Intisari-Online.com – Pesta demokrasi telah usai. Tapi, dalam banyak kasus, tidak dengan drama setelahnya.
Drama ini muncul lantaran banyak calon yang tidak bisa menerima kekalahannya.
Ini terjadi ketika Pilkada di tahun 2009. Seorang caleg di Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyegel SD Negeri di kota kecil itu, karena kecewa tak memperoleh suara. Di Solo, Jawa Tengah, lebih parah.
Seorang caleg perempuan, Sri Sumini bahkan meninggal dunia karena serangan jantung. Belum lagi, caleg dari sebuah partai yang terpaksa dibawa ke dukun untuk disembuhkan karena kalah dan berhutang dana kampanye Rp300 juta.
Sementara Balai Kesehatan Jiwa di Palangkaraya juga menerima dua pasien gangguan jiwa korban gagal jadi caleg.
Terungkap juga kisah di Tangerang, ketika seorang caleg yang gagal meraih suara merangkak di pinggir jalan dengan membawa cangkir dan meminta uang, sambil berteriak, "Kembalikan uang saya! Kembalikan uang saya!" Tragis!
Caleg rapuh
Kondisi ini menunjukkan betapa rapuh kondisi mental para caleg kita. Sejuta harapan di benak mereka, ambisi yang menjulang tinggi, tapi tak bisa menakar kemampuan sendiri.
Yang lebih parah, tidak siap dengan berbagai kemungkinan buruk. Akibatnya, tatkala harapan menjadi caleg tidak tercapai, banyak yang shock, tidak bisa menerima kenyataan.
Dari observasi saya, ada beberapa alasan mengapa banyak caleg terguncang jiwanya, bahkan meninggal saat mengalami kekalahan.
Pertama, alasan finansial. Dengan biaya begitu besar telah dikeluarkan, tentu saja menjadi pukulan berat tatkala semua uang itu melayang tanpa hasil. Belum lagi kalau uang tersebut hasil berhutang kiri-kanan.
Membayangkan bagaimana harus membayarnya saja sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi "gila".