Find Us On Social Media :

HUT Bhayangkara ke-72: Kisah Jenderal Hoegeng yang Bikin 'Panas Pantat' para Gembong dan Pernah Diburu Penculik

By Ade Sulaeman, Minggu, 1 Juli 2018 | 13:54 WIB

Hingga akhirnya pada suatu hari keluar suatu pengumuman. Jepang membuka kursus-kursus Inspektur Polisi di beberapa kota, antara lain di Pekalongan. Tujuan Jepang ialah membentuk polisi-polisi baru untuk menggantikan polisi-polisi Belanda yang semua sudah diinternir.

Hoegeng mendaftar. Bersama 180 pemuda di kotanya, ia mengikuti tes masuk. Hanya sebelas yang lulus, ia ikut beruntung. Maka pada tahun 1942 itu mulailah calon Pangak ini untuk pertama kali menjalani pendidikan kepolisian.

Sebetulnya hampir saja Pak Hoegeng batal menjadi polisi. Ini karena dongkolnya pada si Jepang pimpinan sekolah kepolisian yang selalu membohongi siswanya.

Dalam pengumuman dijanjikan siswa-siswa akan mendapat pangkat Nitto Keibu (Inspektur Polisi). Tapi waktu lulus ternyata cuma Nitto Torrisjemari Djunsa (Abripda).

Malah sesudah mendapat pendidikan tambahan satu tahun lagi di Sekolah Hop Agen di Sukabumi, Jawa Barat,  cuma naik jadi Junsabutyo (Brigadir Polisi).

Kepala siswa-siwa digunduli licin waktu di Sukabumi itu, seragamya berwarna kelabu model jas tutup. “Persis macam gelatik,” kata Pak Hoegeng.

Bermacam-macam ulah dilakukan Pak Hoegeng untuk bisa dikeluarkan dari sekolah. Sebab untuk minta keluar sendiri, bisa dianggap “menghina Kaisar”. Ini berat hukumannya.

Akal Hoegeng: kalau instrukturnya bertanya, “Tahu apa itu Perang Asia Timur Raya di Bougainville?”

Dia menjawab, “Tahu, tuan, tahu. Itu nama bunga yang bagus.” Bila ditanya “Apa itu Perang Boxer?”

Jawabnya, “Oh, itu pemberotakan kaum petinju di Tiongkok.” Jawaban-jawaban yang konyol itu tentu saja membuat si guru sering naik pitam.

Keluarlah makian yang tak jarang dibarengi kemplangan kepala. Tapi anehnya, Pak Hoegeng selalu lulus.

“Malah waktu di Sukabumi saya mendapat ijazah istimewa,” kata Pak Hoegeng. Rupanya atasan sudah menetapkan siapa-siapa yang harus lulus, meskipun “bodoh”.

Akhir tahun 1945, Pak Hoegeng yang baru saja meletakkan jabatannya sebagai Kepala Polisi Seksi II Djombang, sedang “cuti” ke rumah orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana ia bertemu Komodor Natsir, orang kedua dalam ALRI.

Ia ditanya apakah sedang menganggur, lalu ditawari untuk masuk ALRI. Meski Hoegeng sudah mengatakan bahwa pendidikannya kepolisian, tapi Natsir tetapi menawari bahwa Hoegeng bisa membantu membentuk Polisi Laut.

Di ALRI pangkatnya menjadi Mayor. Tapi pangkat Mayor itu cuma bertahan lima bulan. Kedatangan Pak Kanto (Sukamto Tjokrodiatmodjo), Kepala Kepolisian yang pertama ke Yogya, menamatkan semuanya.

Ia menyuruh Hoegeng datang ke kantor menghadapnya dengan menggunakan seragam Mayor ALRI-nya. Seragam itu memang membuat Hoegeng yang sombong terlihat gagah. Serba putih, pakai pedang, tiga strip emas di pundak.

Suara Kepala Polisi Negara menggelegar menegurnya, “Apa kamu tidak malu berpakaian begini, hah. Kamu kan pendidikan kepolisian. Tidak malu hah.” Terkejut hati Hoegeng menerima apa yang tidak diduganya. Tapi perlahan-lahan ia menunduk, mengerti maksud kata-kata “bekas” Komandannya.

Pak Kanto kemudian menyuruhnya pulang, tidak mengatakan apa-apa lagi. Hoegeng sendiri setibanya di rumah, kemudian menanggalkan seragam itu dan menyatakan pada Komodor Natsir minta berhenti dari jabatan Komandan Tentara Polisi Laut.

Baca juga: Bukan Danau Toba, Inilah Danau Terdalam di Indonesia, Ada Gua Tengkorak di Dalamnya