Intisari-Online.com -Hanya dalam waktu dua bulan, tiga korban meregang nyawa di Cambridge, Amerika Serikat. Pertama Bu Davis yang bermasalah dengan ginjalnya. Tanggal 4 Juli 1901 ia meninggal—menurut dokter—akibat diabetes. Yang kedua, Bu Gordon yang dimakamkan pada 29 Juli 1901. Terakhir, Minnie Gibs, yang meninggal pada 13 Agustus 1901.
Sampai saat itu belum ada benang merah antara korban yang satu dengan korban lainnya. Kematian Minnie bahkan diikuti dengan beredarnya isu masih akan jatuh korban lagi. Isu itu makin santer karena polisi belum menemukan pelaku. Warga menuntut misteri ini dipecahkan segera.
Tak mau menjadi bulan-bulanan warga, polisi pun langsung menggali kembali kuburan Minnie. Organ dalamnya diambil dan dianalisis oleh Prof. Wood dan Universitas Harvard. Ia menemukan, tubuh Minnie mengandung sekurangnya 10 butir tablet morfin dan sejenis obat beracun yang berasal dari tanaman.
Tanpa perlu buang waktu lagi, polisi langsung mencari siapa orang terakhir yang berinteraksi dengan korban. Fakta bahwa Minnie merupakan pasien Jane Topan menjadi titik terang bagi penyelidikan. Namun, dokter tak punya alasan menuduh Jane memberi dosis morfin berlebih kepada Minnie. Hanya saja, merunut kembali korban-korban sebelumnya yang juga ditangani Jane Toppan, maka dugaan Toppan telah meracuni korbannya sangat kuat.
Polisi pun segera menahan Jane sebelum jatuh korban lagi!
Pertunangan yang gagal
Tidak mudah mengorek keterangan dari Jane. Nyaris tak ada informasi mengenai latar belakang masa kecil Jane, bagaimana ia diasuh oleh orangtuanya. Bahkan tempat ia dilahirkan dan siapa kedua orangtuanya pun gelap. Hanya nama Peter Kelly disebut-sebut sebagai ayahnya. Lagi-lagi riwayat Peter sendiri juga samar-samar. Kalaupun ada, tak lebih sebagai orang yang tidak berguna. Sebelum diadopsi oleh Anne Toppan—warga Lowell, Amerika Serikat—nama Jane Topan masih Nora Kelly. Itu terjadi di pertengahan tahun 1860-an.
Sesuai nama ibu angkatnya, nama Nora Kelly diubah menjadi Jane Toppan. Namun, dalam pengasuhan ia lebih banyak berinteraksi dengan Bu Brigham, putri Anne Toppan, yang sudah menikah namun tidak dikaruniai anak. Jane tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya putih mulus, dengan mata belok hitam, serta rambut hitam legam. Di kalangan gadis seusianya, Jane dikenal karena sifatnya yang ceria, penuh semangat, dan memiliki tawa yang khas. Pribadinya yang hangat membuat ia cepat dikenal di kawasan Lowell. Mungkin ia gadis yang paling bahagia di kawasan itu.
Orangtua asuhnya sangat terpandang dan berada. Tanpa kesulitan mereka membesarkan Jane semampu mereka agar Jane tumbuh maksimal. Jane dididik di sekolah lanjutan terbaik di kawasan Lowell. Dengan sejumlah kelebihan itu, sangat besar kemungkinan Jane mendapatkan teman pria yang akan dijadikan pendampingnya kelak.
Benar saja, di awal 1920-an Jane bertunangan dengan seorang pria pilihannya. Kabarnya, tak lama kemudian mereka akan menikah. Keluarga Toppan menyambut suka-cita pertunangan itu. Meski hanya dihadiri kerabat terdekat, pertunangan mereka menjadi pembicaraan para gadis dan ibu di Lowell, karena acara pertunangan mereka begitu hangat. Diselenggarakan di sebuah kebun kecil, dipenuhi dengan bunga di sana-sini, serta musik lembut sepanjang acara. Jane tampak sangat bahagia. Impian menjadi wanita sempurna tinggal selangkah lagi.
