Advertorial
Intisari-Online.com- Sorotan masyarakat usai berlangsungnya pemungutan suara dalam Pilkada 2018 ini adalah hasilquick countuntuk melihat siapakah pemimpin daerah mereka berikutnya.
Menariknya, hasilquick counttersebut sering kali berbeda.
Jika perbedaan itu masih menunjukkan pemenang yang sama (hanya ada sedikit perbedaan hasil) tentu tidak jadi masalah.
Yang jadi masalah dan kerap menimbulkan perdebatan adalah ketika hasilquick countbeberapa lembaga survei bertolak belakang dengan hasil survei beberapa lembaga lain.
Baca juga:Disebut Danau Terdalam Kedua di Indonesia, Inilah Rekaman Video Dasar Danau Toba
Contoh yang terbaru adalah hasilquick countuntuk Pilkada Jawa Barat.
Sebelumnya lima lembaga survei yaituLitbang Kompas, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Charta Politika, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan Populi Center mengumumkan hasilquick count untuk Pilkada Jabar.
Kelima lembaga survei tersebut, menurut hasil hitung cepat mereka, menyatakan pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum unggul di kisaran 32-33 persen.
Di posisi kedua, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan perolehan suara 27-30 persen.
Baca juga:Biker Wanita Ini Tak akan Pulang ke Negaranya Sebelum Para Pemerkosanya Dipenjara
Sementara, menurut hitung cepat lima lembaga itu, posisi tiga ditempati pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dengan perolehan suara pada kisaran 25-26 persen.
Dan, di posisi terakhir, pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan dengan perolehan suara antara 11-12 persen.
Rangkumannya bisa dilihat dalam infografik berikut ini:
Namun, di saat sebagian besar masyarakat, khususnya di Jawa Barat,berdasarkan hasilquick count, sudah menganggap pasanganRidwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum sebagai pemenang, muncul hasilquick count lembaga survei lain yang 'berbeda sendiri'.
Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) menyatakan bahwa pemenang Pilkada Jabar adalahpasanganSudrajat-Ahmad Syaikhu dengan raihan 30,93%.
Sementara pasanganRidwan Kamil-Uu Ruzhanul berada di posisi kedua dengan raihan 30,41%.
PasanganDeddy Mizwar-Dedi Mulyadi (27,49%) danTb Hasanuddin-Anton Charliyan (11,17%)berada di peringkat ketiga dan keempat.
Kenangan Pilpres 2014
Mungkin Anda juga masih mengingat bagaimana saat pemungutan suara Pilpres 2014masyarakat dibingungkan oleh hasilquick countyang dirilis ke masyarakat.
Seperti kita tahu, terdapat delapan lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK, yaitu Populi Center, CSIS, LitbangKompas, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, Saiful Mujani Research Center, dan Pol Tracking.
Lucunya, ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta yakni Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia.
Baca juga:Saking Bencinya, Pasukan Rusia Menggali Kubur Serdadu Nazi Lalu Memutilasi dan Membakarnya
Dari fakta itu, pertanyaan yang kemudian mengemuka di masyarakat adalah: siapa sesungguhnya yang menyimpang dua kelompok itu? Mana hasilquick countyang “abal-abal” alias penuh rekayasa?
Pada dasarnya,quick countadalah metode verifikasi hasil pemilu yang bersumber dari penghitungan persentase hasil pemilu di sejumlah TPS yang dijadikan sampel.
Mengingat data asalnya perhitungan TPS secara langsung tentu saja akurasinya lebih tinggi, karena bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden.
Tentu saja kita tidak perlu meragukan hasilquick count, bahkan dari hasilnya kita dapat memperkirakan perolehan suara pemilu secara cepat yang berguna untuk memverifikasi hasil resmi KPU nantinya.
Baca juga:Pasangan Ini Dibunuh oleh Anak Kandungnya Sendiri yang Tak Terima Mengidap 'Penyakit Keturunan'
Quick countbahkan mampu mendeteksi dan mengungkapkan penyimpangan serta kecurangan.
Lalu dari mana datangnya perbedaan hasil? Setiap lembaga survei memang bisa memiliki metodologi tersendiri, seperti diungkap Mada Sukmajati, pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Namun jauh di atas persoalan metodologi, kredibilitas dan etika menjadi hal utama yang harus dipegang oleh penyelenggaraquick count.
"Ini penting karena terkait dengan kemampuan menarik kesimpulan. Masyarakat sendiri juga bisa melacak, mana lembaga survei yang bisa dipercaya dan mana yang tidak,” kata Mada seperti dikutipKompas.com(9/7).
Hasil perhitungan setiap lembaga, seperti dikatakan Titin Sumi, pengajar Jurusan Matematika di Universitas Indonesia, bisa saja berbeda karena masalah pengambilan sampel.
“Ini tidak bisa disalahkan. Namun yang pasti harus proporsional,” kata dia mengingatkan.
Namun bukan tidak mungkin, lanjut Titin, ada kecenderungan lembaga suvei mendapat pesanan dari pihak yang membayar.
“Saat ini banyak lembaga survei yang mengeluarkan hasil tergantung pada siapa yang membayar,” ungkap dia tentang kemungkinan terjadinya kesalahan dalam hasilquick count.
Adanya kesalahan metodologi, menurut Direktur Cyrus Network, Hasan Nasbi, bisa saja terjadi hingga berakibat pada perbedaan hasilquick count.
"Quick countitu enggak akan bisa mengarang, ada kesalahan gampang terdeteksi," sebut dia kepadaKompas.com.
Menurut Hasan, jika ingin mengetahui kesalahan, auditnya bisa sangat cepat. Cuma satu jam untuk tahu letak kesalahan atau kemungkinan manipulasi.
Kalau memang benar melakukanquick count, maka menurut Hasan, orang pasti berani buka data.
“Kalau takut, berarti ada manipulasi.”
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang mewadahi lembaga-lembaga survei di Indonesia telah menyatakan akan memanggil dua lembaga survei yakni Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia untuk menjelaskan metodologinya.
Dari sanalah kita akan memperoleh jawabannya. (Tjahjo Widyasmoro)
Baca juga:Bukan Danau Toba, Inilah Danau Terdalam di Indonesia, Ada Gua Tengkorak di Dalamnya