Media Sosial Ladang Subur Bagi Hoax, Terutama di Musim Pilkada Seperti Sekarang Ini

Moh Habib Asyhad

Penulis

Bermain aman di media sosial.

Intisari-Online.com - Sebuah simpulan menyatakan bahwa hoax mudah menyebar di masyarakat kita karena budaya ngerumpi dan budaya literasi yang rendah. Merujuk data dari Central Connecticut State University asal Amerika Serikat yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked dan dilepas pada 9 Maret 2016 lalu, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari total 61 negara. Hanya lebih baik dari Botswana, sebuah negara Afrika di bagian selatan yang terkurung oleh daratan bekas jajahan Britania Raya.

a

(Tepat di Hari Buku Nasional, masyarakat literasi Yogyakarta keluarkan tujuh maklumat buku.)

Mudahnya hoax menyebar didukung oleh maraknya media sosial. Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menegaskan hal itu: media sosial menjadi platform yang paling sering digunakan untuk menyebarkan berita bohong.

Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap - lewat penelitiannya - bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Survei yang dilakukan sepanjang 2016 itu menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang.

(Indonesia berada di awal era Internet of Everything.)

Data survei juga mengungkap bahwa rata-rata pengakses internet di Indonesia menggunakan perangkat genggam. Statistiknya sebagai berikut:

Nah, dengan kombinasi seperti itu maka wajarlah kalau hoax mudah menyebar. Ketua Bidang Kebijakan Strategis Mastel Teguh Prasetya saat memaparkan hasil Survei Wabah Hoax Nasional di Jakarta, Senin (13/1/2017), mengatakan 92,4 persen responden mendapat berita bohong dari media sosial. Secara terperinci, angka itu bisa dibedah sebagai berikut:

(Demi rasa hormat kita di dunia digital, kita tega menyebarkan hoax.)

Berita bohong yang mereka terima umumnya tentang sosial politik (91,8 persen); masalah suku, ras, agama dan antar-golongan (88,6 persen), kesehatan (41,2 persen), makanan dan minuman (32,6 persen), keuangan (24,5 persen) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (23,7 persen).

Sebanyak 44,3 persen responden mengaku mendapat berita bohong setiap hari; 17,2 persen mengaku menerimanya lebih dari sekali sehari; 29,8 persen mengaku menerimanya seminggu sekali dan 8,7 persen mengaku menerimanya sebulan sekali.

Mastel melakukan survei itu selama dua hari ini pada 1.116 responden, yang terdiri atas 68 persen laki-laki dan 32 persen perempuan. Mayoritas responden berusia 25-40 tahun (47,8 persen), diikuti oleh responden usia di atas 40 tahun (25,7 persen) dan 20-24 tahun (18,4 persen). Sebagian besar responden adalah karyawan (49,3 persen), wiraswasta (19,9 persen) dan tidak bekerja (9,9 persen).

Ketua Umum Mastel Kristiono menjelaskan bahwa penyurvei memberikan pertanyaan berupa pilihan ganda kepada responden dan mereka bisa memilih lebih dari satu jawaban untuk setiap pertanyaan yang diajukan.

Saring sebelum sharing tetaplah cara ampuh melawan hoax. Jangan biarkan hanya telepon kita yang pintar. Kita pun juga pintar.

Artikel Terkait