Namun, rencana tinggal rencana. Tak seorang yang bisa memastikan pertiwa di depan. Pertunangan Jane berantakan. Tanpa alasan yang jelas, pihak pria memutuskan sepihak. Belum kering air mata Jane, ia harus menghadapi cobaan lain. Selang beberapa bulan saja, ia mendengar kalau mantan tunangannya menikahi gadis lain. Sejak itulah Jane berubah. Pendiam, menyendiri, mereka tak berharga karena merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan.
Dipicu entah dorongan dari mana, suatu hari ia memutuskan jadi perawat atau sustes rumah sakit. Dalam usia 25 tahun, ia melamar di Rumah Sakit Cambridge. Prestasi cemerlang sudah diukirnya saat pelatihan. Begitu pula saat terjun menangani pasien, ia sudah membuktikan dirinya menjadi yang terbaik di antara para perawat yang bekerja di sana.
Ia cekatan, terpelajar, terampil, dan keinginan belajarnya sangat tinggi, terutama yang berhubungan dengan efek obat-obatan dan karkotika. Namun, dari sinilah ketidakseimbangan dalam dirinya terjadi.
Ia pernah membuat hal yang fatal saat bertugas. Kesalahan ini berawal dari seorang dokter yang curiga pada seorang pasien. Ia heran melihat laporan kondisi pasien yang suhu tubuhnya di bawah normal, padahal sejauh yang ia tahu, pasien itu sudah seharusnya pulang dan melanjutkan pemulihan di rumah. Ia tak perlu lagi rawat inap. Karena merasa ada yang ganjil, ia melakukan pemeriksaan sendiri. Nyatanya, suhu tubuh sang pasien benar-benar normal.
Ketika didesak, suster Jane mengakui,dirinya jatuh cinta pada pasien laki-laki yang usianya relatif muda itu. dengan memanipulasi laporan, Jane dapat terus menemuinya. Akibat perbuatnanya itu, Jane dipecat.
Perawat di seminari
Jane tak patah semangat. Ia malah mengambil kursus lanjutan tentang dampak obat dan narkotika di Rumah Sakit Massachussetts di Boston. Selesai pelatihan ia kembali lagi ke Cambridge. Panggilan profesi sebagai perawat tetap menggebu. Bedanya, ia tidak lagi berhasrat kerja di rumah sakit atau klinik, melainkan sebagai perawat pribadi di rumah-rumah, khususnya pada keluarga-keluarga kaya di kota itu.
Jane tak perlu menunggu lama mewujudkan obsesinya. Begitu kembali dari Boston, ia dipanggil keluarga Israel Dunham. Melihat penampilan Jane, keluarga Dunham memutuskan memakai jasanya dalam jangka waktu panjang. Jane lalu membangun sebuah pondok mungil di areal halaman milik keluarga Dunham. Belum lama ia bekerja, Jane sudah menjadi perawat favorit keluarga itu.
Senyum dikulum tak pernah lepas diperlihatkan Jane. Sekilas seperti melihat senyum khas Jane di kala kecil. Ia pun berhasil merebut simpati anak-anak. Israel Dunham menderita hernia. Pada 26 Mei 1895 ia meninggal secara tiba-tiba di rumahnya di Cambridge. Tanpa ragu dokter memberi surat kematian dan mengizinkan jenazah langsung dikubur karena tidak menemukan hal yang mencurigakan. Dua tahun kemudian giliran jandanya, Bu Dunham, yang jatuh sakit sebelum akhirnya meninggal akibat gagal jantung.
Tak ada alasan jelas mengapa Jane kemudian tertarik melamar di rumah sakit lagi. Meskipun kali ini di lingkungan seminari. Suatu hari penanggung jawab rumah sakit, Myra Connor, jatuh sakit. Dialah yang merawatnya dengan penuh perhatian sebelum akhirnya Myra meninggal akibat berbagai komplikasi. Sepeninggal Myra, Jane diangkat menggantikan posisi almarhumah. Tapi itu tak berlangsung lama.
