Penulis
Intisari-Online.com -Siang hari, 10 Maret 1994. Toko barang antik dan bingkai lukisan di sisi jalan utama Trading Post, Lake Elsinore, California, terlihat lengang kala seorang perempuan berambut pirang usia pertengahan tigapuluhan melangkah masuk ke dalam toko.
Sang penjaga toko, perempuan 57 tahun bernama Dorinda Hawkins yang bekerja paruh waktu di situ, mengamati gerak-geriknya dari balik meja kasir.
Seperti juga kebanyakan pengunjung toko, si perempuan pirang terlihat berjalan perlahan mengelilingi ruangan sambil meneliti beberapa barang antik. Dorinda hanya melirik sesekali dan tak menaruh sedikit pun rasa curiga. Adalah hal yang biasa bagi dia melihat pengunjung masuk dan keluar lagi dari toko tanpa membeli satu barang pun.
Lagipula, memang tak banyak orang yang tertarik berbelanja di tempat seperti itu selain kolektor barang antik, bukan?
Dorinda tetap tak curiga saat si rambut pirang minta diantar ke bagian belakang toko yang berfungsi sebagai bengkel pembuatan bingkai lukisan. Ia sedang memperlihatkan beberapa contoh bentuk bingkai saat tiba-tiba merasa ada sesuatu yang dingin melingkari lehernya.
Spontan ia menoleh ke belakang dan mendapati si perempuan berambut pirang sedang menarik sekuat tenaga seutas tali kuning berbahan nilon untuk mencekik dirinya.
Merasa nyawanya terancam, Dorinda mulai berusaha melepaskan diri. Ia menarik kuat-kuat tali kuning yang mencekiknya sambil sebisa mungkin menghirup udara agar tak kehabisan napas. Namun rupanya tenaga si rambut pirang lebih kuat sehingga kaki Dorinda lemas dan dia pun jatuh berlutut dengan napas tersengal.
Cara si rambut pirang beraksi dan ketenangan emosinya membuat Dorinda menduga bahwa ini bukanlah penyerangan pertama yang dilakukannya. Ia bahkan sempat membujuknya untuk tenang saat Dorinda berusaha berteriak minta tolong dan mengatakan bahwa ia datang tidak untuk merampok toko.
Tapi kata-kata itu malah menyebabkan Dorinda makin ketakutan dan tak berdaya, sebab itu berarti perempuan itu betul-betul datang untuk menghabisi nyawanya.
Bukan korban pertama
Nyaring dering telepon menyadarkan Dorinda yang sudah jatuh pingsan selama satu jam. Dalam kondisi setengah sadar, ia meraih gagang telepon lalu menghubungi 911. Tak lama kemudian ambulans tiba dan ia segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah luka di bagian kepala dan lehernya ditangani dokter dan dirinya pulih dari trauma, polisi meminta keterangan.
Dengan mudah Dorinda menggambarkan secara detail ciri-ciri perempuan yang menyerangnya. Petugas polisi lain yang memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) mendapati uang 25 dolar AS menghilang dari laci kasir. Tas tangan Dorinda juga turut raib.
Tak ada tali kuning yang diceritakan Dorinda menjadi alat pelaku untuk mencekik dirinya.
Kasus penyerangan Dorinda membuat pihak kepolisian setempat kaget dan terheran-heran. Sebab dalam sejarah kasus kriminalitas di Amerika Serikat, jarang ditemukan kejahatan dengan pelaku seorang perempuan menyerang orang lain yang tidak dikenalnya.
Kekagetan itu belum seberapa karena ternyata Dorinda bukanlah korban pertama si perempuan berambut pirang yang identitasnya masih misterius itu.
Sebulan sebelum Dorinda Hawkins diserang, Norma Davis, seorang nenek berusia 87 tahun yang tinggal di Continental Drive, wilayah Canyon Lake, menemui ajalnya dengan cara yang tragis. Meski Norma tinggal di kawasan perumahan yang tenang dan aman, itu bukan jaminan dia bebas dari kejahatan.
Apalagi dia tinggal sendiri tanpa teman.
Tak ada barang berharga yang hilang
Pagi itu jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan. Alice Williams, tetangga Norma sekaligus sahabat karibnya, datang untuk mengecek apakah sahabatnya itu baik-baik saja. Sudah beberapa hari Norma tidak kelihatan di luar rumah.
Alice mengetuk pintu depan dan tak mendapat jawaban apa pun. Dia memutar gagang pintu dan menemukan pintu tak terkunci.
