Find Us On Social Media :

Ada Hasil Quick Count yang 'Beda Sendiri' di Pilkada Jabar: Ini Cara Mudah Menentukan Hasil Survei 'Abal-abal'

By Ade Sulaeman,Tjahjo Widyasmoro, Kamis, 28 Juni 2018 | 14:33 WIB

Intisari-Online.com - Sorotan masyarakat usai berlangsungnya pemungutan suara dalam Pilkada 2018 ini adalah hasil quick count untuk melihat siapakah pemimpin daerah mereka berikutnya.

Menariknya, hasil quick count tersebut sering kali berbeda.

Jika perbedaan itu masih menunjukkan pemenang yang sama (hanya ada sedikit perbedaan hasil) tentu tidak jadi masalah.

Yang jadi masalah dan kerap menimbulkan perdebatan adalah ketika hasil quick count beberapa lembaga survei bertolak belakang dengan hasil survei beberapa lembaga lain.

Baca juga: Disebut Danau Terdalam Kedua di Indonesia, Inilah Rekaman Video Dasar Danau Toba

Contoh yang terbaru adalah hasil quick count untuk Pilkada Jawa Barat.

Sebelumnya lima lembaga survei yaitu Litbang Kompas, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Charta Politika, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan Populi Center mengumumkan hasil quick count untuk Pilkada Jabar.

Kelima lembaga survei tersebut, menurut hasil hitung cepat mereka, menyatakan pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum unggul di kisaran 32-33 persen.

Di posisi kedua, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan perolehan suara 27-30 persen.

Baca juga: Biker Wanita Ini Tak akan Pulang ke Negaranya Sebelum Para Pemerkosanya Dipenjara

Sementara, menurut hitung cepat lima lembaga itu, posisi tiga ditempati pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dengan perolehan suara pada kisaran 25-26 persen.

Dan, di posisi terakhir, pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan dengan perolehan suara antara 11-12 persen.

Rangkumannya bisa dilihat dalam infografik berikut ini:

Namun, di saat sebagian besar masyarakat, khususnya di Jawa Barat, berdasarkan hasil quick count, sudah menganggap pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum sebagai pemenang, muncul hasil quick count lembaga survei lain yang 'berbeda sendiri'.

Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) menyatakan bahwa pemenang Pilkada Jabar adalah pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan raihan 30,93%.

Sementara pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul berada di posisi kedua dengan raihan 30,41%.

Pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (27,49%) dan Tb Hasanuddin-Anton Charliyan (11,17%) berada di peringkat ketiga dan keempat.

Kenangan Pilpres 2014

Mungkin Anda juga masih mengingat bagaimana saat pemungutan suara Pilpres 2014 masyarakat dibingungkan oleh hasil quick count yang dirilis ke masyarakat.

Seperti kita tahu, terdapat delapan lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK, yaitu Populi Center, CSIS, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, Saiful Mujani Research Center, dan Pol Tracking.

Lucunya, ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta yakni Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia.

Baca juga: Saking Bencinya, Pasukan Rusia Menggali Kubur Serdadu Nazi Lalu Memutilasi dan Membakarnya

Dari fakta itu, pertanyaan yang kemudian mengemuka di masyarakat adalah: siapa sesungguhnya yang menyimpang dua kelompok itu? Mana hasil quick count yang “abal-abal” alias penuh rekayasa?

Pada dasarnya, quick count adalah metode verifikasi hasil pemilu yang bersumber dari penghitungan persentase hasil pemilu di sejumlah TPS yang dijadikan sampel.

Mengingat data asalnya perhitungan TPS secara langsung tentu saja akurasinya lebih tinggi, karena bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden.

Tentu saja kita tidak perlu meragukan hasil quick count, bahkan dari hasilnya kita dapat memperkirakan perolehan suara pemilu secara cepat yang berguna untuk memverifikasi hasil resmi KPU nantinya.

Baca juga: Pasangan Ini Dibunuh oleh Anak Kandungnya Sendiri yang Tak Terima Mengidap 'Penyakit Keturunan'

Quick count bahkan mampu mendeteksi dan mengungkapkan penyimpangan serta kecurangan.

Lalu dari mana datangnya perbedaan hasil? Setiap lembaga survei memang bisa memiliki metodologi tersendiri, seperti diungkap Mada Sukmajati, pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.

Namun jauh di atas persoalan metodologi, kredibilitas dan etika menjadi hal utama yang harus dipegang oleh penyelenggara quick count.

"Ini penting karena terkait dengan kemampuan menarik kesimpulan. Masyarakat sendiri juga bisa melacak, mana lembaga survei yang bisa dipercaya dan mana yang tidak,” kata Mada seperti dikutip Kompas.com (9/7).

Hasil perhitungan setiap lembaga, seperti dikatakan Titin Sumi, pengajar Jurusan Matematika di Universitas Indonesia, bisa saja berbeda karena masalah pengambilan sampel.

“Ini tidak bisa disalahkan. Namun yang pasti harus proporsional,” kata dia mengingatkan.

Namun bukan tidak mungkin, lanjut Titin, ada kecenderungan lembaga suvei mendapat pesanan dari pihak yang membayar.

“Saat ini banyak lembaga survei yang mengeluarkan hasil tergantung pada siapa yang membayar,” ungkap dia tentang kemungkinan terjadinya kesalahan dalam hasil quick count.  

Adanya kesalahan metodologi, menurut Direktur Cyrus Network, Hasan Nasbi, bisa saja terjadi hingga berakibat pada perbedaan hasil quick count.

"Quick count itu enggak akan bisa mengarang, ada kesalahan gampang terdeteksi," sebut dia kepada Kompas.com.

Menurut Hasan, jika ingin mengetahui kesalahan, auditnya bisa sangat cepat. Cuma satu jam untuk tahu letak kesalahan atau kemungkinan manipulasi.

Kalau memang benar melakukan quick count, maka menurut Hasan, orang pasti berani buka data.

“Kalau takut, berarti ada manipulasi.”

Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang mewadahi lembaga-lembaga survei di Indonesia telah menyatakan akan memanggil dua lembaga survei yakni Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia untuk menjelaskan metodologinya.

Dari sanalah kita akan memperoleh jawabannya. (Tjahjo Widyasmoro)

Baca juga: Bukan Danau Toba, Inilah Danau Terdalam di Indonesia, Ada Gua Tengkorak di Dalamnya