Sekadar mengingatkan kembali, sejak ibu angkatnya Anne Toppan meninggal, Jane diasuh oleh keluarga Brigham. Bersama mereka, kehidupan Jane terasa lebih baik karena ia memiliki keluarga yang lengkap. Ada Pak Brigham dan Bu Brigham yang ia sapa dengan sebutan papa dan mama. Sejak bekerja, sudah lama Jane tak berjumpa dengan mereka. Walau diasuh tanpa cela, Jane merasa lebih dekat dan sayang dengan ayahnya.
Sebaliknya, terhadap Bu Brigham Jane menaruh rasa benci karena menganggap Bu Brigham telah merampas hak warisan Anne Toppan yang seharusnya jatuh kepadanya.
Tanggal 29 Agustus 1899 Bu Brigham meninggal dunia setelah sebelumnya jatuh sakit selama dua hari. Sebelumnya, ia dan suaminya berkunjung ke rumah Jane di kawasan Pantai Buzzard. Namun, menurut analisis dokter, kematian Bu Brigham akibat gagal jantung hingga pembuluh darah di kepala pecah.
Jane membawa jenazah ibunya ke Lowell. Saat pemakanam, ia mengajak ayahnya untuk meninggalkan rumah kenangan mereka. Pak Brigham yang sangat menyayangi istrinya tentu saja protes. "Apa yang saya lakukan hanya untuk untuk kebahagiaan Papa. Saya mencintai Papa dan ingin Papa bisa menerima kenyataan ini," ucap Jane.
Jane memang mencintai ayahnya. Ia tak mau melihat ayah angkatnya terlalu tenggelam dalam kedukaan. Brigham tidak menyadari kata cinta yang ditekankan Jane merupakan perasaan khusus seorang wanita kepada pria paruh baya seperti dirinya. Bukan karena Brigham belum menanggapinya yang membuat Jane tak tenang. Tak lama berselang, 15 Januari 1900 pembantu rumah tangga Brigham - Nona Calkins – meninggal dunia yang diawali dengan sakit yang tak jelas.
Setelah kematian Calkins, Pak Brigham meminta sepupunya, Bu Bannister, menemaninya. Bu Bannister terbilang wanita yang sangat sehat karena ia mengaku tak memiliki keluhan apa pun. Namun, sejak tinggal dengan Brigham, ia merasa badannya tak sesehat dahulu.
Awalnya dari keluhan, lama-kelamaan kondisinya memburuk dan puncaknya pada 27 Agustus 1900, Bu Bannister meninggal. Sejak Bu Bannister meninggal, Pak Brigham tidak menginginkan ada orang lain lagi menemaninya. Ia bahkan meminta Jane kembali ke pondoknya di Cataument.
Beberapa bulan kemudian pasangan suami-istri Davis, salah seorang tetangga Jane, mengundangnya tinggal bersama di pondok mereka di Pantai Buzzard. Pondok yang disebut Davis sebetulnya lebih mirip sebuah hotel karena memiliki 20 kamar tidur. Rumah sebesar itu hanya dihuni tiga orang termasuk Jane. Pekerjaan Jane di sana mengurus segala urusan rumah tangga.
Menjelang musim panas di bulan Juni 1901, Bu Davis mengeluh tidak enak badan. Selama ini ia memang punya masalah dengan ginjalnya sejak berapa tahun lalu. Kali ini gangguan ginjalnya kembali kambuh. Jane menyarankan agar mencari udara segar, dan untuk pindah dan tinggal dengannya di Cambridge sementara waktu. Bu Davis setuju. Perubahan suasana dan udara malah membawa keadaan wanita tua itu semakin buruk. Dalam waktu singkat Bu Davis kritis dan akhirnya meninggal.
