Find Us On Social Media :

Agar Dapur Tetap Mengepul, Hampir Seluruh Penduduk Desa di Nepal Ini Telah Menjual Salah Satu Ginjal Mereka

By Intisari Online, Minggu, 15 Juli 2018 | 09:15 WIB

Dia menjanjikan Tamang pekerjaan yang lebih baik di Chenai, India, tapi begitu mereka sampai di sana, ternyata itu adalah tipuan semata.

“Saya diantar ke rumah sakit, di mana saya diberi tahu bahwa mereka akan mengambil ginjal saya,” ujar Tamang.

“Dia bilang saya akan mendapatkan jumlah yang baik untuk ginjal saya, dan tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan saya. Dia bahkan bilang bahwa ginjal saya akan tumbuh lagi.”

Cerita mirip juga dialami oleh Bahadur Damai. Dia juga melakukan perjalanan ke India untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

Alih-alih pekerjaan, Damai dipaksa menenggak minuman hingga mabuk.

“Ketika saya terbangun, saya sudah berada di sebuah tempat tidur di rumah sakit. Mereka telah mengambil ginjal saya,” cerita Damai.

Tiga bulan kemudian, dia diberi uang ganti 150 dolar. Dengan uang itu, ia membeli sebidang tanah yang jauh dari kata luas.

Laxman Lamichhane, pengacara dan koordinator program di Forum for Protection of People’s Rights Nepal (PPR Nepal), mengatakan bahwa orang-orang merasa tidak aman dan ketakutan di tempat tinggal mereka sekarang meskipun ada pasukan keamanan yang memantau.

“Mereka harus menghadapi begitu banyak wajah-wajah baru dalam kehidupan mereka,” kata Lamichhane.

Mereka, orang-orang baru itu, telah diidentifikasi sebagai pelaku perdagangan manusia yang sengaja mencoba untuk memikat warga agar mau bekerja ke luar negeri, seperti India.

Baca juga: Ingin Memecahkan Masalah Kemiskinan, Buta Huruf, dan Pengangguran, Kakek 97 Tahun Kembali Sekolah

“Ketika kembali ke desa, orang-orang itu ternyata sudah tertipu. Mereka tidak dipaksa untuk menjual ginjal mereka,” tambah Krishna Pyari Nakarmi, pengacara lain di PPR Nepal.

Ironisnya, tidak mendapat dukungan, orang-orang tertipu ini justru menjadi bahan omongan warga lokal.

Mereka dikucilkan di komunitasnya sendiri.

“Bahkan anak-anak mereka didiskriminasi di sekolah. Ini membuat mereka frustasi dan depresi dan akhirnya lari ke minuman,” tambah Nakarmi.