Pussy Riot yang Menerobos Masuk Lapangan saat Final Piala Dunia Bukan Kelompok Punk Sembarangan

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pussy Riot menjadi salah satu kelompok yang paling menentang pemerintan Putin di Rusia. Aksi anti-Putin ini bisa dilihat dari aksi-aksi panggungnya.

Intisari-Online.com -Menit 52, empat orang berpakaian polisi tiba-tiba nyelonong ke lapangan pertandingan final Piala Dunia antara Prancis dan Kroasia.

Untung saja aksi mereka langsung dihalau oleh petugas keamanan.

Tak lama berselang, kelompok punk Rusia Pussy Riot mengaku bertanggung jawab atas kejadian yang tentu menampar muka Vladimir Putin yang menonton langsung bertandingan.

Dalam sebuah pernyataan, Pussy Riot menjelaskan bahwa seragam polisi digunakan untuk menyindir aparat keamanan yang kerap melakukan penangkapan secara ilegal.

Baca juga:Inilah Sisi Kelam Sepakbola Kroasia, Negara Seluas Jawa Barat yang Berhasil Menembus Final Piala Dunia

Mereka menyontohkan kasus penangkapan Oleg Sentsov.

Sentsov divonis 20 tahun penjara karena “konspirasi melakukan teror” setelah memprotes aneksasi Rusia terhadap Krimea pada 2014 lalu.

Selain menyindir polisi Rusia sebagai polisi duniawi yang suka menangkapi aktivis secara ilegal, mereka juga mengirim beberapa tuntutan:

  1. Bebaskan seluruh tahanan politik.
  2. Tidak memenjarakan karena "like".
  3. Hentikan penangkapan ilegal ketika demonstrasi.
  4. Biarkan adanya persaingan politik di Rusia.
  5. Tidak membuat tuduhan dan memenjarakan orang tanpa alasan.
  6. Ubah polisi duniawi menjadi polisi surgawi.
Lebih dari itu, Pussy Riot bukanlah kelompok punk Rusia sembarangan.

Pussy Riot merupakan sebuah grup musik punk rock wanita asal Moskow, Rusia, yang dikenal karena pentas pertunjukan dadakan politik provokatifnya tentang kondisi politik Rusia.

Mereka membuat panggung di lokasi-lokasi yang tidak biasa, seperti di atas sebuah bis, di halaman gereja, atau pada perancah di Moscow Metro.

Baca juga:Saat Sekelompok Punk Sengaja Menyuntikkan Virus HIV ke Tubuh Sendiri untuk Mendapatkan Kedamaian, Kebebasan, dan Surga

Pada 21 Februari 2012, empat anggota grup musik ini menggelar pertunjukan di depan Katedral Kristus Juru Selamat di Moskow, yang merupakan gereja Ortodoks terpenting di ibukota Moskow.

Mereka menentang kembalinya Vladimir Putin yang kala itu menjabat perdana menteri, untuk memegang jabatan presiden.

Penampilan mereka yang kontroversial ini terutama sekali adalah mengenai video aksi protes yang diposting di internet, dengan lagu yang dialih suara menjadi "Bunda Maria, perawan suci, usirlah Putin.“

Setelah terpilih sebagai presiden, Putin secara terbuka mengatakan kemarahan atas tampilan aksi protes tersebut.

“Saya harap, itu tidak akan pernah terulang kembali,“ kata Putin pada tanggal 7 Maret 2012.

Pussy Riot yang getol memperjuangakan pengakuan hak kaum homoseksual juga pernah mencoba tampil di seputaran arena Olimpiade musim dingin di Sochi, Rabu (19/02/2014).

Enam anggota kelompok Pussy Riot—lima wanita dan satu pria—diserang setidaknya 10 anggota kelompok milisi Kosak.

Baca juga:Akan Bertemu Putin, Trump Malah Sebut Rusia Sebagai Musuh

Seorang penyerang menggunakan semprotan bubuk merica, sementara penyerang lainnya merusak peralatan musik serta meringkus para anggota Pussy Riot.

Di sisi lain, Pussy Riot mendapat dukungan dari banyak pihak di dunia internasional.

Pejabat pemerintahan dari berbagai negara dan artis internasional mengkritik cara Pemerintah Rusia menangani Pussy Riot.

Mereka beranggapan Pemerintah Rusia kurang memiliki pengertian untuk seni dan kebebasan pendapat.

Dapat penghargaan internasional

Seperti disinggung di awal, karena aksi-aksinya, dunia internasional banyak yang melirik keberadaannya.

Pada November 2014 lalu, dua anggota Pussy Riot memenangkan Hannah Arendt Prize lantaran sikap politik mereka melawan pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Hannah Arendt Prize sendiri merupakan ajang penghargaan yang dibuat untuk menghormati ilmuwan politik berdarah Yahudi, Hannah Arendt, yang lahir di Hanover, Jerman, pada awal abad ke-20.

Pada 2012, Nadezhda Tolokonnikova dan Maria Alyokhina dijatuhi hukuman kerja wajib di sebuah kamp penjara setelah melakukan pertunjukan di altar utama Katedral Kristus Juru Selamat, Moskow.

Baca juga:Bukannya Minta Kenaikan, Para Dokter Ini Protes dan Minta Penurunan Gaji karena Dibayar Terlalu Besar

Pertunjukan yang mereka sebut sebagai “doa punk” itu bertepatan dengan kampanye kemenangan Vladimir Putin yang terpilih sebagai presiden Rusia.

Rencananya, keduanya akan dibebaskan pada 2014.

Tapi karena adanya kecaman dari dunia internasional, parlemen Rusia, Duma, akhirnya membebaskan mereka pada Desember 2013.

Nah, selama di penjara, Nadezhda kerap berkirim surat dengan filsuf psikoanalitik Slavoj Zizek terutama tentang situasi politik Rusia di bawah rezim Putin.

Dan hasil korespondensi keduanya kemudian dibukukan dengan judul Comradely Greetings: The Prison Letters of Nadya and Slavoj.

Artikel Terkait