Gara-gara utang
Sampai di sini tidak ada yang menaruh perhatian terhadap ulah Jane. Agak aneh memang, sebab tak seorang pun yang mengaitkan para korban yang sebelumnya dalam perawatan Jane. Sebaliknya, Jane malah semakin dikenal di kawasan itu. Pak Davis pun mengajukan permintaan agar Jane tetap tinggal bersamanya dan kedua putrinya, Bu Harry Gordon dan Bu Minnie Gibbs.
Namun, kematian tiga orang yang masih sekerabat tadi memicu kecurigaan orang banyak. Jane pun mulai dikait-kaitkan dengan serangkaian kematian "wajar" yang waktu itu dalam perawatannya. Jane tak bisa mengelak saat digeledah di kamarnya ditemukan bungkusan morfin di antara tumpukan pakaiannya dalam jumlah yang tidak wajar. la pun bercerita, mengapa sampai tega membunuh Bu Davis dan dua saudaranya itu.
Awalnya, Jane meminjam uang ke Pak Davis dan Bu Gordon yang akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Sayangnya, sampai saatnya Jane tidak bisa melunasinya. Bukannya berpikir bagaimana membayar utangnya, Jane malah berpikir untuk melenyapkan mereka. Dengan begitu ia tak perlu repot mengembalikan pinjamannya. Karena alasan itulah Bu Gordon menjadi incaran aksi Jane selanjutnya.
Selain soal utang, Jane juga berharap dinikahi Pak Gordon. Ia masih ingat akan kegagalannya menikah beberapa tahun silam. "Inilah saatnya mewujudkan hal itu," batinnya. Bu Gordon dibuat sedemikian rupa agar merasa tidak enak badan semalaman. Kondisinya makin buruk sejak ia menelan obat yang diberikan Jane. Beberapa hari setelah itu sakitnya makin akut.
"Saya terus menjaganya tak kenal waktu dengan penuh perhatian, agar orang yang melihatnya yakin bahwa saya sangat mencemaskan kondisi Bu Gordon," akunya. Untuk mengelabui pemikiran orang, Jane juga hadir saat pemakaman Bu Gordon.
Lepas pemakaman, Jane diliputi rasa bahagia. Ada alasan mengapa ia melirik Pak Gordon. Sebenarnya, ia tertarik dengan Pak Davis, namun agak sulit menundukkannya. Lagi pula, terkadang Jane tidak menyukai laki-laki itu tanpa alasan yang jelas. Ia juga takut suatu hari Pak Davis akan tahu apa yang telah ia lakukan terhadap istri dan anaknya. Sebetulnya, Jane tidak peduli dengan siapa ia akan menikah. Yang penting pria itu berkantong tebal.
Suatu hari Pak Davis pergi ke Boston, dan ketika kembali, badannya terlihat sangat lelah. Jalannya sempoyongan dan hampir saja terjatuh. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Jane. Ia bisa memakai alibi ini bahwa Pak Davis menenggak narkotika sejak dari Boston untuk mengatasi kesedihannya usai kematian sang istri. Keesokan harinya ia meninggal dan dimakamkan di sebelah istri dan putrinya di pemakaman Cataumet.
Menurut dokter, kematian Pak Davis akibat pecahnya pembuluh darah di kepala. "Saya sungguh senang saat menyaksikan pemakaman untuk ketiga kalinya di tanah yang sama hanya dalam kurun tiga minggu untuk keluarga yang sama," ujarnya tenang.
Setelah Pak Davis, satu-satunya yang tersisa untuk disingkirkan hanya Bu Irving Minnie Gibbs. Orang mengenal hubungan Jane dan Minnie sangat dekat. Keduanya saling mengenal satu sama lain bertahun-tahun sebelumnya. Tidak pernah terdengar mereka berselisih paham. Toh cerita tentang retaknya sebuah pertemanan tak kurang banyaknya. Tak terkecuali Jane. Dari Minnie itulah Jane meminjam uang. Kisah utang tak kembali pun berulang.
