Yudi Hartanto, Membangun Perpustakaan Anak dengan Hanya Bermodal Niat

Ade Sulaeman

Penulis

Hartanto dan pengunjung taman bacaannya di daerah Manggarai, Jakarta Selatan.

Intisari-Online.com - Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

(Demi meningkatkan minat baca, pasangan suami-istri ini menyulap mobil angkutan kota menjadi perpustakaan.)

Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Melihat data itu, maka apa yang dilakukan Yudi patut diapresiasi. Menumbuhkan minat baca sejak dini di era gempuran media sosial seperti menegakkan benang basah. Yudi Hartanto mewujudkan niat itu dengan sepeda kecil kepunyaan anaknya, Zhaffa, dan berbekal 150 buku yang ia kumpulkan.

(Minat baca naik, pendidikan membaik.)

Pada 24 Agustus 2008 Yudi meresmikan Taman Bacaan Anak (TBA) Zhaffa. Tak luas, hanya 3x5 m2 , perpustakaan itu menempel menjadi satu dengan teras rumah orangtua Yudi. Letaknya yang persis di tengah gang kampungnya di Manggarai, Jakarta Selatan, menjadikan TBA Zhaffa cukup strategis.

Di perpustakaannya yang buka Selasa-Minggu (16.00-20.00 WIB), Yudi mengadakan bimbingan belajar gratis. Musala di gang tempat Yudi tinggal, dijadikan tempat belajar yang nyaman. “Anak-anak mengaku, materi yang diajarkan di bimbel banyak keluar pas ujian berlangsung. Ini juga semakin meyakinkan orangtua untuk menyuruh anak-anaknya berkunjung ke perpustakaan,” kata Yudi.

(Inilah cara-cara untuk memupuk minat baca anak.)

Selain bimbel, Yudi juga menggelar kegiatan alam. Di taman bacaannya, ada kelas khusus panjat tebing bagi anak-anak yang berminat. Jika panjat tebing kurang diminati, kelas alam lain juga siap menampung anak-anak tersebut: berkunjung ke museum, ke taman-taman, dan sesekali ikut kemping.

“Intinya, cara apa yang menjadi kesukaan anak, setelah itu bagaimana anak-anak bisa menikmati. Itu perpustakaan yang ideal. Kondisi yang aman, bisa merangsang berbuat sesuatu yang positif, serta melakukan hal-hal baik lainnya, sekecil apa pun,” ujar Yudi. Jika anak-anak sudah merasa aman dan nyaman berada di perpustakaan, proses selanjutnya akan berjalan lebih mudah.

Beberapa anak jadi tidak minder lagi saat tampil depan umum.

Masalah dana adalah tantangan terberat yang sering dihadapi oleh Yudi. Sebagus apa pun kegiatan yang digagas, sering kali gagal gara-gara tidak dibarengi dengan pendanaan yang lancar. Belum lagi, biaya perawatan perpustakaan tiap bulannya juga tidak kecil.

Untuk Taman Bacaan Zhaffa, tiap bulan Yudi harus menyisihkan sekitar Rp300 ribu dari penghasilannya untuk merawat koleksi buku-bukunya yang sudah mencapai 1.500-an buku. Tentu saja, itu belum dengan biaya-biaya yang lain. Bagi Yudi yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di salah satu kampus swasta di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, uang sejumlah itu bukanlah angka yang sedikit. Maklum, saat ini kebutuhan dua anaknya juga memakan biaya banyak.

Jika kebetulan dana sedang seret, kegiatan juga ikut terganggu. “Tahun ini bisa diadakan, tahun besoknya tidak bisa. Akhirnya kan tidak enak sendiri sama anak-anak,” aku Yudi. Maka, dibutuhkan penanganan-penanganan khusus untuk menyiasatinya.

Salah satu upaya Yudi adalah sistem subsidi silang. Artinya, pada tiap kegiatan besar yang berlangsung, beberapa anak yang mampu diimbau untuk membayar ala kadarnya. Adapun mereka yang kurang mampu, tetap digratiskan. Beberapa kali, Yudi juga menyebar proposal sumbangan dari para dermawan karena sudah kepepet. Tidak selalu berhasil memang.

Perpustakaan swadaya milik Yudi memang dari kemewahan. Maklum, semua modal ditanggung sendiri dan bahkan pas-pasan. Begitu pula masalah profit. Tak ada sedikit pun niat untuk mengejar keuntungan.

Namun, perpustakaan yang dibangunnya berhasil memberikan perubahan-perubahan kecil. Beberapa anak jadi tidak minder lagi saat tampil depan umum atau di depan anak-anak yang lebih mapan dalam segala hal. “Saya merasa, apa yang saya lakukan tidak sia-sia. Belum lagi, kepercayaan orangtua terhadap kami untuk menitipkan anak-anaknya, adalah penghargaan bagi saya pribadi,” ungkap Yudi.

Harapan Yudi tak terlalu muluk dengan perpustakaan yang dia bangun. Ia hanya ingin, suatu saat ada yang bisa menggantikannya. Selain itu dia juga berharap bisa menularkan kecintaannya pada alam dan lingkungan terhadap anak-anak yang ada di perpustakaan binaannya.

Artikel Terkait