Timmy 'Kitabisa': Menggalang Donasi dengan Comblangi Donatur dan Pemilik Ide

Ade Sulaeman

Penulis

Alfatih Timur: mencomblangi donatur dan pemilik ide.

Intisari-Online.com – Tiada hari tanpa menghabiskan waktu mengurus kampanye pendanaan beragam program sosial. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan Alfatih Timur.

Timmy, begitu ia disapa, menghubungkan orang-orang yang memiliki ide namun kekurangan pendanaan dengan mereka yang siap membantu tapi tidak terfasilitasi. Timmy melakukannya lewat Kitabisa.

--

Langit mendung disertai gerimis tidak menghalangi Timmy untuk berangkat menuju kantor Kitabisa di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Hari itu jadwal dia memimpin rapat untuk mengevaluasi kampanye pendanaan program sosial yang diterima Kitabisa.

(Baca juga: Akun Penggalangan Dana @CakBudi Akui Gunakan Uang Donasi untuk Beli Fortuner dan iPhone 7)

Jumlah kampanye baru yang masuk hingga ratusan. Dibantu oleh timnya, Timmy kemudian meninjaunya dengan membaca proposal dan mengamati proyek yang diajukan.

Salah satu anggota tim akan menelepon si penggalang dana. Lalu meminta KTP dan mengunggah fotonya untuk dipublikasikan di laman Kitabisa. Semua proses ini dilakukan untuk memastikan proyek tersebut tidak fiktif dan memang layak untuk dikampanyekan.

Sebelum ngobrol panjang lebar dengan Intisari, Timmy membuka laptopnya dan menunjukkan laman Kitabisa. Dari situ, ia menjelaskan, Kitabisa merupakan sebuah platform penggalangan dana secara daring untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam masyarakat.

Di laman tersebut juga tertera keterangan: 7,56 miliar rupiah. Itu adalah jumlah dana yang terkumpul dari kampanye proyek sosial yang dilakukan.

(Baca juga: Alfamart “Keukeuh” Menolak untuk Laporkan Pengelolaan Uang Donasi Sumbangan Konsumennya)

Kitabisa yang didirikan Timmy pada tahun 2013 memang menjadi salah satu pelopor crowdfunding(urun dana) atau sistem patungan secara gotong royong di Indonesia.

Dampaknya pun jelas terlihat dengan berbagai proyek yang berhasil dikampanyekan. Sebut saja pembangunan Masjid Tolikara di Papua dan gerakan pembangunan dan pengembangan Sekolah Master di Depok.

Timmy mengaku, kemunculan Kitabisa didasari karena banyaknya orang yang melakukan pekerjaan sosial. Mereka memiliki banyak ide namun kekurangan dana. Di lain hal, tidak sedikit orang yang ingin membantu dan berkontribusi tetapi tidak tahu kepada siapa donasi diberikan.

“Makanya kita buat Kitabisa untuk menjadi jembatan antara keduanya,” jelas Timmy.

Pendanaan yang cukup agar berkelanjutan

Sebelumnya, Timmy tak pernah berpikir akan terjun ke dunia bisnis sosial. Apalagi masih terkesan sebagai hal yang baru untuk masyarakat Indonesia.

Namun, pengalamannya terlibat di berbagai kegiatan sosial ditambah fokus kuliahnya di jurusan ekonomilah yang membuatnya terdorong untuk berkecimpung di bisnis pendanaan kolaboratif. Menurut Timmy, sebuah program sosial harus didukung dengan nilai-nilai berbagi dan pendanaan yang cukup agar berkelanjutan.

Timmy mengaku, salah satu sumber inspirasinya adalah ayahnya yang kini berada di daerah pedalaman Sumatra Barat. Seolah tak kenal lelah, ayahnya yang dokter terus berjuang untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Menariknya lagi, jasa pengobatan yang diberikan hanya dibayar dengan buah.

Padahal, jika bisa memilih, ayahnya bisa saja bekerja di Jakarta dengan berbagai fasilitas yang didapatkan. “Dari situ saya mulai memahami nilai sosial dan bertekad untuk terus memberikan manfaat kepada orang lain,” jelas Timmy.

Jiwa sosial Timmy semakin menguat ketika memasuki dunia perkuliahan. Maklum, ia termasuk mahasiswa yang aktif. Tidak jarang ia melakukan kunjungan ke wilayah-wilayah pedalaman untuk mengamati kehidupan sosial warga setempat.

Menurutnya, selama ini banyak orang yang melihat permasalahan sosial dari kejauhan sehingga tidak dapat mengamati secara langsung faktor-faktor kemiskinan yang ada. Dengan sering berkunjung, maka akan ada panggilan untuk terlibat dan berkontribusi.

Setelah lulus kuliah, Timmy memantapkan diri untuk menggeluti bisnis sosial. Di saat kebanyakan rekannya memilih untuk berkecimpung dalam dunia korporat yang dinilai lebih bergengsi, Timmy dengan tegas tetap ingin membuat perubahan lewat NGO untuk mendukung berbagai program sosial.

“Tantangannya, kerja di lembaga nonprofit biasanya dianggap kelas dua,” ungkap Timmy.

Hal terpenting bagi pemuda berusia 25 tahun tersebut adalah bekerja dengan memberikan dampak sosial dan tetap menunjukkan profesionalisme. Berawal dari sinilah Timmy membentuk Kitabisa.

Artikel Terkait