"Saya mencari akal bagaimana meracuni Minnie Gibbs. Kami pergi berkendaraan ke Woods Hall suatu hari. Saat akan kembali, Minnie mengeluh tak enak badan. Saya memberinya tablet morfin dalam gelas wiski sebelum berangkat, agar staminanya membaik saat menyetir mobil. Saya juga sarankan agar ia menelan obat dari dr. Latter. Minnie menolak mentah-mentah menelan satu obat pun. Saya terus mendesak seraya mengingatkan atas kondisinya saat itu yang sangat memburuhkan obat," papar Jane yang memberi Minnie satu tablet morfin lagi, dan malamnya memberi morfin lewat suntikan. Derita Minnie Gibbs berujung pada kematian. Nasibnya tidak berbeda jauh dengan korban Jane terdahulu.
Dituding gila
Penahanan Suster Jane Toppan sedikit banyak menyingkap kisah di balik serangkaian pembunuhan yang dilakukannya. Ada kalanya mengejutkan sekaligus mengerikan bagi yang mendengarnya. la mengaku mendapat kepuasan setelah membunuh orangorang yang tidak disukainya atau punya alasan untuk disingkirkan. Terungkap pula bagaimana ia menyiapkan aksi aksinya dengan pengetahuan yang luar biasa seputar obat dan narkotika, sehingga ia mampu menghindar dari jeratan hukum.
Dalam setiap aksinya Jane menggunakan bahan baku yang sama. Ia punya racun favorit, yakni morfin. Bukan tanpa alasan Jane memilihnya, sebab selain tak mudah dideteksi, morfin juga punya efek melemahkan kerja jantung. "Kekuatan" itu makin diperkuat dengan kepiawaian Jane memilih kapan saat yang tepat memberikan racun kepada korbannya, yaitu saat korban raengeluh tidak enak badan. Efek morfin akan mengesankan kematian yang wajar.
Misalnya, Pak Davis ia suntik saat pria itu mengeluh pusing sepulang dari Boston. Dengan sejumlah persiapan itu, tak ada yang curiga saat para korban meninggal mendadak. Namun, pada pasangan suami-istri Davis polisi menemukan bukti bahwa mereka diracun terlebih dahulu sebelum ajal.
Melihat alasan dan kepuasan setelah korban terbunuh, Jane dituding memiliki kelainan jiwa. Tak tanggung-tanggung, tiga ahli ilmu jiwa - dr. Jelly, dr. Stedman, dan dr. Quinby – didatangkan untuk memperoleh bukti bukti hukum. Ketiganya tiba pada kesimpulan, Jane bersalah, namun dengan catatan ia gila. Tak heran jika mereka menyarankan Jane dikirim ke tempat peristirahatan bagi orang gila Taunton.
Jane banding. Secara tertulis ia menyatakan keberatan atas penilaian ahli jiwa bahwa dirinya gila. "Penilaian itu tidak mendasar. Mereka tak mampu mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku, sehingga mereka mengalihkannya seolah saya gila dan mengirim ke suaka orang gila," ungkap Jane.
Sebetulnya, ketika ahli jiwa datang menemuinya, Jane sudah menyiapkan diri dan tahu cara mengelabuhi mereka. Jane sudah terlatih selama 15 tahun dan tahu cara menghadapi mereka. "Saya tahu bagaimana mengetes apakah seseorang gila atau tidak. Saya bisa menebak pertanyaan dan tes yang akan mereka ajukan. Karena itu saya ngotot bilang kalau saya tidak gila. Orang yang betul-betul gila akan selalu menyangkal dirinya gila."
Dr. Jelly dan kedua dokter lain terus berusaha mencecar Jane dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka berusaha menarik simpati sisi kewanitaan Jane dengan mengajaknya merasakan derita yang ditanggung anak-anak keluarga Gibbs dan Gordon.
