Penulis
Intisari-Online.com - Konflik di Suriah yang dipicu oleh perang saudara selama 6 tahun makin bertambahrunyam. Pemerintah resmi Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al Assad memang masih eksis. Tapi para pemberontak Suriah terus menyerang pasukan pemerintah yang dibantu oleh Rusia.
Demi memperkuatdaya gempur, para milisi pemberontak mau tak mau bergabung dengan pasukan ISIS yang juga menginginkan tumbangnya rezim Bashar al Assad.
Militer AS yang juga telah bertempur untuk menggempur milisi ISIS baik yang berada di Irak maupun Suriah, sebenarnya terpaksa melancarkan peperangan setengah hati.Karena AS juga menginginkan tumbangnya kekuasaan Presiden Bashar al Assad.
(Baca juga:Mannequin Challenge di Tengah Gempuran Peluru dan Bom di Suriah)
Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya yang sah, Bashar al Assad memperlakukan para pemberontak yang sebenarnya rakyatnya sendiri dengan brutal. Perang saudara memang cenderung lebih brutal dibandingkan peperangan negara lawan negara karena saling dipenuhi unsur balas dendam.
Jika berhasil menawan pasukan pemberontak, pasukan pemerintah cenderung melakukan pembantaian. Demikian juga sebaliknya, pasukan pemberontak juga melakukan pembantaian jika berhasil menawan pasukan pemerintah.
Atas unsur saling balas dendam itu maka pertempuran yang berlangsung juga jadi makin brutal dan tanpa aturan.
Perang brutal yang tanpa aturan itu menjadi makin mematikan ketika salah satu pihak menggunakan senjata pemusnah massal. Seperti bom gas sarin yang telah digunakan di propinsi Idlib. Akibatnya lebih dari 70 orang tewas dan 10 di antaranya anak-anak.
(Melalui Twitter, Gadis Suriah Tujuh Tahun Menceritakan Kisah Pilunya di Aleppo)
Melalui Konvesni Jenewa, penggunaan bom saraf dalam perang sebenarnya sudah dilarang. Tapi bom saraf yang sebenarnya merupakan ‘’bom nuklir primitif’’ itu tetap saja diproduksi dan digunakan dalam peperangan seperti di Suriah.
Di Irak semasa kepemimpinan Saddam Hussein (1988), pasukannya juga pernah menggunakan bom saraf untuk menumpas kaum Kurdi. Akibatnya 5000 orang Kurdi jadi korban.
Dari beberapa kelompok yang bertikai, tak satu pun yang mau mengakui telah menggunakan bom tersebut. Mereka malah saling tuding. Pemerintah Suriah menolak mengaku karena merasa tidak memiliki senjata kimia.
Jet tempur Rusiayang telah melepaskan bom di lokasi munculnya bom gas sarin juga menolak menggunakan bom saraf. Militer Rusia malah menekankan, jet tempurnya telah mengebom depot senjata kimia teroris dan meledak. Akibatnya warga sekitar ikut menjadi korban.
Yang pasti konflik di Suriah telah mencerminkan peperangan di luar batas kemanusiaan. Pasalnya negara-negara yang terlibat dalam peperangan dengan motif apa pun telah menggunakan persenjataan mutakhirnyasebagai uji coba dan ajang promo senjata.
Namun penggunaan senjata kimia seperti bom yang mengandung gas sarin menunjukkan bahwa produksi persenjataan pemusnah massal masih berlanjut . Ironisnya yang selalu jadi korban adalah penduduk sipil yang tak menginginkan perang. Khususnya para anak-anak.