang penuh anak-anak dan bunga-bunga viola."
Ketika petugas pengawasnya merampas chrom air raksa yang digunakan sebagai tinta penulis syairnya, maka ia pun menulis syair dengan tetesan darahnya.
Baca juga: Inilah 5 Kegagalan Amerika Membunuh Fidel Castro
"Semua milik saya telah mereka rampas, hampir semuanya. Yang tinggal pada diri saya hanya senyum dan kebanggaan, bahwa saya merasa bebas," kata Valladares.
Menurut Valladares, kekuatannya berasal dari kepercayaannya kepada Tuhan yang tak kunjung padam dan cinta istrinya. "Ia telah menanti saya selama 21 tahun, lebih lama daripada penantian Penelope terhadap Odysseus,” cerita Valladares.
Selama ia ditahan di Pulau Pinus, ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Marta yang waktu itu baru berusia empat belas tahun. Gadis itu mengunjungi ayahnya yang juga ditahan. "Namun sejak saat itu, saya tahu bahwa kelak saya akan menikah dengannya," kisahnya.
Hanya dua belas kali mereka berbicara dengan dipisahkan terali besi selama sembilan tahun, sebelumnya mereka menikah di depan catatan sipil di penjara pada tahun 1969.
Baca juga: Mantan Presiden Kuba Fidel Castro Meninggal Dunia pada Usia 90 Tahun
Setelah upacara pernikahan yang cuma memakan waktu 15 menit, yang berwajib melarang pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya. Tiga tahun kemudian, pemerintah Kuba mengizinkan istri yang masih muda itu beremigrasi ke Miami, Amerika Serikat.
Di situ, Marta menyebarkan syair yang ditulis Armando pada kertas rokok dan surat kabar Partai Granma yang sudah kumal.
Armando berhasil menyelundupkan syair itu ke luar penjara. Istrinya menerbitkannya dengan judul: "Di atas kursi rodaku".
Tanpa kenal lelah, Marta memobilisir Amnesti Internasional, organisasi bantuan untuk para tahanan, politik, para politikus dan penulis untuk membebaskan suaminya.
Bulan madu ke Disneyland
Castro tidak mau mengalah begitu saja dalam "duel" dengan penyair itu. "Selama berminggu-minggu, saudara perempuan saya diperiksa dan diancam untuk Dimasukkan penjara," cerita Valladares,
"Tiga orang polisi politik memaksa keluarga saya. Saudara perempuan saya harus menulis surat kepada Marta di Miami, supaya ia menghentikan propagandanya. Sedangkan ibu saya yang berusia Iebih dari tujuh puluh tahun dipaksa mereka untuk menulis surat kepada Amnesti Iriternasional antara lain juga ke Jerman, dan mengatakan bahwa saya dalam keadaan baik-baik saja."
Valladares sendiri yang waktu itu dirawat di rumah sakit, kemudian dipindahkan ke sel penjara istimewa "Gabungan negara-negara Timur" yang terletak di Havana. Selama satu setengah tahun, ia terasing dari dunia luar, sampai-sampai istrinya berkata, "Saya sangka, mereka telah membunuhnya."
Baca juga: Kutipan-kutipan Fidel Castro yang Paling Dikenang
Awal tahun 1982, perlakuan terhadap Valladares di penjara makin membaik dari hari ke hari.
"Tiba-tiba saja, saya memperoleh makan siang dan makan malam dengan menu, ayam dan seliter susu setiap hari. Saya dimasukkan ke dalam sel yang Iebih luas dan ada barnya (pipa pegangan terbuat dari besi) sebagai alat untuk saya berlatih jalan," kata Valladares.
Rupanya permohonan pengampunan yang diajukan presiden Prancis dari partai sosialis, Mitterrand, telah didengar oleh Castro.
Tentu saja Valladares harus menunggu beberapa bulan sebelum pembebasannya, sampai para dokter bisa membuat kakinya yang lumpuh akibat siksaan bisa berfungsi dengan bajk kembali.
Tiga belas tahun telah berlalu, sejak pernikahan Valladares dan Marta di catatan sipil penjara. Kini mereka bertemu kembali di Paris, setelah dipisahkan sehabis menikah. Karena mereka baru menikah di catatan sipil, mereka tidur terpisah.
Namun di Miami, mereka melakukan upacara pernikahan sekali lagi di hadapan pendeta.
Bulan madu Armando dan Marta Valladares dihabiskan di Disneyland.
Baca juga: Guantanamo, Penjara CIA di Kuba yang Penuh Horor dan Bikin Musuh Bebuyutan AS Tak Bisa Berkutik