"Saya tahu ke mana arah pertanyaan itu. Saya bilang, saya membunuh para korban bisa tanpa alasan. Yang jelas saya merasakan sesuatu yang sangat indah menyaksikan korban sekarat di hadapan saya. Mereka bilang jawaban itu menandakan bahwa saya memang gila. Saya terus menyangkal, walaupun dalam hati tertawa karena memang penilaian itu yang saya inginkan."
Berhalusinasi diracun
Saat pengakuan Jane dipublikasikan, tak sedikit orang yang menyesalkan kecerobohan para dokter. Mereka bersuara lantang menuntut keadilan. Sebaliknya, bagi para ahli jiwa, pengakuan ini Wan memperkuat bahwa Jane memang gila. SeWlas ia tampak seperti orang normal. Pandai menulis, beragumentasi, kecerdasannya pun di atas rata-rata. Jane itu kutu buku dan penulis yang handal. Saat menunggui pasiennya atau saat korban sekarat, Jane selalu menulis cerita pendek.
Ia juga memiliki satu kebiasaan membacakan kisah-kisah yang termuat di surat kabar untuk pasiennya. Bila kisahnya mengandung roman atau tragedi, ia akan mengembangkan kisah itu dan menyimpannya sebagai inspirasi cerita baru. Ia punya rencana setelah "pensiun" sebagai perawat akan beralih sebagai penulis novel. Hal itu diucapkannya berulang kali. Ia yakin, suatu hari akan menjadi penulis novel tersohor. Novel-novelnya akan mendatangkan banyak uang, sehingga ia mampu membayar semua pengacara yang berhasil mengeluarkannya dari penjara.
Jane mengeluhkan tudingan orang bahwa dirinya tidak berperasaan. "Ketika saya menerima kiriman bunga forget-me-not, saya menangis karena haru. Bunga itu yang kerap diberikan pacar saya saat masih di SMA. Ia sengaja mengikatkannya di cincin yang juga ia berikan. Tapi dia pula yang menghancurkan pertunangan hingga seluruh gairah hidup saya hilang. Orang melihat saya masih bisa tertawa. Beberapa teman curiga, saya seperti kecanduan morfin. Padahal saya tak pernah menyentuh sebutir pun obat obat terlarang itu. Efeknya sangat mengerikan," ujar Jane yang sejak putus cinta mulai belajar menyakrti orang lain.
Sejak jadi perawat, diam-diam Jane bereksperimen dengan morfin dan atropia sehingga ia tahu berapa dosis yang tepat untuk masing-masing korbannya. Sebuah sumber menyatakan, sebetulnya Jane telah membunuh 20 orang lebih banyak dari yang diduga. Artinya, di balik senyum Jane, 50 orang tewas tanpa sebab yang jelas.
Pemenjaraannya di Taunton Lunatic Asylum membuat Jane berubah. Sedikit demi sedikit ia kehilangan senyum khasnya. Sebutan penghuni ceria tidak ada lagi. Ia selalu tampak tegang dan terus berpikir bahwa semua makanan untuknya mengandung racun. Tubuhnya kurus kering. Ia terus dihantui masa lalunya yang mengerikan. Selama dua tahun menghuni rumah tahanan, ia juga dihantui rasa takut. Ia merasa diberi morfin oleh perawat yang mengurusnya. Tak jarang ia berteriak kencang minta tolong saat perawat menghampirinya.
Jane menolak semua makanan yang disajikan untuknya. Bila ia makan, itu pun lewat pemaksaan sipir penjara. Menjelang kematiannya, Jane berhalusinasi, seluruh korban datang ke selnya dan memaki kasar perbuatan Jane mencabut nyawa mereka. Mereka juga merasakan siksaan hebat akibat morfin yang diberikan Jane, dan kini giliran Jane yang harus menikmatinya.
Walau telah tiada, setidaknya ambisi Jane jadi orang terkenal tercapai. Meskipun dalam dunia kriminal. Aksi Jane mengingatkan kita pada serangkaian pembunuhan yang dilakukan Lucrezia Borgia pada abad ke-16 yang menjadikan racun sebagai senjata andalannya untuk membunuh para korbannya.