Hal yang sungguh aneh bagi Norma yang tinggal sendirian. Alice pun masuk ke dalam rumah dan memanggil-manggil nama Norma. Alice mulai cemas dan bertanya-tanya, apakah Norma memang pergi menginap beberapa hari? Apakah sahabatnya itu terkena serangan jantung?
Hanya hening yang menjawab kecemasan dan pertanyaan Alice. Dia lalu menaiki tangga untuk mencari Norma di lantai atas.
Di ambang ruang televisi, Alice akhirnya menemukan sosok Norma duduk tertidur di atas sofa. Tubuhnya terlihat berbalut selimut wol hingga ujung leher. Namun, saat Alice menyibak selimut itu, terlihatlah pemandangan yang membuat dirinya mual.
Terdapat dua luka tusuk pada tubuh Norma, satu di leher dan satu lagi di dada, dengan dua bilah pisau masih tertancap di situ. Panik melihat sahabat karibnya tak bernyawa dan dalam kon-disi berlumuran darah, Alice menekan tombol 911.
Petugas polisi yang datang segera memeriksa seluruh ruangan dan juga kondisi tubuh Norma. Saat jasad Norma dipindahkan, polisi menemukan bahwa leher Norma telah tertusuk sangat dalam hingga hampir terpotong.
Di dalam ruang televisi, polisi juga menemukan seutas kabel telepon yang tercabut dari tempatnya serta jejak sepatu kets Nike yang tampak di antara debu di pojok ruangan.
Tak ada bukti pelaku memasuki rumah dengan paksa sehingga polisi menduga bahwa pelaku pasti telah mengenal korban sebelumnya sehingga leluasa masuk ke dalam rumah. Hasil autopsi yang dilakukan tim forensik mendapati bahwa Norma ditusuk sebelas kali sebelum pisau yang dipakai dibiarkan terbenam di tubuhnya.
Tapi penyebab kematiannya adalah cekikan kabel telepon sebelum ia ditusuk dengan pisau. Tak ada barang berharga yang dicuri dari rumah Norma ataupun uang yang hilang dari tasnya.
Bahkan cincin berlian juga masih melingkar di jari manis tangan kirinya. Penghuni kompleks perumahan tempat Norma tinggal serta-merta panik. Mereka tak menduga ada kejahatan di lingkungan yang tenang dan selama ini aman-aman saja.
Tak seorang pun tahu motif pembunuhan Norma. Isu yang beredar adalah pembunuh berantai yang memilih korbannya secara acak, sehingga suasana Canyon Lake makin mencekam.
Korban kenal pelaku
Hanya berselang dua minggu setelah Norma Davis ditemukan tewas di rumahnya dan polisi belum mendapat titik terang, pembunuhan terjadi lagi di kawasan yang sama.
Akhir bulan Februari itu, seorang kawan dari June Roberts, perempuan lanjut usia yang hari itu merayakan ulangtahunnya yang ke-66, meneleponnya untuk memberi ucapan selamat, tapi tak mendapat jawaban.
Beberapa kawan lain juga mencoba meneleponnya tapi juga tidak mendapat jawaban. Oleh sebab itu, tiga orang kawan mendatangi rumah June di Big Tee Drive, Sun City, pada 28 Februari malam. Namun June tak kunjung membukakan pintu untuk mereka.
Seorang kawan menemukan kunci rumahnya di dalam tas golf di luar rumah. Saat pintu dibuka, terlihatlah tubuh June Roberts tergeletak di lantai ruang depan dengan sebuah kursi kerja terjungkir di atas tubuhnya. Saat diperiksa, June sudah tak bernyawa.
Polisi datang tak lama setelah kawankawan June meneleponnya dan dari hasil pemeriksaan awal polisi menyimpulkan bahwa June tewas akibat benturan benda tumpul yang menghantam belakang kepalanya.
Petugas yang menyisir seluruh ruangan menemukan dua utas kabel telepon yang tercabut dari lubangnya serta sebuah botol anggur yang diduga sebagai alat pembunuhan. Sekali lagi, tanpa adanya bukti kaca jendela pecah atau gagang pintu yang rusak, polisi menduga June sudah mengenal pelaku sehingga membiarkannya dengan leluasa masuk ke dalam rumah.
Dari hasil autopsi, polisi menyimpulkan June Roberts tewas akibat cekikan di leher. June diperkirakan tewas waktu pagi di hari tubuhnya ditemukan.
