Pilkada Serentak Sudah Usai, Saatnya Bijak Menghadapi Kekalahan

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Intisari-Online.com – Pesta demokrasi telah usai. Tapi, dalam banyak kasus, tidak dengan drama setelahnya.

Drama ini muncul lantaran banyak calon yang tidak bisa menerima kekalahannya.

Ini terjadi ketika Pilkada di tahun 2009. Seorang caleg di Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyegel SD Negeri di kota kecil itu, karena kecewa tak memperoleh suara. Di Solo, Jawa Tengah, lebih parah.

Seorang caleg perempuan, Sri Sumini bahkan meninggal dunia karena serangan jantung. Belum lagi, caleg dari sebuah partai yang terpaksa dibawa ke dukun untuk disembuhkan karena kalah dan berhutang dana kampanye Rp300 juta.

Sementara Balai Kesehatan Jiwa di Palangkaraya juga menerima dua pasien gangguan jiwa korban gagal jadi caleg.

Terungkap juga kisah di Tangerang, ketika seorang caleg yang gagal meraih suara merangkak di pinggir jalan dengan membawa cangkir dan meminta uang, sambil berteriak, "Kembalikan uang saya! Kembalikan uang saya!" Tragis!

Baca juga: Ada Hasil Quick Count yang 'Beda Sendiri' di Pilkada Jabar: Ini Cara Mudah Menentukan Hasil Survei 'Abal-abal'

Caleg rapuh

Kondisi ini menunjukkan betapa rapuh kondisi mental para caleg kita. Sejuta harapan di benak mereka, ambisi yang menjulang tinggi, tapi tak bisa menakar kemampuan sendiri.

Yang lebih parah, tidak siap dengan berbagai kemungkinan buruk. Akibatnya, tatkala harapan menjadi caleg tidak tercapai, banyak yang shock, tidak bisa menerima kenyataan.

Dari observasi saya, ada beberapa alasan mengapa banyak caleg terguncang jiwanya, bahkan meninggal saat mengalami kekalahan.

Pertama, alasan finansial. Dengan biaya begitu besar telah dikeluarkan, tentu saja menjadi pukulan berat tatkala semua uang itu melayang tanpa hasil. Belum lagi kalau uang tersebut hasil berhutang kiri-kanan.

Membayangkan bagaimana harus membayarnya saja sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi "gila".

Baca juga: Berjaga Semalaman untuk Pilkada, Petugas TPS Tak Sadar Minum Tinta Pemilu, Kok Bisa?

Kedua, alasan mental. Ini terkait dengan ketidakmampuan mengelola stres dan rapuh mental. Ada yang mudah menerima kekalahan dan ada yang justru shock. Seharusnya, mereka sudah mempersiapkan mental sebelum bertarung. Jangan hanya siap menang, tapi juga siap kalah.

Ketiga, harapan yang berlebihan. Mereka sudah membuat prediksi yang terlalu berlebihan, tetapi tidak membuat skenario terburuk seandainya kalah.

Keempat, merasa malu. Sejumlah caleg telanjur obral janji dan sok menjadi orang penting. Sebelum pemilu, rumah mereka mendadak ramai, banyak orang berdatangan. Mereka mendadak jadi selebritis. Namun ketika kalah, mereka ditinggalkan bahkan ditertawakan.

Kelima, alasan kepahitan. Di Garut, beberapa caleg yang kalah marah kepada tim suksesnya. Mereka menuduh, kinerja tim sukseslah yang menjadi biang kekalahan.

Pelajaran Berharga

Para caleg perlu dibekali kemampuan mengelola emosi lebih baik, khususnya menghadapi situasi menang-kalah. Keduanya adalah ujian bagi kematangan karakter kita.

Baca juga: Versi Quick Count, Pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum Menang di Pilkada 2018 Provinsi Jawa Barat

Pepatah klise "Menang dan kalah adalah hal yang wajar" perlu menjadi bahan refleksi. Kalah bukan berarti kiamat. Bahkan, Abraham Lincoln sebelum menjadi Presiden AS pernah gagal berkali-kali. Toh Lincoln tidak pernah menyerah.

Dalam sebuah kompetisi, janganlah hanya bersiap untuk menang, siapkan juga skenario terburuk. Itu sebabnya penting sekali memiliki Plan B, "Apa yang akan saya lakukan seandainya tidak terpilih?"

Jadikan kekalahan sebagai pelajaran di kemudian hari agar bisa menang. Kekalahan adalah message untuk memperbaiki diri. Ada pepatah, "Kekalahan tidak sama dengan kegagalan. Kegagalan yang sesungguhnya adalah tatkala kita kalah, dan tidak pernah bangkit kembali!"

Daripada meratapi kegagalan, lebih baik cepat-cepat sadar, bangun, dan melangkah ke depan untuk menata kehidupan yang lebih baik.

Baca juga: Merasa Dicurangi di Pilkada 2018? Laporkan Lewat Aplikasi Gowaslu, Begini Caranya!

Percayalah, kemenangan utama tidaklah didapat dengan cara-cara instan. Banyak caleg yang "membeli" kursi. Ini sebenarnya memalukan. Jauh lebih baik kalah dengan terhormat dan tetap memiliki integritas, daripada menjadi caleg dengan menggunakan segala cara.

Seorang caleg gagal menulis di Facebook-nya, "Mungkin ini jalan Tuhan, saya gagal jadi anggota legislatif. Kalau seandainya sukses, mungkin jadinya saya akan korupsi sana-sini untuk mengejar kembali uang yang telah saya keluarkan. Sekarang saya bisa fokus ke bisnis saya lagi."

Entah, apakah ini penghiburan atau hasil refleksi mendalam, marilah kita belajar dari caleg yang kalah ini bahwa "Pemenang yang sesungguhnya adalah mereka yang sanggup menghadapi kekalahan tanpa kehilangan semangat juangnya."

(Ditulis oleh Anthony Dio Martin. Seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2009)

Baca juga: Pilkada 2018: Inilah Alasan Metode Coblos Diganti jadi Contreng, Benarkah Lebih Aman dari Manipulasi?

Artikel Terkait