Find Us On Social Media :

Puno: Letters to the Sky, karena yang Mati Tidak Pernah Benar-benar Pergi

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 7 Juli 2018 | 14:38 WIB

Intisari-Online.com - Selama ini, kematian, terutama bagi-bagi anak-anak, terlihat sangat berjarak dan tabu.

Dalam beberapa kasus kita sering mendengar seorang ibu, misalnya, berbohong kepada anak-anaknya tentang kematian si ayah.

Begitu pula sebaliknya.

Karena alasan itulah Papermoon Puppet Theatre mementaskan Puno: Letters to the Sky di IFI-LIP Yogyakarta, Rabu (4/7) kemarin.

Baca juga: Misteri Kematian Martin Bormann, Sekretaris Hitler yang Jasadnya Diburu Bak Setan

“Kematian—berikut hal-hal yang menyertainya—adalah bagian dari hidup, kenapa ia mesti ditutup-tutupi,” kata Maria Tri Sulsityani, direktur artistik Puno: Letters to the Sky sekaligus pendiri Papermoon Puppet Theatre.

Tala merupakan seorang gadis kecil yang berusaha menerima kematian ayah tercintanya, Puno.

Lumrah belaka, sebagai seorang gadis kecil yang ditinggalkan orang tercintanya, ia merasakan kemarahan, kesedihan tak terperi, dan bahkan perasaan ditinggalkan.

Sebagai upaya menerima rasa pahit itu, Tala menuliskan perasaan-perasaannya dalam kapal kertas, tanpa pernah bisa mengirimnya.

Hingga suatu ketika, ia sadar bahwa ayahnya tidak benar-benar pergi. Ia masih merasakan keberadaan ayahnya di tempat yang sama dengannya selama 40 hari setelah kematiannya.

Dalam waktu 40 hari itulah Tala merasa punya waktu bersama Sang Ayah.

Secara tersirat, Puno ingin menunjukkan kepada anak-anak bahwa kematian tidak semenakutkan yang dibayangkan orang-orang.

Sementara untuk orangtua, Puno ingin mengajak mereka agar lebih berterus terang kepada anak-anaknya jika berbicara tentang kematian dan kehilangan.

Baca juga: Bukan Hal Jorok apalagi Tabu, Masturbasi bagi Wanita Justru Membawa 7 Manfaat Ini

Puno juga ingin mengatakan, bahwa semua yang mati  itu pada dasarnya tidak pernah benar-benar pergi.

“Mereka selalu ada di sekitar kita, melindungi kita dari bahaya,” ujar Ria, panggilan akrab Maria Tri Sulsityani.

Yang juga menarik, dalam Puno, Ria memilih karakter ayah alih-alih ibu—bukan berarti pentas ini khusus untuk kaum bapak, lho. Menurunya, itu ada maksud dan tujuannya.

 “Selama inu, urusan anak dengan orangtuanya itu selalu ibu. Dan di sini kami punya kampanye tersembunyi, bahwa urusan anak melulu urusan si ibu,” kata Ria, tegas.