Posisi berlindung dari serangan
Enam belas Maret 1994. Hari itu adalah hari peringatan meninggalnya ayah Julia Whitcombe, Ernest Beebe, beberapa tahun silam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Julia menelepon ibunya, Dora Beebe, untuk menghiburnya dan menyenangkan hatinya.
Julia menelepon beberapa kali namun tak mendapat jawaban. Dia lalu memutuskan untuk mendatangi apartemen sang ibu untuk menemuinya.
Kecemasan Julia atas ketiadaan kabar dari ibunya rupanya terbukti. Hari itu, seorang teman pria yang membuat janji bertemu dengan Dora mendatangi apartemennya karena Dora tak kunjung datang ke tempat mereka janji bertemu.
Ternyata si teman pria menemukan hal yang mengejutkan di apartemen Dora. Pintu tak terkunci dan saat dia melongok ke dalam kamar mandi, dilihatnya tubuh Dora berlumur darah di lantai kamar mandi.
Dora meninggal dalam posisi seperti bayi meringkuk, seolah-olah sedang mencoba berlindung dari serangan.
Dari ceceran dan noda darah yang menyebar di banyak ruangan, polisi menduga Dora diserang di ruangan lain sebelum akhirnya diseret pelaku ke kamar mandi. Terdapat lima luka hantaman di sekujur tubuh Dora. Polisi menduga, pelaku menggunakan setrika listrik untuk menghajar kepala Dora.
Saat tubuh Dora ditemukan, pihak kepolisian Canyon Lake City masih melakukan penyelidikan atas kasus Norma Davis serta June Roberts, dan belum menemukan titik terang atas identitas pelaku pembunuhan berantai.
Membunuh demi uang dan gaya hidup
Setelah Dorinda Hawkins mendeskripsikan wajah dan fisik penyerangnya kepada polisi, maka sketsa wajah si perempuan berambut pirang segera disebarluaskan. Tak lama, identitas si pembunuh berantai mulai terkuak.
Dana Sue Gray, perempuan berambut pirang yang berprofesi sebagai perawat rumah sakit, ditemukan sangat cocok dengan deskripsi cerita Dorinda Hawkins.
Dana lalu dibekuk polisi setelah seorang pegawai bank menghubungi keluarga June Roberts dan menginformasikan bahwa kartu kredit milik June telah digunakan oleh orang lain setelah June ditemukan tewas.
Dana tak hanya cocok dengan deskripsi fisik si penyerang, tetapi juga ternyata ia mengenal dua orang korban, Norma Davis dan June Roberts.
Saat polisi melacak pusatpusat perbelanjaan tempat Dana menggesek kartu kredit milik June, beberapa pramuniaga memberitahu polisi bahwa Dana datang berbelanja di sana sambil membawa anak lelakinya yang berusia lima tahun.
Ketika ia ditangkap di rumahnya, pacar dan anak lelakinya juga ada di rumah. Pacar Dana terkejut, ia mengaku sama sekali tak tahu menahu tentang aksi kekasihnya tersebut.
Dari penggeledahan di rumah Dana polisi menemukan perhiasan, minuman keras, sebuah dompet berisi uang AS$ 2.000, dan banyak pakaian yang dibelinya menggunakan kartu kredit para perempuan malang yang menjadi korbannya.
Polisi juga menemukan buku tabungan atas nama June Roberts yang saldo uang telah berkurang 2.000 dolar AS. Dana juga mencoba mencairkan lagi uang 2.000 dolar AS dari rekening tabungan milik Dora Beebe namun ditolak oleh pihak bank.
Kepada polisi Dana mengaku dirinya mengalami depresi karena memiliki beban hidup yang berat sesudah bercerai dari suaminya. Saat diinterogasi, Dana tak mengaku membunuh ketiga perempuan korbannya.
Dia malah mengaku bahwa dirinya hanya mengambil kartu kredit June Roberts dan menyatakan bahwa seseorang telah memberikan buku tabungan atas nama Dora Beebe kepadanya.
“Saya tak bisa menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang saya lihat di mal. Berbelanja adalah cara saya untuk menyenangkan diri sendiri,” tutur Dana.
Dana Sue Gray resmi menjadi terdakwa dan harus mendekam di penjara Riverside County selama perkaranya disidangkan.
Saat diwawancara oleh media, Dorinda Hawkins berujar, “Saya merinding saat petugas polisi memperlihatkan kepada saya foto Dana Sue Gray. Saya seratus persen yakin bahwa dialah pelakunya. Untunglah perempuan pembunuh keji itu cepat tertangkap.”
