Meraba Peluang Jokowi Menggantikan Megawati Di PDI-P

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Foto: Kompas.com

Intisari-online.com -Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang ingin pensiun dari politik memunculkan berbagai spekulasi soal siapa yang berpeluang menjadi penggantinya sebagai ketua umum.

Nama Joko Widodo alias Jokowi salah satu yang muncul.

Mungkinkah Jokowi menjadi ketua umum partai berlambang banteng moncong putih?

Pada program Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Senin (3/4/2017) malam, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menjawab pertanyaan tersebut.

"Pak Jokowi sendiri kan pernah menjadi Wakil Ketua DPD Jawa Tengah. Dia merasakan betul suka dukanya sebagai pimpinan partai saat itu," ujar Hasto.

"Sehingga dalam konteks seperti itu, Pak Jokowi akan lebih berkonsentrasi untuk bagaimana bisa menjadi Presiden RI dan kami akan memberikan (dukungan)," lanjut dia.

Catatan Kompas.com, Jokowi memulai karier politiknya di PDI Perjuangan pada tahun 2005.

Saat itu, dia mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Solo bersama Ketua DPC PDI-P Solo F.X Hadi Rudyatmo.

Tahun 2010, Jokowi terpilih sebagai Wakil Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah.

Adapun, Ketua DPD PDI-P saat itu, Murdoko.

Tidak ada jabatan struktural lain yang diemban Jokowi setelah dia memenangkan Pilkada DKI Jakarta pada 2012.

Karier politik Jokowi mencapai puncak setelah sukses memenangkan Pilpres 2014 meski hanya berstatus kader PDI-P.

8 Fakta Rahasia Penis, Salah Satunya Dapat Memendek 1 Senti Karena Merokok

Political leadership

Pakar psikologi politik Hamdi Moeloek menilai, 'political leadership' harus menjadi wacana terdepan setelah Megawati memberi sinyal mundur dari dunia politik.

PDI Perjuangan harus mencari sosok sekelas Megawati dengan nilai plus usia muda yang mampu menjadi magnet ideologis dan pemersatu di partainya.

Sebab, rekrutmen kepemimpinan partai politik dihadapkan pada fakta empiris yang menyebutkan, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sangat rendah.

Tingkat kepercayaan publik bahwa partai politik mampu melahirkan kepemimpinan politik juga tidak berbeda rendahnya.

"Ini gejala yang sebenarnya meresahkan kita bahwa partai itu kelembagaannya belum maksimal. Ini salah satu indikatornya adalah kaderisasi," ujar Hamdi.

Pada praktiknya, partai politik seringkali menggunakan 'jalan pintas', yakni mengabaikan proses rekrutmen dan "membajak" sosok-sosok populer untuk dipasang dalam jabatan strategis.

"Ini gejala presidensialisasi partai politik atau personalisasi partai politik. Artinya partai bergantung pada figur, bukan pada sistem. Sistem melahirkan kaderisasi yang banyak dan sehingga partai punya kadernya sendiri untuk diajukan menjadi calon presiden, misalnya," ujar Hamdi.

Menurut Hamdi, PDI-P juga melakukan hal ini. Meski ada internal PDI-P yang menyatakan bahwa Jokowi adalah kader tulen, namun banyak pula suara yang menyatakan sebaliknya.

"PDI-P mengklaim bahwa Pak Presiden Jokowi sekarang ini adalah kader tulen. Tapi banyak juga yang mengatakan di luar, wah itu bukan kader tulen. Itu kader anak kost istilahnya. Bukan penghuni sejati rumah PDI-P," ujar Hamdi.

Oleh sebab itu, partai politik di Indonesia harus berbenah diri dalam hal rekrutmen.

Artikel Terkait