Maaf tak akan cukup
Berita penangkapan Dana ternyata menuai pro dan kontra. Seorang rekan kerja Dana, Dave Dressecker, mengungkapkan bahwa ia mengenal Dana sebagai pribadi yang rajin bekerja dan senang membantu orang lain. Dave tak percaya kalau Dana adalah pembunuh berantai.
“Dana yang saya kenal adalah seorang wanita yang baik hati,” kata Dressecker.
Cedric Ward, kakak laki-laki berbeda ibu dengan Dana, ikut angkat bicara. Ia mengisahkan masa kecil mereka yang tidak bahagia meski berasal dari keluarga kaya raya.
Dia berkata dirinyalah yang membesarkan Dana setelah sang ibu meninggal dunia akibat kanker. Yang menarik dari pernyataan Cedric adalah dia mengaku sudah melihat perilaku sang adik yang silau dengan uang dan barang-barang mahal sejak kecil.
Di akhir persidangan, Jaksa Richard Bentley mengajukan hukuman maksimal yakni hukuman mati dengan eksekusi di dalam kamar gas bagi Dana. Di sisi lain, pengacara Gray, Stuart Sachs, mengundang beberapa ahli kesehatan mental untuk melakukan pemeriksaan psikologis terhadap Dana.
Sachs berharap hasil pemeriksaan itu bisa mendukung keyakinannya bahwa Dana sedang berada dalam kondisi kurang waras saat ia menghabisi korban-korbannya.
Dr. Lorna Forbes, salah seorang psikiater yang memeriksa kondisi Dana menyatakan, pengalaman masa lalu Dana yang traumatis seperti perceraiannya dengan mantan suaminya, kehamilan pertamanya yang mengalami keguguran, serta utang yang melilit akibat dirinya kehilangan pekerjaan menjadi faktor yang kuat dan bisa memicunya melakukan aksi pembunuhan di luar akal sehatnya.
Di sisi jaksa penuntut, seorang psikiater lain, Dr. Martha Rogers, menyatakan bahwa Dana yang mengaku kehilangan akal sehatnya saat melakukan aksi pembunuhan sebenarnya justru melancarkan aksinya dengan penuh perencanaan.
Hal ini bisa terlihat dari pemilihan korban yang memiliki latar belakang, usia, serta kondisi yang serupa serta waktu dan lokasi korban yang masih berada di satu area.
Perilakunya yang impulsif yakni pergi berbelanja ke mal begitu dia selesai menghabisi nyawa korbannya juga membuktikan bahwa Dana mampu berpikir waras dan secara sadar secepatnya menggunakan kartu kredit yang baru diperolehnya dengan cara mengambil nyawa orang lain.
Agen Braidhill yang menangani kasus ini akhirnya menyimpulkan bahwa aksi nekat Dana dilatari oleh tiga hal: nafsu akan uang, kekuasaan, dan pelampiasan rasa kecewa serta kemarahan atas penderitaan hidup. Bukti-bukti lain yang memberatkan Dana juga semakin banyak.
Mulai dari bukti penggunaan kartu kredit, kesaksian pegawai bank yang membantu dia mencairkan uang, hingga kesaksian Dorinda sebagai korban selamat.
Pada tanggal 9 September 1998, Dana yang pada saat itu berusia 40 tahun akhirnya mengaku bersalah membunuh dua perempuan lanjut usia dan melakukan percobaan pembunuhan kepada seorang lagi.
Khusus untuk kasus Norma Davis, polisi tidak berhasil membuktikan bahwa Dana berada di sana pada waktu kejadian sehingga tuntutan pembunuhan terpaksa dicabut.
Atas pengakuannya ini, maka Dana diganjar hukuman penjara seumur hidup dan terhindar eksekusi mati di kamar gas. Kepada media, Stuart Sachs menyatakan bahwa pengakuan bersalah ini akhirnya diambil sebagai jalan aman untuk menghindari hukuman mati yang lebih keji.
Kepada harian Press Enterprise, Dana menyatakan, “Hidup dan karier saya sebenarnya mulai membaik. Tetapi pengalaman hidup yang berbelok drastis dari jalurnya membuat saya telah kehilangan pegangan. Saya minta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat luas dan keluarga yang ditinggalkan meskipun saya tahu kata maaf takkan pernah cukup.
Saya akan menanggung rasa bersalah ini seumur hidup saya.” (Novani Nugrahani)